
Malam itu, sekira tahun 2013, saya duduk di sebuah kursi yang terletak di sudut pojok kafe. Di hadapan saya banyak pengunjung lamat-lamat menatap ke arah yang sama dan sesekali terbahak. Saya berkali-kali ingin ikut tertawa tapi menahannya.
"Mukamu kayak orang sembelit," kata kakak saya setelah turun dari panggung lantas menghampiri saya.
Ia baru saja melempar banyolan sendirian selama beberapa menit di panggung kecil yang terletak di kasir kafe, lantas bergantian dengan temannya yang lain. Meski bukan yang spesial-spesial amat, kakak saya dan teman-temannya merupakan komika, sebutan untuk pelawak di dunia komedi tunggal, stand up comedy. Komedi mereka lucu, tapi tak selucu nasibnya. Komika “daerah” tidak seberuntung mereka yang berada di “pusat”, Jakarta dan sekitarnya.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814