Beras Mahal, Mampukah Diversifikasi Jadi Solusi?

Vindy W Maramis
Pegiat Literasi dan Ibu Rumah Tangga
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2023 13:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vindy W Maramis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penjualan beras. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penjualan beras. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu komoditas bahan pokok yakni beras tengah mengalami kenaikan harga sejak beberapa bulan belakangan. Hal ini dipicu oleh kondisi alam yaitu terjadinya El Nino di beberapa negara, termasuk Indonesia yang terkena dampaknya.
ADVERTISEMENT
Kondisi cuaca yang lebih panas mengakibatkan kekeringan sehingga mengganggu aktivitas pertanian, terutama pada produksi beras. Hal ini disinyalir menjadi penyebab bahan pokok beras di beberapa daerah mengalami kenaikan harga.
Dari pantauan Kementerian Perdagangan per tanggal 4 Oktober 2023, rata-rata harga beras mengalami kenaikan Rp 1.000 per kilogram. Baik itu beras medium maupun beras premium.
Sumber : iStockphoto.com
Menanggapi hal ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian justru mengeluarkan pernyataan yang menjadi blunder di tengah-tengah masyarakat.
Adapun diversifikasi pangan yang dimaksud seperti sagu, keladi, kentang dan sukun. Mendagri juga memaparkan bahwa mengkonsumsi beras dapat berisiko menaikkan kadar gula darah, sehingga masyarakat perlu mulai mengurangi asupan beras yang tinggi gula dan karbohidrat.
Sekilas pernyataan Mendagri memang tidak ada yang salah, hanya saja pernyataan seperti ini kurang tepat jika melihat situasi pasar saat ini. Pernyataan ini justru memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah dalam menghadapi gejolak harga bahan pangan di pasar, serta tidak memiliki antisipasi dari jauh hari. Yang dibutuhkan masyarakat adalah solusi konkret, bukan dengan pengalihan.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak mudah bagi masyarakat untuk tiba-tiba beralih dari mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok ke sumber karbohidrat lainnya. Bahkan yang terjadi dalam keseharian masyarakat variasi yang disebut di atas (sagu, keladi, kentang dan sukun) justru dijadikan panganan sampingan atau camilan bukan sebagai bahan pangan pokok.
Ilustrasi beras. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pemerintah semestinya lebih bijak dalam menanggapi persoalan publik. Masyarakat yang sudah kesulitan akan bertambah kecewa dengan pernyataan yang cenderung menyalahkan masyarakat.
Ini bukan kali pertama, tentu masyarakat masih ingat pernyataan Menteri Pertanian yang mengimbau masyarakat untuk beralih mengkonsumsi keong sawah saat harga daging sapi mahal pada tahun 2017 lalu.
Inilah potret pejabat publik dalam sistem kapitalisme yang berasaskan untung dan rugi. Kebijakan pemerintah pun tak jarang lebih berpihak pada para pemilik modal (kapitalis). Jangan sampai mahalnya harga beras disebabkan adanya "permainan" antara penguasa dengan korporat yang berujung dengan impor beras besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Menteri yang dilantik di atas sumpah menggunakan Al-Qu'ran sesungguhnya lebih takut saat menangani masalah publik apalagi soal kebutuhan pokok masyarakat. Pertanggungjawaban para pemengang kekuasaan bukan hanya berhenti di dunia, namun akan di bawa hingga ke akhirat kelak. Lalai dalam mengurusi urusan masyarakat termasuk kezaliman.
Allah SWT amat membenci perilaku kezaliman. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasul mengatakan:
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah akan mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang yang membuat susah masyarakatnya.
Begitulah beratnya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin atau pemegang kebijakan publik. Maka para pejabat publik dalam negeri ini sudah semestinya memahami hal ini hingga mampu melaksanakan amanah mengurus urusan masyarakat dengan sungguh-sungguh serta berempati terhadap kesulitan yang dialami masyarakat.
ADVERTISEMENT