Setop Obesitas Anak, Cegah Silent Killer Merampas Hidupnya

2 November 2017 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Adit, 8 tahun, menolak menyebutkan angka berat badannya. “Aku tahu berat badanku, tapi aku nggak mau kasih tahu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya kenapa tak mau menyebut berat badannya, bocah laki-laki itu menjawab, “Soalnya berat badanku gede banget.”
Adit hanya mau memberi tahu tinggi badannya, yakni 140 sentimeter. Namun setelah dirayu kembali, dengan polos ia mengatakan berat badannya 50 kilogram.
Pertanyaannya, apakah dengan berat 50 kilogram --yang menurutnya “gede banget” itu-- Adit mengalami obesitas? Atau hanya masuk dalam kategori kegemukan? Atau justru normal? Mari kita coba hitung bersama-sama.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Untuk mengetahui apakah berat badan seorang anak tergolong kurus, normal, kegemukan, atau bahkan obesitas, kita perlu menghitung body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) anak tersebut. IMT adalah ukuran berat badan dalam kilogram, dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter.
ADVERTISEMENT
Dari hasil perhitungan, angka IMT dan usia anak tersebut kemudian perlu diplot ke grafik pertumbuhan yang dibuat Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Badan Kesehatan Amerika Serikat yang menyediakan informasi kesehatan dan mempromosikan kesehatan dengan departemen kesehatan negara itu dan organisasi-organisasi lainnya.
Jika titik plot tersebut berada di area persentil antara 85 dan 95, anak tersebut dinyatakan mengalami kegemukan (overweight). Sementara jika titik plot yang dihasilkan berada di area lebih dari 95, anak tersebut dianggap mengalami obesitas.
Perhitungan tersebut diadopsi oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk mendiagnosis kondisi berat tubuh anak berusia antara 2 hingga 20 tahun. Adapun untuk anak usia di bawah 2 tahun, IDAI mengacu pada grafik pertumbuhan buatan World Health Organization (WHO), Organisasi Kesehatan Dunia bentukan PBB.
ADVERTISEMENT
Untuk memudahkan, mari kita coba praktik langsung. Misalnya dengan mengategorikan kondisi tubuh Adit.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Dengan berat badan 50 kg dan tinggi badan 1,4 meter, IMT Adit adalah 50 kg/(1,4 m)2 = 25,5 kg/m2.
Jika IMT (25,5 kg/m2) dan usia (8 tahun) Adit diplotkan pada grafik CDC, akan didapat titik plot sebagai berikut.
Hasil Plot IMT dan Usia Adit Tergolong Obesitas (Foto: Utomo P/kumparan dan CDC)
Pada grafik di atas terlihat jelas, titik hasil plot IMT dan usia Adit berada di area persentil di atas 95. Maka dapat disimpulkan, Adit termasuk anak yang mengalami obesitas.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Lily Sriwahyuni Sulistyowati, mengatakan banyak penyakit tidak menular yang berawal dari obesitas.
Obesitas dapat menyebabkan hipertensi, stroke, kanker, diabetes, dan sebagainya. Menurut Lily, semua penyakit yang berawal dari obesitas itu adalah penyakit-penyakit silent killer --penyakit yang timbul hampir tanpa gejala awal, namun dapat menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
“Itu asosiasi dokter spesialis anak sudah teriak-teriak karena sekarang diabetes pada anak banyak,” kata Lily saat dihubungi kumparan, Selasa (31/10).
Dokter spesialis pola kembang anak Aman Pulungan pernah mengatakan, jumlah anak yang menderita diabetes mellitus (DM) meningkat 500 persen dalam kurun waktu lima tahun. "Setiap minggu selalu ada anak penderita diabetes baru," ujar Aman pada 2014 lalu.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Makanan Bergizi Seimbang
Salah satu cara untuk mencegah dan menangani obesitas pada anak adalah dengan menerapkan pola makan teratur, yakni mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
“Gizi seimbang itu, harusnya dalam piring makan terdiri dari 50 persen sayur dan buah, 25 persen karbohidrat, dan 25 persen protein,” papar Lily.
Konsumsi makanan bergizi untuk hidup sehat (Foto: Thinkstock)
Perbandingan itu, kata Lily, harus disesuaikan dengan porsi makan orang tersebut.
ADVERTISEMENT
“Jadi misalnya anda makan, katakanlah karbo dan proteinnya banyak, berarti sayurnya harus jauh lebih banyak. Itu tadi perbandingan 50:25:25 lah untuk gampangnya.”
Lima Porsi Sayur dan Buah per Hari
Sayur adalah musuh terbesar anak-anak. (Foto: Thinkstock)
Khusus untuk sayur dan buah, Lily prihatin dengan banyaknya orang, termasuk anak-anak, yang tak menyukai jenis makanan tersebut.
“Di Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) kami, (diperolah data bahwa) masyarakat Indonesia tidak suka makan buah dan sayur, itu (mencapai) 93,4 persen,” ujar Lily.
Padahal menurutnya, untuk mencegah obesitas, setiap orang sebaiknya makan lima porsi sayur dan buah per hari. Satu porsi itu, maksud Lily, adalah satu mangkuk kecil, bukan mangkuk besar.
Kurangi Makan di Luar Rumah
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Ada kaitan antara kebiasaan masyarakat yang tak makan makanan bergizi seimbang dengan pemasaran produk-produk cepat saji yang menggugah selera, namun kandungan gizinya patut dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
“Nah sekarang ini kami gembar-gembor juga tentang gizi seimbang --makan harus bervariasi, banyak buah dan sayur-- (tapi) itu kayaknya tenggelam dengan pemasaran makanan yang ‘enak-enak’,” papar Lily.
Senada dengan Lily, dokter spesialis gizi klinik Eva Kurniawati juga menyarankan untuk membatasi makan di luar rumah, terutama di restoran cepat saji.
“Makanan di resto cepat saji cenderung tinggi kalori, (sebab) pengolahan makanan umumnya dengan metode goreng,” ujar Eva, Selasa (31/10).
Ia menyarankan, saat memasak sendiri di rumah pun, sedapat mungkin utamakan cara masak dengan mengukus dan merebus, dibanding dengan menggoreng.
Batasi Konsumsi Gula
Ada batasan untuk anak konsumsi gula (Foto: Thinkstock)
Selain membatasi makanan goreng-gorengan, anak-anak juga perlu dibatasi dalam mengonsumsi makanan dan minuman manis.
“Gula perlu dibatasi karena merupakan sumber energi yang cepat, yang jika tidak dipakai akan cepat ditimbun sebagai lemak,” terang Eva.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, konsumsi gula yang tepat bagi anak-anak usia 1-3 tahun adalah 2-5 sendok teh. Untuk usia 4-6 tahun 2,5-6 sendok teh. Untuk usia 7-12 tahun 4-8 sendok teh. Sementara untuk 13 tahun ke atas adalah 5-9 sendok teh.
Sarapan dan Bawa Bekal ke Sekolah
Ilustrasi Sarapan (Foto: Thinkstock)
Menurut Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah yang disusun Kementerian Kesehatan RI pada 2012, salah satu pola hidup sehat untuk mencegah obesitas pada anak adalah dengan membiasakan anak itu makan pagi, serta membawa bekal makanan ke sekolah.
“Kalau pagi, anak-anak itu harus dibiasakan sarapan, jangan sampai tidak sarapan. Karena itu modal buat dia belajar, berpikir, dan sebagainya,” kata Lily.
Di Jepang, ada slogan untuk anak-anak sekolah yang berbunyi “Hayane, hayaoki, asagohan.”
ADVERTISEMENT
“Asagohan itu sarapan pagi, hayane tidur cepat, dan hayaoki bangun cepat. Itu prinsip sekolah di sana: cepat tidur, cepat bangun, dan wajib sarapan pagi,” tutur Khoirul Anwar, sang penemu prinsip dasar teknologi 4G, beberapa waktu lalu kepada kumparan. Saat itu ia menceritakan pengalaman saat mengantarkan anaknya ke sekolah Jepang.
Aktivitas sarapan di rumah dan membawa bekal makanan ke sekolah perlu dibiasakan agar kebutuhan anak-anak mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dapat terjamin.
Sebab, kata Lily, “sangat sedikit orang tua yang memberikan uang jajan untuk anak, tapi dengan pesan, ‘Nak, nanti kalau di sekolah kamu beli yang ada nasinya, ada ikannya, ada dagingnya, tapi juga ada sayurnya, ada buahnya’.”
Mestinya, imbuh Lily, para orang tua memberi pemahaman seperti itu ketika menyodorkan uang jajan ke anak-anak untuk makan di sekolah, jika tak sempat membawakan mereka bekal makanan.
ADVERTISEMENT
Atur Jumlah Kalori Makanan
Porsi Makan Seimbang (Foto: Dokumentasi Nestlé)
Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah juga merinci jumlah kalori yang dibutuhkan anak-anak per masing-masing usia mereka.
Misalnya, anak usia 6-9 tahun memerlukan makanan sebesar 1.900 kilokalori per hari. Anak usia 10-12 tahun sekitar 2.000 kilokalori per hari. Anak usia 13-15 tahun 2.400 kilokalori per hari. Adapun anak usia 16-19 tahun sekitar 2.500 kilokalori per hari.
“Intinya, dari (jumlah) kalori itu dibagi tiga (kali makan),” kata Lily.
Ia mencontohkan, untuk sarapan porsinya bisa lebih sedikit dibanding untuk makan siang dan makan malam. Namun, total kalori dari tiga kali makan itu haruslah sesuai dengan jumlah kalori yang dianjurkan tadi.
Daftar Kalori Makanan (Foto: Google Playstore)
Kalori sendiri adalah satuan energi yang terkandung dalam makanan. Dalam makanan, terdapat tiga jenis makronutrisi, yaitu lemak, protein, dan karbohidrat. Per 1 gram lemak mengandung 9 kalori, sedangkan 1 gram protein maupun 1 gram karbohidrat masing-masing mengandung 4 kalori.
ADVERTISEMENT
Kalori dalam makanan dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi untuk beraktivitas. Namun jika jumlah kalori makanan yang dikonsumsi seorang anak berlebihan dan tak mengalami pembakaran, akan ada kalori ekstra yang disimpan tubuh dalam bentuk lemak.
Lemak inilah yang kemudian menyebabkan berat badan bertambah.
Untuk mengatur jumlah kalori makanan yang dikonsumsi anak, para orang tua perlu memperhatikan daftar jumlah kalori yang terkandung dalam tiap jenis makanan dan minuman. Di Google Playstore misalnya, terdapat aplikasi Daftar Kalori Makanan yang memberi informasi mengenai jumlah kalori masing-masing jenis makanan yang biasa dikonsumsi orang Indonesia.
Perbanyak Aktivitas Fisik
Terapkan Aktivitas Fisik Teratur. (Foto: Thinkstock)
Seperti telah dijabarkan di atas, kalori makanan yang tidak terbakar akan menjadi lemak di dalam tubuh. Oleh sebab itu, harus ada aktivitas fisik setiap hari. “Intinya berkeringat,” kata Lily.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Lily, Eva menganjurkan agar para orang tua meluangkan waktu untuk mengajak anak-anak bermain dengan menggunakan fisik mereka. “Seperti petak umpet, kejar-kejaran, lompat tali, hulahup, bersepeda, berenang, basket, lompat kodok, dan lain-lain.”
Sementara Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah telah menganjurkan para orang tua untuk meningkatkan akitivitas fisik anak minimal 1 jam per hari, tidak menyediakan televisi di kamar anak, serta membatasi kegiatan menonton televisi, mengoperasikan komputer, dan bermain game pada anak di bawah dua jam per hari.
Teladan dari Orang Tua
Orang tua menjadi lebih aktif. (Foto: thinkstock)
Hal terpenting untuk mencegah dan menangani obesitas pada anak, menurut Lily, adalah peran orang tua. “Yang penting, menurut saya, memang parenting. Orang tua mengajarkan kepada anak, dan juga memberi contoh.”
ADVERTISEMENT
Misalnya, jika suatu keluarga memiliki kebiasaan suka makan sayur, “kayaknya turun-temurun akan seperti itu karena itu sudah menjadi mindset.”
Begitu pula sebaliknya. Dokter Siti Rayhani Fadhila pernah menuliskan di laman IDAI, kebiasaan makan anak/remaja cenderung mengikuti orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, tak heran jika banyak anak obesitas berasal dari keluarga yang obesitas.
Penelitian yang dilakukan Cut Novianti Rachmi, kandidat PhD di Univesitas Sidney, menemukan bahwa obesitas/kegemukan anak di Indonesia berhubungan erat dengan obesitas/kegemukan orang tuanya. Jika orang tuanya obesitas/gemuk, kans anaknya untuk obesitas/gemuk pun semakin besar.
Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah juga menuliskan pentingnya melibatkan keluarga untuk perbaikan gaya hidup untuk pencegahan gizi lebih. Salah satunya dengan membiasakan makan bersama keluarga minimal sekali sehari.
ADVERTISEMENT
Lily mengatakan, waktu makan bersama keluarga adalah momen yang sangat berharga. Saat itu para orang tua dapat memastikan anaknya makan dengan benar, mengajarkan mereka, serta memberi contoh yang baik pada mereka.
“Sekalian kita (orang tua) mengedukasi (anak), ‘Wah kamu harus makan ini, (sambil) melihat anak itu makannya bagaimana’.”
Bedah Bariatrik
Bedah Bariatrik (Foto: keesler.af.mil)
Pada kasus-kasus tertentu, ada anak pengidap obesitas yang akhirnya terpaksa menjalani bedah bariatrik (bariatric surgery). Contohnya Arya Permana, bocah 10 tahun di Karawang yang bobot tubuhnya sempat mencapai 190 kilogram.
Bedah bariatrik adalah operasi untuk menurunkan berat badan pada pasien obesitas morbid (obesitas yang menyebabkan penyakit). Tindakan ini menjadi opsi setelah metode lain seperti diet, olahraga, dan pengobatan, tidak efektif.
ADVERTISEMENT
Operasi bariatrik antara lain dapat dilakukan dengan cara: (1) restriksi, yaitu membatasi jumlah asupan makanan dengan mengurangi ukuran lambung; (2) malabsorpsi, yaitu membatasi penyerapan makanan dalam saluran usus dengan “memotong-kompas” (bypass) sebagian dari usus kecil; dan (3) kombinasi dari restriksi dan malabsorpsi.
Namun Lily sangat tidak menyarankan anak yang mengalami obesitas menjalani operasi tersebut. Menurutnya, Arya adalah kasus khusus, sebab obesitas yang dialami Arya telah membuat bocah itu sulit bergerak.
Menurut Lily, operasi tersebut bukan solusi utama. “Udah biayanya mahal. Namanya side effect pasti akan ada.”
Ia menambahkan, “Kalau bicara public health ya kita bicara apa yang bisa kita lakukan tanpa bantuan obat-obatan, berarti dengan cara yang mudah, murah, dan kompilkasi atau side effect-nya sedikit.”
ADVERTISEMENT
Diet Sehat
Orang tua diet bersama anak (Foto: thinkstock)
Masyarakat tak boleh mengambil jalan pintas untuk menurunkan berat badan. Lily menganjurkan perlunya berkonsultasi kepada ahli gizi untuk menjalani diet sehat, sesuai kondisi tubuh masing-masing.
Pada intinya, tak ada pencegahan dan penanganan obesitas yang dapat dilakukan secara instan. Pola hidup sehat pada anak harus dibiasakan sejak kecil dan dicontohkan oleh orang tua.
Jadi, sudah siap memerangi obesitas?
Ilustrasi melawan obesitas pada anak (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)