Omnibus Law Jangan Hilangkan Kemurnian Aturan Halal

Vina Rahayu Wiyono
Auditor LPPOM MUI 1994/2014 | Deputy lembaga sertifikasi keamanan pangan lt IPB 2015/2019 | Lead Evaluator SNI Award | Konsultan halal dan keamanan Pangan
Konten dari Pengguna
24 Februari 2020 16:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vina Rahayu Wiyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Halal. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Halal. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Elvina A.Rahayu,MP
Praktisi Halal
Ada 24 pasal perubahan yang diajukan dalam omnibus law terkait dengan UU JPH no.33 tahun 2014. Omnibus law yang diajukan dalam bentuk draf RUU Cipta Kerja rasanya sangat perlu dikritisi terkait dengan implementasi aturan halal. Semoga input ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya pemerintah, untuk menciptakan lapangan pekerja tanpa mengurangi esensi dari 'kemurnian' aturan halal.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar. Bagi konsumen muslim, kehalalan suatu produk bukan menjadi pilihan melainkan kebutuhan sebagaimana kebutuhan seorang penganut Hindu yang terlarang mengonsumsi hewan sapi, atau kebutuhan seorang alergen untuk terhindar dari bahan alergen tertentu yang terkandung dalam suatu produk. Karenanya informasi yang tersampaikan kepada konsumen wajib dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya indikator yang sampai ke konsumen jika produknya haram, tidak serta merta memberikan pada fisiknya. Beda pada produk yang mengandung bahan alergen, bisa menyebabkan pada kematian jika terpapar.
Beranjak dari alasan sederhana di atas, ada beberapa poin yang ingin kami sampaikan terhadap 24 pasal UU JPH yang diajukan perubahannya pada RUU Cipta kerja. Poin tersebut adalah : (1) Fatwa Halal, (2) Self declare, (3)Penyedia halal, dan (4) Akreditasi.
ADVERTISEMENT
Fatwa halal atau penetapan kehalalan produk yang sedianya dilakukan berdasarkan Fatwa MUI, diubah menjadi fatwa MUI dan Ormas Islam lainnya yang berbadan hukum. Perubahan yang terkait dengan poin fatwa ini terjadi pada pasal 1,10, 32 dan 33. Intinya menyampaikan bahwa fatwa halal tidak lagi menjadi otoritas MUI. Kondisi ini memiliki potensi perpecahan yang akan berakhir pada “chaos”nya aturan halal. Jika perubahan fatwa dari hanya MUI menjadi MUI dan Ormas Islam lainnya dikarenakan adanya semacam kekhawatiran ketidakmampuan MUI dalam penetapan halal, maka baiknya ditelaah dulu esensi peran fatwa dalam proses sertifikasi halal.
Esensi peran fatwa dalam proses sertifikasi adalah menetapkan status suatu produk yang telah diverifikasi bahan dan proses produksinya. Tentunya fatwa tersebut berlaku terhadap produk lain yang bahan dan proses produksinya memiliki kemiripan, serta perbedaan yang ada tidak signifikan sampai mengubah status fatwanya. Kumpulan fatwa fatwa ini dapat menjadi referensi bagi kegiatan penetapan status kehalalan untuk proses berikutnya. Singkat kata, jika kategori produk yang diaudit sudah memiliki fatwanya, maka produk tersebut tidak perlu lagi masuk sidang komisi fatwa.
ADVERTISEMENT
Anggota atau tim reviewer melakukan evaluasi atau kaji ulang hasil audit berdasarkan kumpulan fatwa yang ada untuk kemudian melaporkan kepada BPJPH untuk dikeluarkan sertifikat halalnya. Jadi setiap LPH tetap memiliki payung penetapan halal berdasarkan Keputusan Fatwa MUI. Jika dalam perjalanannya ditemukan hal baru yang dapat mempengaruhi kehalalan, maka Komisi fatwa MUI melakukan proses pengambilan fatwa baru. Tim reviewer adalah anggota atau tim di LPH yang tidak mengaudit. Lalu apakah hasil kerja reviewer valid? Inilah yang menjadi salah satu tugas BPJPH sebagai pengawas, yaitu menilai kapasitas dari LPH dalam melakukan review. Kondisi tersebut juga relevan untuk diterapkan sebagaimana pada pasal 34 A, di mana dinyatakan jika produk dibuat dari bahan yang sudah bersertifikat halal dan memenuhi standar proses halal berdasarkan verifikasi LPH maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi tersebut maka bukti verifikasi yang diberikan kepada BPJPH adalah laporan reviewer. Karenanya menciptakan lembaga baru yang dapat mengeluarkan fatwa bagi umat Islam di Indonesia, termasuk fatwa halal bukan merupakan tindakan yang bijak selain memecah belah.
Self declare. Untuk pelaku usaha mikro kecil (UMK) , kewajiban bersertifikat halal didasarkan pada self declare pelaku usaha. Lalu pertanyaannya dimana jaminan kepada konsumen bahwa UMK tersebut melakukan self declare yang jujur?
Secara alaminya produk kemasan industry rumah tangga merupakan produk yang masuk dalam kategori low risk dari segi keamanan pangannya. Produk yang berbasis daging kecuali dalam bentuk kering (seperti abon) harus menggunakan izin edar MD dan bukan PIRT.
Masalahnya produk UMK juga dapat memproduksi produk dendeng atau abon misalnya.Ini merupakan bagian dari produk kemasan milik UMK yang tidak dalam kategori low risk di skema halal. Atau untuk produk UMK yang bukan merupakan produk kemasan namun high risk kehalalannya seperti misalnya pedagang bakso. Bagaimana model pengawasan dan pemastian bahwa self declare kehalalannya ini valid?
ADVERTISEMENT
Self declare memungkinkan untuk dilakukan jika pemerintah menjamin bahwa bahan utama seperti daging dan ingredients lainnya baik berupa produk impor atau pun produk local dapat dipertanggungjawabkan kehalalannya. Pengawasan dan law enforcement terhadap pelanggaran regulasi terkait implementasi kehalalan ini harus intensif dilakukan oleh pemerintah. Misalnya peredaran daging local dan impor yang aturannya sudah ada di Kementan seperti UU Kesmavet dan Permentan no 13
Untuk mendukung nilai keabsahan self declare ini selain factor di atas, maka penyedia halal mutlak hadir. Penyedia halal dapat sebagai pemilik UMK atau koordinator dari komunitas pedang/penjual produk. Karenanya tanggungjawab self declare UMK ini, sangat penting untuk didukung oleh keberadaan penyedia halal yang juga turut bertanggungjawab.
ADVERTISEMENT
Self declare juga dapat berlaku bagi perusahaan yang akan melakukan perpanjangan sertifikat dan tidak ada perubahan yang dapat mengubah fatwa halalnya. Hal ini terdapat pada perubahan pasal 42 ayat 3 RUU Cipta kerja. Dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa BPJPH dapat langsung memperpanjang masa berlaku sertifikat pelaku usaha yang sudah membuat self declare. Untuk menjamin tata kelola BPJPH tetap on the track, maka perlu disampaikan pada ketentuan PP terkait dengan peran penyedia halal dan tahapan review oleh LPH terkait. Karenanya sangat diharapkan pemerintah juga tidak gegabah untuk penetapan self declare ini.
Poin persyaratan penyedia halal yang terdapat pada pasal 28 ayat 2 yaitu beragama Islam, dihapus dalam aturan omnibus law. Aturan halal merupakan bagian dari aktivitas ibadah bagi umat Islam. Karenanya memberikan wewenang menjaga kehalalannya kepada penyedia halal yang bukan muslim merupakan langkah mundur. Penyedia halal dapat diposisikan kepada pemilik UMK, koordinator dari komunitas usaha bersama, Halal center yang ada di lingkungan terdekat atau penyuluh dari dinas terkait yang ada. Persyaratan penyedia halal harus seorang Muslim, sepantasnya tidak dihilangkan.
ADVERTISEMENT
Dalam RUU Cipta kerja ini, pasal terkait pendirian LPH menghapus poin terkait akreditasi. Pasal 13 menghilangkan poin b terkait dengan akreditasi. Tentunya poin penghilangan proses akreditasi terhadap LPH perlu dipertanyakan. Akreditasi adalah bentuk jaminan kepada pengguna bahwa LPH memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aktivitas verifikasi halal di lapang. Kompetensi, ketidakberpihakan, asas keadilan dalam melakukan tahapan verifikasi menjadi bagian yang direpresentasikan dari sebuah proses akreditasi. Harapannya PP yang akan mengatur persyaratan pendirian LPH ini tidak akan menghapus proses akreditasi nantinya.
Seyogyanyalah negara melalui pemerintah memberikan jaminan kehalalan produk pada penduduk terbesar negeri ini. Karenanya jaminan Halal itu wajib ada, sertifikasi halal menjadi bagian darinya. Omnibus law jangan menghilangkan kemurnian aturan halal!
ADVERTISEMENT