Menyelinapnya Celeng di Tengah Polemik UU JPH

Vina Rahayu Wiyono
Auditor LPPOM MUI 1994/2014 | Deputy lembaga sertifikasi keamanan pangan lt IPB 2015/2019 | Lead Evaluator SNI Award | Konsultan halal dan keamanan Pangan
Konten dari Pengguna
7 Juli 2020 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vina Rahayu Wiyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi daging celeng Foto: ANTARA FOTO/Ardiansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi daging celeng Foto: ANTARA FOTO/Ardiansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hingga Juli tahun 2020 ini sudah ada 3 kasus terkait dengan pemalsuan daging sapi. Daging sapi dioplos dengan daging babi dan atau celeng. Ditambahkan borak agar merah seperti daging sapi, atau dioplos dengan sapi dengan perbandingan tertentu untuk mendapatkan harga di bawah harga normal pasar. Selain daging sapi oplos, daging sapi campuran celeng atau babi ini menjelma dalam bentuk olahan daging, yaitu bakso dan bahkan rendang. Kejadian bulan Mei di 2 tempat yang berbeda Bandung dan Tangerang. Kemudian terjadi pada akhir Juni di Cimahi Jawa Barat. Mereka telah melakukan praktik ini sudah lebih dari 1 tahun hingga 6 tahun. Sungguh Miris!
ADVERTISEMENT
Kasus celeng dan atau babi yang dioplos bukan hal baru. Kasus ini hampir kerap terjadi menjelang lebaran. Beberapa tahun lampau pernah terjadi oplosan sapi dan celeng dijual di pasar Bogor. Truk pengangkut daging celeng dari Sumatera masuk ke Bogor dengan alasan yang tepat, untuk pakan di Taman Safari!
UU Jaminan Produk Halal telah lahir tahun 2014, 6 tahun sudah umurnya. Dalam amanat UU tersebut dinyatakan bahwa berlakunya UU tersebut maksimal 5 tahun sejak diberlakukannya tahun 2014. Namun sangat disayangkan belum terlihat manfaat UU tersebut bagi masyarakat muslim Indonesia. Malah justru berulang kali barang haram tersebut menyelinap ke produk yang jamaknya dikonsumsi oleh konsumen muslim.
Dengan alasan percepatan pertumbuhan ekonomi di era COVID-19 ini, maka UU JPH pun di-omnibus law kan. Banyak hal yang perlu juga dikritisi terkait perubahan tersebut. Namun hal tersebut tidak akan dibahas pada tulisan ini. Pada PMA No.26/2019 pasal 152 ayat 2f pengawasan Jaminan Produk Halal (JPH) dilakukan oleh BPJPH, untuk menjamin kehalalan dilakukan di tingkat distribusi hingga penyajian antara produk halal dan tidak halal. Pada pasal selanjutnya sudah ditetapkan kewenangan pengawasan JPH nya pada lingkup nasional dan daerah. Yang menjadi pertanyaannya aturan yang termaktub di PMA tersebut belum terlihat konkret dalam bentuk koordinasi antar K/L yang dilakukan oleh BPJPH sebagai badan yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyelenggara JPH. Harusnya isu oplosan celeng ini menjadi salah satu isu yang penting untuk dikendalikan (mengingat kasus ini berulang terjadi) dalam rangka menjamin terselenggaranya JPH.
ADVERTISEMENT
Tapi tampaknya BPJPH lebih disibukkan dengan polemic urusan teknis sertifikasi halal dan pendirian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) . Tentunya sangat disayangkan dengan otoritas yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan, justru BPJPH lebih focus pada masalah yang sangat teknis.
Kasus peredaran celeng seharusnya menjadi salah satu isu penting bagi BPJPH untuk melakukan serangkaian kebijakan dan kerjasama antar K/L. Karena sesungguhnya aturan terkait dengan peredaran daging di Indonesia sudah ada di Kementrrian Pertanian. Demikian pula terkait dengan pengawasan di hilir, sudah ada pula beberapa aturan yang dikeluarkan oleh BPOM atau Kemenkes terkait peredaran dan penjualan pangan kemasan dan siap saji. Bayangkan jika focus BPJPH hanya pada kegiatan sertifikasi, sementara koordinasi pengawasan terkait distribusi daging di wilayah NKRI ini terabaikan, maka bagaimana sulitnya kegiatan sertifikasi halal itu dilakukan oleh LPH. Karena LPH adalah pihak ketiga yang hanya melakukan kegiatan audit sekali hingga dua kali (jika surveilan diberlakukan) selama 4 tahun, kemudian siapa yang menjamin bahwa produsen atau pedagang tidak melakukan pemalsuan dengan barang haram seperti daging oplos dan bakso yang terjadi di Cimahi.
ADVERTISEMENT
Jika demikian, maka secara tidak langsung kredibilitas dari sertifikat halal akan dipertanyakan.
Dari 3 kasus yang terjadi selama 2 bulan berturut , BPJPH menanggapi atas kejadian di bulan Mei ,bahwa telah melakukan pembinaan/pengawasan ke pasar pasar tradisional ,modern dan RPH (Republika 12 Mei 2020). Namun sebulan kemudian kasus oplos babi terjadi lagi dan transaksinya tidak di pasar tradisional apalagi di pasar modern, tetapi penjual langsung mengantarkan ke pembeli. Dari pengalaman ini tentunya mekanime system pengawasan yang dilakukan oleh BPJPH sebagai pengawas JPH perlu ditinjau kembali.
Menyedihkan, karena pada kenyataannya konsumen muslim Indonesia belum mendapatkan haknya. Keberadaan produk halal bukan pilihan tapi menjadi kewajiban atas konsumen muslim. Maka seraya mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa UU JPH adalah UU Jaminan Produk Halal, bukan UU Sertifikasi Halal. Sertifikat halal adalah bagian dari Jaminan Produk halal yang menjadi hak bagi konsumen muslim!
ADVERTISEMENT
*Elvina A. Rahayu
Pegiat Halal Muhammadiyah
Senior Auditor LP POM MUI periode 1994-2014