Churchill Si Keras Kepala

Vika Klaretha Dyahsasanti
Sedang mencoba bercerita...
Konten dari Pengguna
1 Februari 2018 22:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vika Klaretha Dyahsasanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir pekan kemarin saya menonton Darkest Hour. Bersama Ayuk yang awalnya menolak dengan ribut diajak menonton film yang menurutnya terlalu serius. Akhirnya ia luluh, sebab bagaimanapun bioskop berada di mall. Dan ke emol selalu membuatnya lebih girang daripada ke Alpah...
ADVERTISEMENT
Saya, seperti biasa, tak pernah kecewa saat menonton film serius. Juga kali ini. Darkest Hour berkisah tentang hari-hari awal Sir Winston Churchill menjadi perdana menteri Inggris. Gary Oldman yang memerankan Churchill terlihat jauh dari ganteng kali ini. Tua, gemuk dan menyebalkan. Membuat saya yang selalu salut melihat orang yang bersedia terlihat dalam fisik yang lebih buruk, berdoa agar ia dan film ini memenangkan banyak Award.
Saya tak pernah benar-benar mengerti riwayat Churchill selama ini. Sebatas tahu bahwa ia tokoh besar dalam Perang Dunia Kedua. Di film ini saya baru tahu bila Churchill sebenarnya tokoh yang menyebalkan. Galak, moody, dan tentu saja keras kepala. Ada adegan saat ia membuat stress sekretaris barunya, Elizabeth Layton. Churchill mendikte surat, namun tiap saat mengganti redaksionalnya, lalu membentak-bentak Layton karena gagal memahami instruksinya. Saat itu Churchill baru saja diusulkan menjadi perdana menteri. Istri Churchill, Clementine, kemudian menasehatinya agar menjadi pribadi yang lebih menyenangkan saat menjadi PM. "Let them see your true qualities, your lack of vanity."
ADVERTISEMENT
Churchill pun menjadi PM. Ia langsung dihadapi pilihan berat dalam menghadapi invasi Jerman. Jerman kala itu sudah menaklukkan Belgia dan Belanda, sedangkan Prancis jatuh hanyalah menunggu waktu. Bila Prancis jatuh, maka kejatuhan Inggris hanya selangkah lagi. Churchill menghadapi dilema antara mengadakan negosiasi dengan Jerman, atau bertempur sampai titik darah penghabisan.
Menit ke menit film menceritakan pergolakan itu. Tekanan dari dalam kabinet memintanya segera membuka jalur negosiasi. Tetapi Churchill dari awal telah melihat Hitler sebagai diktator kejam. Dan Churchill meyakini, jangan pernah melakukan negosiasi saat posisi kita lebih lemah. "You cannot reason with a tiger when your head is in its mouth!" teriaknya.
Di pihak lain Churchill mendapati kenyataan, pasukan Inggris di Calais dan Dunkirk semakin terdesak. Belakangan bahkan Calais jatuh. Perang bukanlah pilihan tepat mengingat terbatasnya tentara Inggris. Dan banyaknya korban yang jatuh.
ADVERTISEMENT
Di tengah dilemanya, Raja George VI mengunjungi Churchill, menyatakan bahwa belakangan ia mempercayai intuisi-intuisi Churchill tentang kekejaman Hitler. Churchill dilanda ketakutan bila salah mengambil keputusan saat itu, dan George VI memintanya, "Go to the people, tell them the truth."
Maka bertualanglah Churchill sendirian naik kereta bawah tanah. Berkenalan dengan penumpang-penumpang yang terpana dengan kebersahajaan Churchill. Menanyai mereka tentang perang. Ia mendapati rakyat sipil itu ternyata rakyat yang gagah berani. Menolak negosiasi dan memilih untuk terus melawan Jerman. Dari sinilah Churchill mendapat kekuatan untuk bertempur melawan Jerman. "Victory at all costs."
"We shall never surrender! For without victory there can be no survival!" pekiknya. Cerita selanjutnya seperti yang telah banyak kita ketahui. Pada Mei 1945, Jerman menyerah kalah.
ADVERTISEMENT
Saat film usai, biasanya saat saya mengingat-ingat kembali cerita film. Pesan dan kesan apa yang saya tangkap. Pertama tentu saja tentang ketaksempurnaan. Churchill, tokoh besar yang ikut menjadi arsitek kemenangan Sekutu pada PD 2, ternyata orang yang sulit. Dalam hidup sehari-harinya, banyak orang menghindari berinteraksi dengannya. Tak bisa dipungkiri, ia pemimpin yang hebat. Tidak diceritakan dalam film itu, apakah Churchill berubah perilakunya setelah menjadi PM. Tetapi satu hal saya tahu, pemimpin dinilai dari prestasi kepemimpinannya. Capaian-capaiannya. Bukan dari hal remeh temeh seperti pemarah, eksentrik dan tidak santun.
Catatan kedua tentang mengapa Churchill bisa melihat potensi kekejaman Hitler sementara yang lain tidak? Saya terus berpikir tentang hal ini. Mencoba mengulas berbagai alasan. Mulai dari pemikiran berbau spiritual: Churchill seorang berjiwa murni, apa adanya. Ia bisa melihat kesejatian Hitler. Ia bukan orang terbiasa basa-basi, ia terbiasa apa adanya. Pikirannya pun mungkin tidak terlalu sering terbuai kata-kata indah, sehingga lebih obyektif dalam menilai. Atau Churchill terbiasa berpikir dengan cara-cara lawannya. Atau Churchill pecinta kemerdekaan, tak sanggup membayangkan Inggris hidup dalam penindasan Jerman di bawah Hitler. Meski untuk itu ada pengorbanan yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ini tentang pertimbangan politik. Seringkali terjadi perbedaan besar antara persepsi politisi dan rakyat. Politisi menginginkan negosiasi, dengan berbagai alasan. Sementara rakyat lebih patriotis. Menolak menyerah. Ini terjadi di mana saja. Politisi sibuk mendesakkan suatu agenda, dengan segala alasannya, seolah itu kehendak rakyat. Padahal kehendak rakyat berbeda sekali. Politisi meminta penerapan aturan berbasis ideologi tertentu misalnya. Dibungkus dengan aneka penjelasan yang provokatif, meski sebenarnya bukan itu yang diinginkan rakyat.
Jika terjadi di era medsos, mungkin Churchill tak perlu naik kereta bawah tanah untuk tahu aspirasi rakyat. Di pihak lain, politisi di lingkaran Churchill akan sibuk membuat aneka posting pencitraan untuk mendukung opsi negosiasi. Teknologi informasi dengan cepat memetakan keinginan rakyat. Seharusnya Churchill lebih mudah mengambil keputusan di era medsos, tetapi setiap masa punya permasalahannya sendiri. Di era medsos, pemetaan sering bias dengan adanya pasukan sejenis 'cyber kremi'...
ADVERTISEMENT
Apapun, film ini menunjukkan Churchill pemimpin yang hebat. Usia sepuh bukanlah halangan untuk tetap semangat dan cermat. Santun? Sebaiknya memang santun, tetapi pemimpin bukan melulu masalah santun, tetapi kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Meneladani Churchill, jadilah pemimpin yang tak segan naik kereta bawah tanah, atau moda transportasi publik lainnya. Dan lihatlah antusiasme rakyat pada pemimpinnya.