Kebetulan Hanyalah Nama Lain Anyaman Kebaikan dari Sang Maha Baik

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
15 September 2021 11:21 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Monas (sumber: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Monas (sumber: pixabay)
ADVERTISEMENT
Ketika korona mengganas lagi usai liburan panjang sebelumnya, ada statement di media sosial yang menyatakan bahwa, “ kebetulan hal ini terjadi karena warga abai.” Hah? Apakah kebetulan bisa dikaitkan dengan tindakan yang bisa diantisipasi manusia?
ADVERTISEMENT
Saya masih tak habis pikir, mengapa ketidakberuntungan disematkan dengan istilah kebetulan? Apakah semesta ini memang tidak sengaja menghadirkan tragedi?
Berkisah tentang ketidakberuntungan – saya tidak mau menyebutnya sebagai kesialan – yang pernah terjadi dalam hidup saya, apabila ditinjau kembali pada saat ini ternyata sama sekali bukan kebetulan. Ibarat jaring laba-laba, takdir ternyata tengah menganyam nasib kita sejak lama, tanpa kita sadari. Apakah ini bisa disebut kebetulan? Menurut saya tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanyalah kebaikan Tuhan.
Berawal masa remaja saya di Salatiga, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Sebagaimana umumnya remaja dari kota kecil yang belum pernah melihat ibukota, pada saat itu wisata ke Jakarta menjadi angan-angan saya. Rasanya ingin sekali melihat Monas, Taman Mini Indonesia Indah dan Dunia Fantasi dengan mata kepala sendiri.
ADVERTISEMENT
Maka bisa dibayangkan betapa girang hati saya ketika pihak sekolah mengadakan acara wisata edukasi dengan tujuan Jakarta. Saya mengira impian saya akan segera menjadi kenyataaan.
Sayangnya, waktu memang tidak berpihak kepada saya. Biaya untuk mengikuti wisata edukasi itu cukup mahal, terutama bagi kantong orang tua saya yang tidak punya penghasilan tetap. Pihak sekolah memang tidak mewajibkan semua siswanya ikut sehingga wisata edukasi hanya diikuti oleh mereka yang mampu saja. Karena biayanya tak terjangkau, saya pun urung mengikuti kegiatan itu. Hal itu membuat saya murung berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya.
Dengan pikiran lugu saya sebagai remaja, saya berusaha mencari donatur dengan mengirim surat kepada artis ibukota yang alamatnya saya dapatkan dari majalah. Entah apa yang ada di benak saya waktu itu, mungkin karena mengira bahwa artis ibukota itu hidup sejahtera dan suka berderma sehingga mau saja membayari saya berwisata ke Jakarta. Dalam surat itu saya menyampaikan panjang lebar alasan mengapa saya ingin sekali ke Jakarta. Mudah ditebak bila surat yang saya kirimkan itu tidak jelas nasibnya.
ADVERTISEMENT
Dunia memang tidak adil namun kita harus mempersiapkan diri untuk menerimanya. Pada saat saya sedih, teman-teman justru memamerkan foto-foto mereka di tugu Monas yang megah, istana boneka nan indah di TMII dan keseruan naik wahana halilintar di Dufan yang membuat saya semakin iri.
Namun saya ikut tertawa mendengar cerita tentang seorang teman yang sempat hilang di keramaian. Ironis memang, kesusahan orang justru meringankan perasaan saya, mungkin karena saya jadi merasa tak sendirian lagi dalam kesedihan. Jojo, teman saya yang sempat hilang itu hingga kini masih sering menjadi sasaran olok-olokan teman-teman lain pada saat reuni.
Pada saat itu saya memang tidak beruntung mengikuti wisata edukasi ke Jakarta bersama teman-teman sekolah. Saya sedih karena jadi tak punya kenangan yang sama dengan teman-teman. Namun siapa sangka, selepas SMA ternyata Tuhan justru menggariskan hidup saya untuk bekerja dan menetap di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga terjadi pada adik saya. Orang tua saya memang jenis orang yang menganut konsep keadilan sama rasa dan sama rata, sehingga pada gilirannnya, ketika adik bungsu saya seharusnya mengikuti wisata edukasi ke Bali yang diselenggarakan pihak sekolah, orang tua saya juga tidak memberikan ijin. Alasannya bukan lagi masalah biaya, melainkan supaya sama dengan kakak-kakaknya yang juga tidak ikut kegiatan wisata edukasi sekolah.
Seperti halnya kakaknya yang gagal berwisata ke Jakarta namun di kemudian hari ternyata menetap di Jakarta, adik saya yang gagal mengikuti wisata edukasi ke Bali ternyata hingga saat ini justru menetap dan bekerja di pulau Bali.
Apakah ini yang namanya kebetulan? Saya lebih percaya bahwa hal ini terjadi karena kebaikan Tuhan.
ADVERTISEMENT
“Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular,” kalimat itu kini selalu tersemat setiap mengingat Dia Sang Pemilik Kebaikan.