news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Haruskah Kehilangan Nyawa karena Pergi Nonton Sepak Bola ke Stadion?

Victor Kamang
Corporate Lawyer
Konten dari Pengguna
25 September 2018 13:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Victor Kamang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pesepak bola Madura United (MU) FC Greg Nwokolo (kanan) berusaha melewati pesepak bola Selangor FA Mohd Razman B Roslan (kiri) dalam uji tanding di Stadion Gelora Ratu Pamelingan (SGRP) Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (4/9). MU memenangi pertandingan tersebut dengan skor 4-1. (Foto: ANTARA/Saiful Bahri)
zoom-in-whitePerbesar
Pesepak bola Madura United (MU) FC Greg Nwokolo (kanan) berusaha melewati pesepak bola Selangor FA Mohd Razman B Roslan (kiri) dalam uji tanding di Stadion Gelora Ratu Pamelingan (SGRP) Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (4/9). MU memenangi pertandingan tersebut dengan skor 4-1. (Foto: ANTARA/Saiful Bahri)
ADVERTISEMENT
Tentu saja jawaban saya: TIDAK.
Bagi saya pribadi, sepak bola adalah salah satu cabang olahraga favorit karena satu hal yaitu tidak ada yang tahu tim mana yang akan memenangkan pertandingan sampai wasit meniup peluit akhir pertandingan. Tim yang memiliki squad berisikan pemain-pemain bintang yang bergaji miliaran Rupiah per bulan, sarat pengalaman bertanding, dan pelatih berstrategi jitu pun belum tentu senantiasa menang di setiap pertandingannya.
ADVERTISEMENT
Tengok saja kiprah Jerman di Piala Dunia 2018 kemarin yang tersingkir di fase awal penyisihan grup setelah kalah dua gol tanpa balas dari Korea Selatan, tim yang di atas kertas ‘seharusnya’ mudah dikalahkannya. Apa daya pertandingan tidak berlangsung di atas kertas namun di atas lapangan.
Ada berbagai faktor pendukung selain faktor teknis yang mampu membuat sebuah tim sepak bola memenangkan sebuah pertandingan, seperti misalnya kepemimpinan wasit, cuaca, dukungan suporter, dan yang terakhir, yang senantiasa dituding menjadi penyebab kegagalan Timnas Indonesia gagal meraih juara: tidak berpihaknya dewi fortuna alias keberuntungan.
Timnas sepak bola Indonesia vs Uni Emirat Arab (Foto: Antara/Ary Kristianto)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas sepak bola Indonesia vs Uni Emirat Arab (Foto: Antara/Ary Kristianto)
Setelah dunia olahraga dan nasionalisme Indonesia kembali menggelora setelah event Asian Games 2018 yang sukses digelar di Jakarta-Palembang, baru-baru ini berita di lini masa kembali dihebohkan dengan berita meninggalnya seorang suporter sepak bola bernama Haringga Sirla, pendukung klub Persija Jakarta yang harus kehilangan nyawanya karena dianiaya beramai-ramai oleh suporter tim lawannya yaitu Persib Bandung.
ADVERTISEMENT
Yang lebih ironis lagi, aksi penganiayaan ini pun beredar luas di masyarakat karena direkam dengan menggunakan handphone dan disebarluaskan. Melihat rekaman tersebut, saya hanya bisa ternganga karena di video itu terlihat jelas bagaimana Haringga dalam kondisi sudah babak belur masih juga dihajar beramai-ramai oleh puluhan orang dengan menggunakan berbagai benda tumpul.
Lebih menyedihkannya, di antara para pelaku penganiayaan yang terekam jelas di video adalah anak-anak. Tagar #RIPHaringga berseliweran di sejumlah media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Haringga menambah panjang daftar suporter sepak bola yang harus kehilangan nyawa karena pergi menonton klub yang dicintainya. Entah sudah berapa kali laga sepak bola di liga antar klub Indonesia memakan korban baik luka-luka bahkan korban jiwa. Baik karena bentrok antar-suporter, kecelakaan lalu lintas dari dan sepulang menonton pertandingan, keamanan stadion yang minim sehingga suporter terinjak-injak dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sia-sia? Mungkin ya bagi mereka yang tidak menyukai sepak bola namun mungkin tidak bagi para suporter fanatik. Karena kecintaan memang terkadang membuat manusia kehilangan logika dan akal sehatnya. Konon. Fanatisme (menurut KBBI artinya keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya)) pun mengakar kuat dalam sepak bola.
Dalam berbagai hal, fanatisme adalah hal yang berbahaya karena cenderung membutakan apalagi bila ditambah dengan minimnya wawasan akibat rendahnya pengetahuan. Rivalitas antar klub yang kemudian menurun ke para suporter menjadi salah satu warna tersendiri dalam sepak bola. Di luar negeri ada sebutan-sebutan bagi identitas para suporter fanatik klub atau negara dalam sepak bola.
Kita lihat bagaimana panasnya pertandingan di lapangan maupun di luar lapangan (baik di stadion maupun di sosial media) bila dua tim yang memiliki rivalitas bertanding misalnya: Milan vs Inter (di Liga Italia) atau Boca Juniors vs River Plate (di Liga Argentina) atau Arsenal vs Huddersfield (di Liga Inggris) atau Real Madrid vs Barcelona (di Liga Spanyol) atau Persija vs Persib (di Liga Indonesia).
Jonathan Bauman mencetak gol Persib Bandung ke gawang Persija Jakarta. (Foto: Dok. Persib Bandung)
zoom-in-whitePerbesar
Jonathan Bauman mencetak gol Persib Bandung ke gawang Persija Jakarta. (Foto: Dok. Persib Bandung)
Adu yel-yel, koreografi, dan provokasi yang bermaksud untuk meruntuhkan moral bertanding tim lawan berlangsung dari sebelum wasit meniup peluit hingga berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun sesudahnya.
ADVERTISEMENT
Suporter datang ke stadion untuk mendukung klub kesayangannya dengan membawa seluruh permasalahan pribadinya. Itu sebab terkadang luapan emosi akan selaras dengan hasil pertandingan klub kesayangannya. Bila klub yang didukungnya menang maka akan terjadi euforia kegembiraan dan sebaliknya bila klubnya kalah maka manifestasinya berupa yel-yel makian kekecewaan atau bahkan tindakan-tindakan anarkis.
Maraknya aksi-aksi kekerasan antar-suporter di beberapa laga pertandingan antarklub di Indonesia perlahan menjadi sesuatu yang dianggap normal bahkan mungkin ritual wajib para suporter yang ingin lebih menunjukkan ‘kecintaannya’ ke klub. Banyak yang bereaksi: “apa iya dengan membunuh atau melukai suporter lawan maka akan menguntungkan klub yang didukungnya?” “apa enggak mikir panjang?” “apa enggak mikirin gimana keluarga korban?”.
ADVERTISEMENT
Tentu di saat tingginya tensi pertandingan dan adrenalin karena mental keroyokan (bahasa Jakselnya: “Herd mentality, mob mentality and pack mentality, also lesser known as gang mentality, describes how people can be influenced by their peers to adopt certain behaviors on a largely emotional, rather than rational, basis.”) maka rasionalitas dan akal sehat pun terpinggirkan.
Semua yang mendukung tim lawan akan dianggap musuh. Dan lebih jauh lagi: harus disakiti. Dalam beberapa press relase aparat kepolisian yang melakukan razia pra-pertandingan, kerap didapati suporter-suporter membawa celurit, golok, parang, dan senjata tajam lainnya ke stadion. Ini entah mau menonton sepak bola atau merambah lahan untuk kebun kelapa sawit.
Suporter sepak bola di Albania. (Foto: Reuters/Florion Goga)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter sepak bola di Albania. (Foto: Reuters/Florion Goga)
Persoalan kekerasan di Indonesia pun menurut saya makin marak karena kata-kata “BUNUH”, “BAKAR”, dan sejenis sudah akrab di telinga anak-anak. Apa yang awalnya dianggap ‘Cuma’ teriakan tanpa ada realisasi pun pada akhirnya termanifestasi menjadi aksi nyata.
ADVERTISEMENT
Tayangan kekerasan yang dibumbui pesan permisif akan kekerasan semakin cepat menyebar di mana video begal dibakar massa, maling dianiaya warga, dan lain-lain, cepat terkirim seiring cepatnya koneksi internet dan rendahnya kecerdasan dari para penyebar.
Manajemen penyelenggara Liga Indonesia haruslah belajar dari tragedi Heysel di mana setelah bentrok antara suporter Liverpool dan Juventus akibat serangan yang dimulai oleh suporter Liverpool ada hukuman keras dan tegas dari UEFA selaku panitia pelaksana berupa larangan Liverpool dan klub-klub Inggris lainnya bertanding di Eropa.
Tidak ada yang lebih ditakuti suporter fanatik sebuah klub sepak bola selain tidak berkompetisinya klub kesayangannya. Apabila ada hukuman bagi klub yang lebih tegas selain denda tentu klub tidak begitu saja lepas tangan atas perilaku suporternya dan sebaliknya, suporter mungkin akan lebih mawas diri dalam berperilaku agar tidak merugikan klub yang dicintainya. Mungkin.
ADVERTISEMENT
Seperti nama-nama dan harapan sebelum-sebelumnya, semoga Haringga menjadi korban terakhir kekerasan antar-suporter di Indonesia. #RIPHAringga