news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dokter Ratna sang Penjelajah: Pengalaman Lebih Penting dari Harta

12 November 2017 11:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokter Ratna Berkeliling Amerika dengan Sepeda (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Ratna Berkeliling Amerika dengan Sepeda (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
ADVERTISEMENT
Dari mana dananya? Itu salah satu pertanyaan yang sering muncul terhadap seseorang yang melakukan perjalanan ke luar negeri, apalagi ke beberapa negara sekaligus.
ADVERTISEMENT
Perjalanan keliling benua Amerika yang dilakukan oleh Ratna Sari Intan, dokter spesialis penyakit dalam asal Indonesia, tak lepas juga dari pertanyaan itu.
Ratna mengatakan, dana perjalanan keliling benua merah itu berasal dari uang tabungannya. Setelah selesai kuliah, Ratna bekerja sebagai dokter di Jerman dan mulai menabung.
“Saya hidup berhemat dengan tidak membeli mobil, rumah, atau barang-barang mahal. Bagi saya, pengalaman lebih penting dari harta,” tuturnya.
Selama melakukan perjalanan, Ratna tidak menghasilkan uang. Ia sepenuhnya mengandalkan tabungan yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun.
Namun begitu, terkadang ada beberapa penduduk setempat di benua merah yang baik hati, menawarkan tempat tinggal dan memberikan makanan kepadanya.
Selain menambah kenalan baru, bekal tabungan pun dapat lebih hemat setelah ia mengadakan kontak dengan warga di sekitar jalan yang ia lewati itu.
ADVERTISEMENT
Banyak pengalaman berkesan telah Ratna rasakan selama bertualang di benua Amerika. Salah satunya ketika ia dan suami, warga negara Jerman bernama Patrick Pöndl, melakukan hiking Continental Divide Trail (CDT) di Amerika Serikat.
Dokter Ratna dan Suami Berkeliling Benua Amerika  (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Ratna dan Suami Berkeliling Benua Amerika (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
Pada hari pertama hiking, mereka berjalan menyusuri gurun dekat perbatasan Meksiko. “Di gurun pasir ini tidak ada sumber air tawar. Organisasi CDT menyimpan galon air minum di tempat tertentu,” tutur Ratna.
Lokasi yang menjadi tujuan mereka pada hari pertama itu adalah kemah yang berlokasi di dekat dengan sumber air minum tersebut. “Sore hari, tiba-tiba kami bertemu dengan hiker yang berjalan kaki sendiri tanpa ransel, hanya memegang tongkat dan botol kosong,” kata Ratna.
Ia menceritakan, rupanya hiker tersebut tersesat dan tak memiliki peralatan navigasi seperti kompas, peta, atau GPS. Selain itu, hiker itu telah meninggalkan ransel seberat 35 kilogram miliknya di suatu tempat untuk berjalan balik mencari bantuan.
ADVERTISEMENT
“Hiker ini terkena dehidrasi dan dia tidak bisa mengingat namanya sendiri. Setelah (kami) memberinya minum, hiker ini ingat namanya lagi,” kata Ratna.
Ratna dan suami kemudian mengajak hiker ini untuk berjalan bersama mereka agar ia tak tersesat lagi. Mulanya hiker itu menolak, tapi setelah Ratna membujuk selama 30 menit, akhirnya ia setuju.
Setelah berjalan kaki selama dua jam, tiba-tiba terdengar suara helikopter. “Ternyata hiker ini sudah dicari oleh tim penyelamat karena dikabarkan hilang, dan mereka mengantar hiker ini kembali ke kota.”
Kisah soal hiker ini tak berhenti di situ. Setelah beberapa hari hiking, Ratna dan suami kembali ke kota untuk membeli makanan dan istirahat.
“Di hotel, kami menerima kartu ucapan terima kasih dari hiker ini. Saya merasa terharu dan bahagia bisa menolong dia dari kesulitan,” kata Ratna.
ADVERTISEMENT
Pengalaman lain yang berkesan adalah ketika ia dan suami bersepeda di Denali National Park. Tujuan mereka adalah melihat Gunung Denali, gunung tertinggi di Amerika Utara.
Dua hari pertama bersepeda di sana, mereka diguyur hujan lebat. Mereka harus mengayuh pedal dengan halangan lumpur dan banjir.
“Kami sedih, kami pikir kami tidak akan pernah melihat gunung Denali karena cuaca yang buruk,” kata Ratna.
Sekitar jam 3 pagi pada hari ketiga di Denali National Park, Ratna terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Keluar dari tenda, Ratna dikejutkan oleh pemandangan yang luar biasa, yakni Gunung Denali tanpa awan.
“Raja puncak gunung di Amerika Utara dengan ketinggian 6.190 meter, bertakhta atas puncak-puncak lain di sekitarnya, ada di depan mata saya,” tutur Ratna terharu.
ADVERTISEMENT
Selama dua hari berikutnya, Ratna dan suami bisa menikmati pemandangan Gunung Denali yang begitu megah dan indah. “Pengalaman ini mengingatkan saya pada kata pepatah, ‘Badai pasti berlalu, habis gelap terbitlah terang, dan habis hujan muncullah pelangi’.”
Dokter Ratna Berkeliling Amerika  (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Ratna Berkeliling Amerika (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
Pada Februari 2017, Ratna terpaksa menghentikan sementara perjalanannya keliling benua Amerika. Saat itu ia memutuskan untuk mengunjungi Indonesia lantaran kondisi kesehatan neneknya tidak baik dan ia pun kangen pada keluarganya.
“Beruntunglah setelah tinggal dengan nenek beberapa hari, keadaannya membaik,” kata Ratna.
Sewaktu di Indonesia, Ratna menerima kabar dari adik iparnya bahwa ibu mertuanya sedang dirawat di ICU rumah sakit di Jerman dalam kondisi kritis.
“Dua hari setelah menerima berita tersebut, saya dan suami terbang dari Indonesia ke Jerman. Ini adalah momentum di mana saya merasa sangat sedih,” aku Ratna.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari Ratna menjenguk dan menemani mertuanya di rumah sakit, mulai dari keadaan koma sampai bisa berjalan lagi.
“Setelah kondisi mertua membaik, saya dan suami melanjutkan perjalanan kami bersepeda mengelilingi benua Amerika,” tuturnya.
Tekad Ratna untuk mengelilingi benua Amerika dengan bersepeda begitu kuat. Kini, ia sudah menempuh perjalanan sekitar 20.000 kilometer di benua merah itu.
Ia sudah melintasi sejumlah negara bagian Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Kolumbia, Ekuador, hingga Peru. Tujuan akhirnya adalah Kota Ushuaia, daerah Tierra del Fuego, Argentina.
Seperti yang telah ia katakan sebelumnya, baginya pengalaman lebih penting daripada harta.
Dengan Suami, Ratna Berkeliling Amerika (Foto: Dok. Patrick Pöndl)
zoom-in-whitePerbesar
Dengan Suami, Ratna Berkeliling Amerika (Foto: Dok. Patrick Pöndl)