Krisis Komunikasi Pejabat Publik

Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indoneia, Aktivis Nasyiatul Aisyiyah. Saat ini sedang kembali melanjutkan studi di Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dan mengisi berbagai diskusi
Konten dari Pengguna
25 Juli 2021 9:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Neni Nur Hayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok foto: pixabay.com/geralt.
zoom-in-whitePerbesar
Dok foto: pixabay.com/geralt.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi krisis yang kian mengalami ketidakpastian serta sebaran kasus Covid-19 yang terus meluas, beberapa pernyataan yang dilontarkan oleh para pejabat publik, kerap kali mengandung “paradoxal statement”, dinilai buruk saat membangun komunikasi kepada masyarakat. Komunikasi yang buruk ini menyebabkan pudarnya kepercayaan publik terhadap elite pejabat publik termasuk juga pemerintah. Alih-alih menyampaikan informasi secara tepat dan benar, yang terjadi justru memunculkan wacana dan polemik tak berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, pernyataan dan pesan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, dengan mengungkap “Kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, ini sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu, bisa datang ke saya, nanti saya tunjukin ke mukanya bahwa kita terkendali,” yang dikutip dari berbagai media dianggap mengaburkan esensi informasi yang disampaikan, mengerdilkan risiko suatu isu dan memunculkan problematika etis ketika disampaikan oleh pejabat publik disaat krisis.
Hanya tiga hari pasca penyampaian informasi tersebut, dalam konferensi pers kembali menyampaikan “Saya mohon supaya kita paham varian delta ini varian yang tidak bisa dikendalikan.” (Tempo, 15/06/2021). Kedua statement yang diungkapkan dan sangat berlawanan pada penggunaannya patut untuk dipertanyakan. Meski beberapa pejabat publik telah melontarkan permohonan maaf, tetapi persoalan komunikasi publik ini akan berkaitan erat terhadap etika publik. Sehingga, para pejabat publik harus mempertimbangkan komunikasi risiko (risk communication) yang akan terjadi. Tidak hanya Luhut, ternyata beberapa pejabat publik lainnya juga memperlihatkan komunikasi yang buruk saat menangani pandemi.
ADVERTISEMENT
Apalagi bentuk komunikasi tersebut disampaikan melalui media sosial seperti twitter yang menjadi media propaganda yang sangat efektif untuk membentuk opini publik (public opinion) dan memancing emosi. Ada pula pejabat publik yang melakukan komunikasi dengan cara sarkasme, yakni bentuk ironi yang mencemooh dengan mendiskreditkan kelompok lain. Hal ini menunjukkan tontonan perilaku pejabat publik saat ini, tidak adanya empati, kepekaan dan hati nurani di tengah situasi sulit yang sedang melanda.
Pernyataan kontroversial, tidak satu suara dan kompak dalam penanganan pandemi, saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab antar satu dengan yang lain, alhasil hanya membuat kegaduhan belaka tanpa ada solusi konkret nyata yang ditawarkan. Sungguh sangat tak elok komunikasi yang dilakukan oleh para pejabat publik. Sementara rakyat kecil dari hari ke hari menghadapi kondisi yang berat.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Risk Communication
Krisis pandemi Covid-19 memerlukan pentingnya risk communication yang tepat. Risk communication merupakan upaya menyampaikan risiko sehingga memberikan pemahaman yang serupa antara pihak terkait. Risk communication merupakan komunikasi instrumental yang mempunyai tujuan umum yaitu, menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, keyakinan, dan perilaku. Komunikasi instrumental di sini seperti yang disampaikan William L. Gorden berfungsi memberitahu atau menerangkan yang mengandung makna persuasif dalam arti pembicara menginginkan pendengar mempercayai bahwa informasi yang disampaikannya akurat dan layak diketahui (Mulyana, 2007).
Beberapa hasil penelitian menyebut bahwa sifat ketidakpastian yang secara natural ada pada sebuah risk communication dapat membangun kepercayaan publik sangat berat pada praktik di lapangan (Abraham, 2011). Saat ini, bila kita perhatikan secara seksama, para pembuat kebijakan cenderung downplaying atau meremehkan risiko karena ketakutan akan perhatian publik terhadap kesiapan pemerintah menghadapi pandemi yang terus menerus dipertanyakan. Downplaying ini disampaikan melalui pernyataan berlawanan dan kurang etis yang disampaikan kepada media sehingga mengurangi profesionalisme dan sering kali menciptakan ketegangan yang tidak perlu (Berk 2009).
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang buruk dapat memiliki dampak signifikan dan pengaruh luas pada masyarakat. Oleh karenanya, para pejabat publik termasuk juga pemerintah sebagai komunikator tentu berharap bisa membangun komunikasi dua arah atas pesan yang disampaikan antara pengirim dan penerima pesan sehingga terjadi komunikasi yang efektif.
Dampak yang Lebih Besar
Penyampaian pesan di media massa oleh para pejabat publik melalui media, sangatlah mempengaruhi khalayak. Sehingga tidak heran, ketika di negara kita masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak percaya kepada covid, abai terhadap protokol kesehatan, tidak mau divaksin, covid menjadi alat permainan politik dan sejumlah persoalan lainnya. Dalam komunikasi massa, efek yang ditimbulkan memang jauh lebih besar dibandingkan dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarindividu.
ADVERTISEMENT
Seorang pakar komunikasi, Harold D. Lasswell, memberikan gambaran bagaimana proses komunikasi selalu ada source (sumber), message (pesan), channel (media/saluran), audience (khalayak) serta effect atau efek yang ditimbulkan. Ini yang mengakibatkan berita tersebut bisa menyebar dengan sangat cepat dan memiliki dampak signifikan. Para pejabat publik seharusnya memahami betul problematika ini. Sebab, segala hal apapun yang dilontarkan oleh pejabat publik, memiliki news value atau nilai berita yang tinggi bagi media masa. Apalagi yang dibahas pejabat tersebut menyangkut isu covid-19.
Isu tersebut dianggap sangat krusial dan berkaitan dengan khalayak luas yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat. Mengatasi problematika ini memang tidaklah mudah. Namun dengan komunikasi yang efektif dengan penyampaian pesan yang baik setidaknya dapat meminimalisir dan menekan berbagai masalah dan polemik yang terjadi. Setidaknya, komunikasi publik yang baik dapat menghadirkan optimisme untuk bisa bangkit dari keterpurukan, memberikan ketenangan jiwa masyarakat, mengedukasi dan mensosialisasikan berbagai program kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Apabila kondisi tersebut dapat terwujud di masyarakat, maka tentu semua akan ada pada kesadaran bahwa covid-19 adalah masalah bersama. Pemerintah pusat hingga daerah melalui pejabat publik bisa membangun orkestra komunikasi yang baik untuk menangani pandemi ini. Masing-masing pejabat publik bekerja sesuai dengan perannya dan menyampaikan informasi secara benar dengan pendekatan yang tepat, sehingga tidak terjadi lagi multitafsir atas aturan ataupun pernyataan.
Seluruh pesan yang disampaikan tujuannya adalah sama, keluar dari kemelut pandemi. Bukannya malah komunikasi sendiri-sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi serta kelompoknya. Tidak ada kata terlambat untuk membangun dan melakukan pembenahan. Semoga pejabat publik mampu menjadi komunikator yang baik.