Cerita Kebaikan Seorang Direktur Utama yang Super Galak

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
10 September 2021 10:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ruang belajar (sumber: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ruang belajar (sumber: pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Pengetahuan itu bisa kedaluwarsa. Ilmu dari perguruan tinggi bisa saja tak berguna lagi. Semua harus ikut kursus!” ucap Pak Arnold, direktur utama perusahaan kami dengan tegas kepada semua karyawannya dalam briefing mingguan di Senin pagi itu.
ADVERTISEMENT
Waktu itu saya baru seminggu mulai bekerja, dan hanya mengandalkan ijazah SMA, sementara karyawan lain hampir semuanya lulusan sarjana.
“Kamu! Lulusan kedokteran hewan, ilmumu tidak berguna di perusahaan ini!” tunjuk Pak Arnold kepada Mbak Ratna, karyawan paling senior dengan suaranya yang menggelegar. Mungkin karena dia berasal dari Pulau Samosir yang terpencil sehingga sejak kecil memang terbiasa bersuara lantang.
“Apalagi kamu, kuliah saja belum lulus…” Pak Arnold menunjuk Pak Gunawan yang langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak kuat menentang tatapan mata Pak Arnold yang tajamnya laksana pedang itu. Pak Arnold memang terkenal galak. Siapa pun bisa tiba-tiba dimaki-makinya bila ada hal yang tidak berkenan.
“Orang IT, orang accounting, apalagi orang underwriting, semua harus tahu ilmu asuransi, karena kalian bekerja di perusahaan asuransi.” Suara Pak Arnold yang garang masih terus berkumandang memenuhi ruang meeting.
ADVERTISEMENT
Tanpa tendensi apa pun saya menganggukkan kepala, dan langsung disambar dengan telunjuk Pak Arnold tepat di muka saya, “Anak baru juga harus belajar,” katanya dengan nada yang lebih lembut, membuat semua peserta briefing menoleh. Mungkin karena saya masih baru atau karena tampang saya yang lugu, perlakuan Pak Arnold pada saya tidak segarang perlakuannya pada karyawan lain yang lebih senior.
Rupanya ucapan Pak Arnold hari itu tidak main-main, karena keesokan harinya nama saya sudah didaftarkan oleh HRD sebagai peserta kursus.
Banyak yang bersungut-sungut dan tidak sepenuh hati mengikuti kursus itu. Rata-rata semua karyawan yang mengikuti kursus hanya terpaksa karena takut pada Pak Arnold.
Saya sendiri senang-senang saja dibayar kursus karena menyadari posisi saya di perusahaan waktu itu teramat lemah imbas dari pendidikan saya yang paling rendah di perusahaan, serta tidak punya pengalaman kerja sebelumnya. Diperparah lagi dengan penampilan saya yang tidak seperti karyawan lain saking udiknya, maklum memang baru datang dari kampung, merantau ke Jakarta selepas SMA.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kesempatan baik untuk belajar tidak saya sia-siakan, terlebih tanpa sepeser biaya pun yang harus saya keluarkan sendiri. Bukannya terlalu hemat atau pelit, tapi gaji saya waktu itu masih sangat sedikit. Lulusan SMA kalau di masa itu kalau dibandingkan dengan standar gaji saat ini kira-kita masih di bawah UMR, padahal biaya kos dan biaya hidup di Jakarta cukup mahal.
Sebenarnya usai SMA saya sempat setahun menganggur di kampung dan oleh Ibu saya didaftarkan kursus komputer untuk mengisi waktu sekaligus menghibur diri supaya tidak terlalu sedih melihat teman-teman lain yang berasal dari keluarga mampu berangkat kuliah.
Ilustrasi wisuda (dokumen pribadi)
Sejak kecil saya sudah menyadari keterbatasan ekonomi keluarga saya sehingga tak pernah berharap apalagi menuntut orang tua untuk membiayai saya kuliah. Sejak kelas lima SD saya bahkan sudah mulai menabungkan uang jajan yang hanya lima puluh rupiah itu untuk biaya kuliah. Tentu saja tabungan ini tak pernah terkumpul karena uang jajan saya tak selalu ada dan ketika tabungan saya sudah mulai banyak, ada saja keperluan mendesak yang membuat saya terpaksa menggunakannya, seperti membeli buku paket atau menjahit sepatu yang robek.
ADVERTISEMENT
Kursus yang saya ikuti seusai jam kerja itu cukup menyenangkan. Saya jadi punya banyak teman baru. Hal ini sangat penting bagi saya, karena sebagai pendatang baru saya memang tak punya banyak teman di Jakarta.
Selama kursus di malam hari, pada siang hari saya masih bekerja seperti biasa. Rutinitas pekerjaan juga masih sama. Briefing yang dipimpin Pak Arnold dan dihadiri semua karyawan pun masih selalu dilakukan Setiap Senin pagi.
Materi briefing favorit Pak Arnold dan selalu diulang-ulangnya di setiap kesempatan adalah cerita tentang orang yang malas belajar. Istilah yang dipakainya untuk orang semacam itu adalah kuli yang bersantai di bawah pohon kelapa. Diiringi angin sepoi-sepoi, si kuli akan mengantuk dan terlelap, hingga suatu saat dia kejatuhan buah kelapa. Hal itu adalah hasil dari kebodohannya sendiri bersantai di bawah pohon kelapa.
ADVERTISEMENT
Awal mendengar cerita itu, saya merasa cerita Pak Arnold cukup absurd. Namun lama kelamaan, karena terlalu sering diulang-ulang, cerita itu tiba-tiba menjadi masuk akal.
Tidak ingin menjadi seperti kuli di bawah pohon kelapa, suatu hari saya memberanikan diri mengajukan beasiswa untuk kuliah kepada Pak Arnold karena ingin memenuhi impian Ibu saya memiliki anak bergelar sarjana .
Waktu itu Akademi Asuransi Indonesia yang berafiliasi dengan Universitas Indonesia baru dibuka, berkampus di UI Salemba. Meskipun saya tidak berharap banyak, ternyata Pak Arnold mengizinkan saya kuliah di sana dengan biaya sepenuhnya ditanggung perusahaan. Tentu dengan imbalan ikatan dinas selama dua kali ditambah satu tahun masa pendidikan, saya tidak diperkenankan resign.
Setelah menyelesaikan D3, saya semakin bersemangat mengejar ilmu. Meskipun kuliah dilakukan usai jam kerja hingga larut malam, namun bertemu dengan teman kuliah dan mempelajari bidang yang setiap hari saya geluti di kantor terasa menyenangkan bagi saya.
ADVERTISEMENT
Diam-diam saya mengikuti ujian saringan masuk program ekstensi di UI untuk mendapatkan gelar sarjana. Awalnya saya sedikit pesimis karena kompetisinya yang ketat. Dari tiga ribu pendaftar, hanya tiga ratus orang saja yang diterima dalam satu angkatan.
Tak dinyata ternyata nama saya berada di antara tiga ratus orang yang diterima sebagai mahasiswa. Saya pun kembali mengajukan beasiswa kepada Pak Arnold dan ternyata mendapat sambutan positif. Resmilah saya menjadi mahasiswa program ekstensi di kampus nomor satu di Indonesia itu. Sekali lagi tanpa sepeserpun biaya yang saya keluarkan dari kantong sendiri.
Terlepas dari penilaian karyawan lain yang mengatakan Pak Arnold sangat galak, saya menyadari kebaikan hatinya dan ketulusan niatnya mencerdaskan karyawan-karyawan di perusahaan yang dipimpinnya.
ADVERTISEMENT
“Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular.” Kata-kata itu sempat diucapkan Pak Arnold sebelum pamit untuk pensiun dari jabatannya beberapa tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan.
Kegemaran Pak Arnold menularkan ilmunya kepada siapa pun dalam kesempatan apa pun, memercikkan niat di hati saya untuk melakukan hal yang sama. Seperti halnya Pak Arnold yang gemar membagikan pengalaman kepada karyawannya, kini saya pun sering bertukar pengetahuan dengan junior di perusahaan. Saya juga menyambut dengan antusias ketika almamater memberi saya kesempatan menjadi praktisi yang mengajar adik-adik kelas di kampus yang sama.
Hanya itulah yang bisa saya lakukan sebagai bentuk rasa terima kasih saya atas kebaikan hati seorang direktur perusahaan yang terkenal galak namun teramat murah hati berbagi pengetahuan. Seperti kata Pak Arnold berulang kali dalam briefing paginya,”Pengetahuan itu mudah usang. Untuk apa disimpan sendiri bila di kemudian hari menjadi tak relevan lagi?”
ADVERTISEMENT