LIPSUS SIMPANG LOCKDOWN Corona, Akses Tiga Gili Ditutup-1:1

Menghadapi Keluarga Besar yang Tetap Ingin Liburan di Tengah Wabah Corona

Utomo Priyambodo
"I have you in my plan soalnya," kata dia.
17 Maret 2020 12:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sudah banyak saran dari para ilmuwan untuk pemerintah Indonesia soal wabah corona, mulai dari ilmuwan Harvard maupun para ilmuwan dari Indonesia sendiri.
zoom-in-whitePerbesar
Sudah banyak saran dari para ilmuwan untuk pemerintah Indonesia soal wabah corona, mulai dari ilmuwan Harvard maupun para ilmuwan dari Indonesia sendiri.
"(Liburan keluarganya) jangan dibatalin dong. Itu obat bosen dua minggu di rumah." Percakapan di grup WA keluarga besar itu membuat saya yang biasanya hanya menjadi silent reader kemudian merasa penting untuk ikut nimbrung bertukar pesan di grup itu. Saya yang pernah jadi penulis sekaligus editor konten-konten sains, termasuk perihal kesehatan dan bencana, merasa tak pantas diam saja melihat keluarga sendiri berencana untuk berlibur di tengah-tengah wabah corona.
---------------------
Keluarga besar saya dari pihak ibu memiliki agenda berlibur bersama ke Puncak, Bogor, pada 28-29 Maret mendatang. Vila sudah dibooking, timeline acara liburan sudah disusun, makanan dan logistik sudah disiapkan, dan para kerabat sudah mengonfirmasi bakal ikut acara tersebut.
Namun, seperti yang kita tahu, penyakit Covid-19 sedang mewabah di Indonesia. Pemerintah sejumlah daerah, termasuk Depok dan Jakarta, tempat kebanyakan keluarga besar saya tinggal, sudah mengimbau warganya agar mengindari kegiatan keramaian bila tidak ada kepentingan mendesak paling minimal selama dua pekan ke depan. Saya yakin saudara-saudara saya juga sudah mengetahui imbauan tersebut.
Akan tetapi di grup WA keluarga tidak kunjung muncul wacana untuk mengundur atau membatalkan acara liburan tersebut. Jadi, demi kebaikan bersama, saya yang biasanya hanya menjadi silent reader di grup WA tersebut, untuk pertama kalinya berkirim pesan. Saya katakan, "Jangan ke mana-mana dulu kalau ga penting banget. Tunda dulu semua acara kumpul-kumpul/keramaian."
Dalam pesan tersebut saya juga melampirkan hadits berisi imbauan Nabi Muhammad dalam menyikapi wabah penyakit. "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." Begitulah kutipan hadits riwayat Bukhari tersebut. Isinya kurang lebih adalah konsep mengisolasi diri dan lockdown dalam menghadapi wabah.
Konsep lockdown dalam mengahadapi wabah penyakit juga telah dianjurkan di dalam ajaran agama Islam.
Dengan memberikan pendekatan agama seperti itu, saya berharap saudara-saudara saya akan lebih ter-engaged dalam mematuhi surat edaran dari pemerintah Depok dan DKI Jakarta tersebut. Namun beberapa kakak sepupu saya di grup WA keluarga justru menjawab imbauan itu dengan mengatakan keinginan mereka untuk tetap mengadakan liburan bersama ke Puncak.
Nggak usah dibatalin acara liburannya karena doorprize dan kado untuk acara sudah dipersiapkan, kata seorang kakak sepupu yang berpendapat bahwa liburan ke Puncak itu adalah "obat bosen 2 minggu di rumah libur". Kakak sepupu saya yang lain juga tidak setuju acara liburan itu diundur. "Kalau diundur bisa sampai bulan Juni," tulisnya di grup WA tersebut.
Gambar percakapan di Grup WA keluarga besar saya.
Respons-respons seperti itu terkesan lucu dan miris bagi saya. Saya langsung mengingat kondisi di Italia yang kini menjadi negara dengan jumlah kasus corona terbanyak kedua di dunia setelah China.
Menurut berbagai sumber, banyak orang di Italia, terutama anak-anak mudanya, menyepelekan corona sehingga virus itu kemudian menyebar dengan cepat dan masif sehingga akhirnya pemerintah Italia menetapkan kebijakan lockdown di negaranya dan para polisi dan tentara di sana berpatroli untuk memastikan warga tidak keluar rumah kecuali untuk urusan yang benar-benar sangat penting. Sebelumnya, banyak anak muda di sana mengabaikan imbauan social distancing (menjaga jarak dan menghindari kontak fisik) dengan malah nongkrong dan mabuk-mabukan bahkan jalan-jalan dan main ski. Para anak muda itu merasa pongah karena merasa masih muda sehingga menganggap diri mereka tidak akan terinfeksi corona dan kalaupun terinfeksi corona mereka merasa tidak akan mati. Mereka benar-benar tak peduli pada orang-orang tua di sekitar mereka.
Apa yang terjadi di Italia tampaknya juga akan terjadi di Indonesia, mengingat banyak warga dan pejabat publik di negara ini tampak terang-terangan meremehkan ancaman virus corona. Indonesia bisa menghindar untuk tak seperti China dan Italia yang memiliki kasus corona mencapai puluhan ribu, jika pemerintah negeri ini dan warganya insaf dan segera membuat gerakan cepat untuk membendung penyebaran virus yang diduga berasal dari kelelawar tersebut.
"Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelalaian dan lawakan bodoh para pejabat di negeri ini. Ammiin."
Jangan Lebih dari 9.000 Kasus
Saya menanggapi respons beberapa kakak sepupu di grup WA keluarga dengan mengirimkan gambar keluhan seorang dokter pada orang-orang Jakarta yang berbondong pergi ke Puncak karena objek-objek wisata di Jakarta telah ditutup oleh Gubernur Anies Baswedan. Gambar itu sengaja saya unggah ke grup untuk menyindir mereka. Beruntung, beberapa saat kemudian beberapa kakak sepupu yang lain mendukung imbauan saya.
Menuju Puncak gemilang cahaya. Berbondong-bondong ke Puncak tak takut tertular ataupun menularkan virus corona.
Kakak-kakak sepupu saya yang kekeh ingin liburan keluarga ke Puncak itu mungkin masih muda dan memiliki imun yang cukup kuat agar tak mati diberaki corona, tapi orang tua mereka dan orang tua saya kan sudah tua sehingga lebih rawan.
Di grup WA keluarga inti yang terdiri atas saya, ibu, bapak, dan adik, saya mengirimkan hasil pemodelan Tim Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mensimulasikan bahwa epidemi corona di Indonesia akan mencapai puncaknya pada akhir Maret 2020 dan wabah ini baru akan berakhir pada pertengahan April mendatang. Tim Matematika ITB tersebut memperkirakan bahwa jumlah kasus corona di negeri ini akan mencapai lebih dari 8.000 kejadian. Di periode puncak kasus baru corona di Indonesia bisa mencapai 600 kejadian per hari.
Hasil pemodelan dari tim peneliti matematika ITB.
Ada kabar yang lebih buruk. Pemodelan yang dilakukan oleh Tim Matematika ITB itu merupakan pendekatan model yang relatif minimal. Itu adalah pemodelan optimistis dengan syarat kondisi pemerintah Indonesia menangani wabah corona di negeri ini dengan cara dan strategi yang mirip dengan yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan. Masalahnya, pemerintah Korea Selatan memiliki standar yang tinggi yang agaknya cukup sulit untuk dicontoh pemerintah Indonesia. Misalnya, pemerintah Korea Selatan bisa melakukan tes corona pada 15.000 warganya dalam satu hari.
Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Apakah bisa melakukan tes corona sebanyak itu per harinya dan mendapatkan hasil tes dengan cepat? Dalam beberapa kasus, beberapa pasien corona yang meninggal di Indonesia bahkan belum tahu kalau dirinya positif corona karena pemerintah lambat dalam memberikan hasil tes. Bahkan, ada pasien corona meninggal yang sebelumnya pemerintah sebut negatif corona tapi kemudian pemerintah sendiri ralat menjadi positif corona.
Kemarahan seorang warga pada ketertutupan pemerintah soal penanganan corona.
Pemerintah Punya Banyak PR
Jika ditanya apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah Indonesia dalam membendung penyebaran corona di Indonesia? Jawabannya, banyak. Salah satunya pemerintah harus menyiapkan fasilitas kesehatan dan fasilitas isolasi yang memadai untuk para pasien positif corona maupun pasien yang baru berstatus terduga corona.
Pemeritah Indonesia memang sudah mengumumkan bahwa pihaknya telah menyediakan 132 rumah sakit rujukan untuk penanganan corona. Akan tetapi, The Jakarta Post mendapat dokumen bocoran yang mengungkapkan bahwa dari 132 rumah sakit rujukan itu, baru 49 rumah sakit yang benar-benar "siap".
Laporan dari Jakarta Post yang mendapat dokumen bocoran soal kondisi rumah sakit di Indonesia.
Laporan di berbagai media juga telah mengungkapkan kurang siapnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di berbagai rumah sakit di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Bahkan, seorang perawat berusia 37 tahun di sebuah rumah sakit di Jakarta saja malah jadi korban jiwa akibat tertular corona dari pasien yang ia tangani. Saya sedih sekali mendengar tenaga medis yang biasa menolong banyak pasien medis justru nyawanya tak tertolong oleh fasilitas medis di negeri ini.
Cuitan seorang dokter yang bersiap menghadapi gelombang pasien corona di Indonesia.
Saya dan keluarga saya harus sadar, fasilitas kesehatan di Indonesia belum sebagus di Singapura yang hingga kini persentase kematian dari kasus coronanya masih 0 persen (sedangkan Indonesia adalah sekitar 4 persen, berdasarkan data 5 kematian per 134 kasus). Itulah sebabnya, banyak orang Indonesia memilih berobat di Singapura. Tapi hal itu tampaknya hanya bisa dilakukan oleh orang berpunya di Indonesia. Sebab, kini warga Indonesia yang berobat corona di Singapura sudah dikenai biaya, tidak lagi digratiskan. Saya dan keluarga saya belum tentu mampu berobat ke Singapura.
Tes, Tes, dan Tes
Selain menyiapkan fasilitas kesehatan untuk penanganan pasien corona, pemerintah juga punya PR untuk bersikap terbuka mengenai kemampuan dan kelengkapan alat tes yang mereka miliki. Ada banyak hal yang belum kita, atau setidaknya saya, ketahui terkait kesiapan pemerintah dalam menanggulangi wabah SARS-CoV-2 ini.
Kita belum terinformasikan pemerintah bisa melakukan tes corona seberapa banyak dalam sehari? Hasil tesnya bisa diketahui dalam waktu berapa lama sejak pasien dites? Alat-alat tes corona (test kit) yang digunakan pemerintah diproduksi oleh siapa atau berasal dari mana? Ada berapa banyak test kit yang pemerintah miliki? Alat-alat itu telah didistribusikan ke mana saja? Ada berapa lembaga atau laboratorium di Indonesia yang bisa dan diberi kewenangan melakukan tes corona dan menentukan hasilnya? Siapa saja pihak-pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan tes tersebut?
Tim dokter di Wuhan, China, pernah menegaskan bahwa langkah paling penting untuk mencegah dan mengontrol persebaran corona di wilayahnya adalah dengan melakukan "tes, tes, dan tes". Intinya, pemerintah perlu memperbanyak tes dan memperbanyak alat tes. Mereka juga perlu memberi kewenangan kepada lebih banyak instansi untuk melakukan tes corona. Jangan hanya mengandalkan instansi yang ada di Jakarta saja.
Upaya memperbanyak tes corona sudah dilakukan oleh banyak negara di dunia yang juga sedang menghadapi wabah akibat virus tersebut. Banyak negara telah melakukan tes corona hingga ribuan kali dalam sehari. Bahkan, Korea Selatan bisa melakukan tes corona sebanyak 15.000 hingga hampir 20.000 per hari.
Pentingnya tes corona ini perlu dipahami dengan logika sederhana. Yakni, ketika pemerintah kita per 16 Maret sudah berhasil mendeteksi 134 kasus positif corona, itu sebenarnya ada lebih banyak lagi kasus positif corona di tengah-tengah masyarakat yang belum terdeteksi dan sedang menyebar ke orang-orang lain. Itulah sebabnya jumlah kasus positif corona yang ditemukan di negeri ini bertambah secara signifikan dari hari ke hari, bahkan memperlihatkan kenaikan eksponensial.
Seorang dokter pernah memperkirakan jumlah kasus corona di Indonesia dengan metode prediksi dari kasus terdiagnostik dan dengan metode prediksi dari kasus kematian. Per 16 Maret 2020 misalnya, dilaporkan bahwa terdapat 134 kasus dan 5 kematian di Indonesia. Maka perkiraan jumlah kasus sebenarnya berdasarkan metode prediksi dari kasus terdiagnosis = 27x134 = 3.618; sedangkan berdasarkan metode prediksi dari kasus kematian = 800x5 = 3.618.
Dengan demikian, maka diperkirakan kasus asli di Indonesia saat ini berkisar antara 3.618-4.000 kasus!
Pemerintah Indonesia jelas sedang ditantang oleh virus corona untuk adu cepat. Apakah kegesitan pemerintah dalam mendeteksi pasien positif corona, melakukan tracing contact untuk mendeteksi pasien lainnya, dan kemudian mengisolasi mereka semua bisa lebih cepat ketimbang laju penularan virus tersebut? Itulah pertanyaan besarnya.
Jelas, dari fakta ini saja, pemerintah pusat tidak bisa jemawa mengandalkan diri mereka sendiri, tapi harus berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk terbuka dan transparan pada masyarakat Indonesia agar kita semua bisa saling memperbaiki dan melengkapi kekurangan yang ada. Bila perlu bantuan dana dari orang-orang berpunya di Indonesia, tidak ada salahnya pemerintah meminta bantuan kepada masyarakatnya sendiri.
Yang Harus Kita Lakukan
Ada banyak hal yang mesti kita lakukan sebagai warga biasa di Indonesia. Pertama jaga imunitas tubuh kita. Perbanyak minum air putih, istirahat, makan makanan bergizi seperti buah, sayur dan protein, serta mengonsumsi suplemen atau vitamin tambahan bila perlu. Pada dasarnya, tiap tubuh manusia memiliki sistem kekebalan yang bisa menangkal serangan patogen, termasuk virus, yang masuk ke dalam tubuh. Jadi seberapa kuat sistem kekebalan tubuh kita, turut menentukan apakah kita rentan sakit akibat virus corona atau tidak.
Kedua, mengisolasi diri alias sebisa mungkin diam di rumah saja, cuk. Sedapat mungkin, janganlah pergi ke luar rumah kecuali untuk urusan yang benar-benar sangat penting. Jika bisa bekerja, beribadah, dan melakukan segala sesuatunya di rumah, maka manfaatkanlah kesempatan tersebut.
Kita mesti sadar, meski kita punya sistem imun kuat sehingga tidak merasa sakit saat corona masuk ke tubuh kita, kita tetap berpotensi menularkan corona itu ke tubuh orang lain. Jadi, kita harus paham dan memiliki empati bahwa diri kita tak hanya berpotensi tertular corona, tapi juga berpotensi menularkan corona ke orang lain.
Dengan mengisolasi diri, berarti kita telah turut berperan dalam memutus satu jalur rantai penyebaran corona yang bisa bercabang menjadi beberapa jalur. Begini sederhananya, jika kamu tak mengisolasi diri dan kemudian tertular corona, maka kamu bisa menularkan itu ke ibu dan ayahmu. Ibumu kemudian bisa menularkan itu teman pengajiannya, sedangkan ayahmu bisa menularkan itu ke teman kantornya dan seterusnya. Jadi dengan kamu mengisolasi diri, ibu dan ayah tak harus tertular, teman pengajian ibumu dan teman kantor ayahmu juga tidak harus tertular.
Mari kita putus jalur penularan corona,, dimulai dari diri kita sendiri.
Dalam menghadapi wabah seperti ini, kita mesti mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk (worst case). Jadi, anggaplah dirimu saat ini sedang terinfeksi corona sehingga kamu harus sebisa mungkin tidak menularkannya ke orang lain. Maka, dalam kondisi pagebluk seperti ini, memakai masker sesungguhnya sangatlah penting bagi dirimu.
Ada perbandingan menarik antara grafik kenaikan kasus corona yang di negara-negara yang mewajibkan warganya untuk memakai masker dengan negara-negara yang tidak mewajibkan warganya memakai masker. Negara-negara yang mewajibkan memakai masker memiliki grafik kasus corona yang lebih landai.
Hal ini memang masuk akal. Sebab, kita tidak bisa memprediksi apakah diri kita ataupun orang-orang di sekitar akan batuk atau bersin secara tiba-tiba. Di samping itu, ada sebuah riset terbaru yang menemukan bahwa virus corona bisa bertahan hidup dan melayang di udara sehingga ada kemungkinan virus itu bisa menyebar melalui udara.
Efek memakai masker dalam pencegahan dan pengendalian wabah corona.
Selain mengenakan masker, rajin mencuci tangan pakai sabun dan air dengan benar ataupun menggunakan antiseptik/alkohol 70% untuk membersihkan tangan juga penting. Jangan makan-minum dan menyentuh wajahmu bila kamu belum mensterilkan tanganmu.
Perilaku-perilaku seperti ini memang sangat membosankan untuk dilakukan. Namun ingatlah selalu, kita harus mementingkan kesehatan dan keselamatan orang-orang di sekitar kita agar tak tertular corona dari tubuh kita. Bagaimana agar kita tak menularkan corona ke orang lain? Maka pastikan dirimu tak tertular corona.
Nah, karena kamu tak bisa memastikan tubuhmu senantiasa bebas dari virus corona, maka anggaplah dirimu sedang tertular corona sehingga kamu harus menjaga dan mengisolasi diri, menjaga jarak, dan membatasi kontak sebisa mungkin agar kamu tak menularkan corona dari tubuhmu ke tubuh orang lain.
Seberapa lama? Imbauan beberapa pemerintah daerah sejauh ini adalah selama 14 hari. Akan tetapi, temuan terbaru mengungkapkan bahwa corona memiliki masa inkubasi hingga 27 hari, tak lagi cuma 14 hari. Jadi dalam kondisi pagebluk seperti ini, anggaplah dirimu sedang terinfeksi corona dan harus melewati masa inkubasi dari virus tersebut selama 14 sampai 27 hari, sampai akhirnya sistem imun tubuhmu terbukti bisa menang melawan serangan virus itu dan virus itu mati. Setelah itu barulah kamu boleh berkeliaran tanpa harus menularkan corona ke orang lain.
Di grup WA keluarga inti, saya menunjukkan gambar dari situs pikobar Pemprov Jawa Barat yang memperlihatkan ada banyak pasien dalam pengawasan (PDP) dan pasien positif corona di Depok. Jadi, kami sebagai warga Depok sebaiknya menganggap diri kami telah terkena corona sehingga semestinya tidak pergi ke daerah lain seperti Puncak, Bogor, demi kebaikan orang-orang lain di sana.
Selain itu, di Bogor juga sudah ditemukan beberapa PDP. Ditambah lagi, pasien positif corona yang meninggal di Solo pernah memiliki riwayat kegiatan di Bogor. Jadi ada kemungkinan virus corona juga telah menginvasi Bogor sehingga keluarga kami sebaiknya tidak ke sana.
Peta persebaran PDP dan pasien positif corona di Depok.
Mengisolasi diri memang sangat menjemukan. Menahan diri dari keinginan untuk berlibur bersama keluarga besar yang telah direncanakan sejak jauh-jauh hari memang sungguh menyebalkan. Namun, demi kebaikan orang-orang yang kita sayangi, kita mesti melakukan segalanya.
Di grup WA, saya katakan juga kepada keluarga saya bahwa teman dekat saya yang hendak mengadakan resepsi pernikahan di Depok pada akhir Maret ini bahkan rela mengundur acara pentingnya itu demi kebaikan bersama. Ia tidak mau keluarganya yang berada di luar kota datang ke Depok di tengah kondisi wabah corona seperti ini. Teman saya tetap akan melangsungkan pernikahannya tapi dengan bijak hanya akan mengadakan acara akad yang sederhana tanpa acara ramai-ramai resepsi seperti kebanyakan orang lainnya. Ia rela acara resepsinya diundur jauh dari hari akadnya.
Lalu bagaimana soal rencana liburan keluarga besar saya ke Puncak? Alhamdulillah, liburan itu akhirnya diputuskan untuk diundur dulu. Kami berwacana untuk merealisasikannya pada bulan Juni ketika anak-anak sudah libur sekolah dan bila wabah corona sudah berakhir. Tapi apakah wabah corona di Indonesia bakal sudah berakhir pada Juni nanti? Itu kembali lagi, tergantung pada bagaimana sikap kita, warga dan pemerintah, dalam menghadapi kondisi wabah sekarang ini.
Ilustrasi pusing Foto: Thinkstock
Wisatawan asing di Pelabuhan Bangsal usai berkunjung ke Gili Trawangan di Lombok, Selasa (17/3/2020). Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten