Amartya (Kumar) Sent, Pasti Sedih Membacanya

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
11 Januari 2022 11:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembajakan kapal  Foto: Pixabay/vscuteri
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembajakan kapal Foto: Pixabay/vscuteri
ADVERTISEMENT
Perompakan di Selat Malaka merupakan sebuah sejarah panjang yang tak terselesaikan bagi para pemilik kapal dan pelaut yang melintasi Selat Malaka, jalur laut sepanjang 900 KM di Asia Tenggara ini. Dalam beberapa tahun terakhir, patroli laut oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura berhasil mengurangi perompakan.
ADVERTISEMENT
Perompak modern beroperasi di perairan Indonesia. Rute Selat Malaka memberikan akses penting bagi kapal-kapal untuk transportasi minyak, gas, dan barang-barang lain ke Eropa dan Afrika. Sekitar 43 peristiwa kekerasan di laut dilaporkan pada 2017. Ini termasuk satu pembajakan, lima percobaan serangan, dan 33 insiden di dermaga atau ketika perahu sedang lempar jangkar.
Jumlah serangan perompak di Indonesia pada 2017 lebih tinggi daripada di perairan Afrika Timur yang juga merupakan daerah rawan pembajakan. Tiga puluh tiga kapal diserang di Nigeria dan hanya delapan di Somalia (termasuk di Teluk Aden). Pada kuartal pertama tahun ini, Nigeria mengambil alih Indonesia sebagai negara dengan serangan bajak laut sebanyak 22 insiden perompakan dibandingkan dengan sembilan perairan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pembajakan gaya Indonesia lebih dekat dengan pencuri laut daripada bajak laut ala Hollywood. Perompak di perairan Indonesia terutama mengancam kapal-kapal berukuran kecil dan menengah. Para perompak biasanya mencuri gaji awak kapal, telepon seluler, laptop, dan peralatan pengiriman laut.

Bagaimana para perompak beraksi?

Mereka bersembunyi di hutan bakau di sepanjang selat dan mencuri barang-barang berharga dari perahu yang melintas di dekat pantai. Mereka mengenakan topeng dan membawa parang dari rumah sendiri ketika menyerang di malam hari. Mereka percaya air dari dukun akan membuat sampan mereka tak kasat mata.
Mereka biasanya dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lokal, salah satu dari mereka menganggap dirinya sebagai “Robin Hood”. Dana dari hasil jarahannya digunakan untuk membangun desa dan masjid. Fenomena unik seperti ini masih terjadi tanpa mempertimbangkan asal-usul barang yang disumbangkan.
ADVERTISEMENT
Kelompok lain berisi orang-orang muda dari daerah Sumatra Utara dan Flores terpikat janji Zona Ekonomi Khusus Kepulauan Riau. Mereka datang ke kota-kota pesisir seperti Nagoya di Batam dan ternyata justru kesulitan mendapat pekerjaan layak. Di pasar dan rumah kotor di daerah kumuh, mereka menghabiskan waktu menunggu tawaran pekerjaan legal maupun ilegal.
Ketika seorang pengusaha asing dengan niat jahat mendapatkan informasi dari perantara di perusahaan pelayaran mengenai jadwal pelayaran sebuah kapal, pengusaha akan meminta teman di Indonesia untuk melakukan perompakan kapal tersebut. Mereka berkumpul sebuah hotel murah-meriah, setelah menerima uang untuk menyewa sampan dan membeli bahan bakar, mereka bergerak ke pelabuhan tikus untuk mempersiapkan serangan.
Setelah berhasil naik di kapal sasaran, mereka melakukan aksi dengan mengambil alih kapal, lalu menyandera seluruh awak kapal, dan memindahkan ke perahu penyelamat. Aksi-aksi seperti ini memang sudah banyak diketahui masyarakat sekitarnya, tetapi mereka membiarkannya karena penduduk desa dapat memperoleh uang dari perampokan laut. Sementara kerugian awak kapal ditanggung perusahaan asuransi dan mereka tidak dilukai.
ADVERTISEMENT
Perompak laut beroperasi diam-diam, demi uang, dan tidak butuh penonton. Alasan-alasan sosial kemanusiaan itulah yang kita menemui kesulitan untuk memberantasnya, selain kendala koordinasi antar institusi yang nge-claim berkepentingan. Industri pelayaran tidak bisa hanya mengandalkan kepala desa untuk menghentikan perampokan di laut.
Prancis yang menguasai Zona Ekonomi Eksklusif terbesar kedua di dunia, dengan adanya berbagai pulau Prancis di Samudera Atlantik, Hindia, dan Pasifik telah memfokuskan pada masalah koordinasi ini sejak 1800. Koordinasi untuk mengatasi masalah bajak laut berada di bawah para kepala wilayah maritim, yang melapor kepada Perdana Menteri. Di Indonesia, dilematis ini akan selalu muncul ketika masalah kesejahteraan “perut” belum tertangani dengan adil dan merata.
Selain masalah patroli laut, prioritas memerangi akar masalah yang mendorong orang terlibat kejahatan di laut seperti korupsi, pengangguran, dan kemiskinan di pesisir jauh lebih baik. UNESCO bekerja sama dengan kementerian di Indonesia juga menjalankan berbagai kegiatan untuk memperbaiki kondisi kehidupan di berbagai pulau di Indonesia. Selain riset keamanan, penelitian antropologi diperlukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh dari situasi pembajakan laut.
ADVERTISEMENT
Wahyu Agung Prihartanto, Master Marine dari PIP Semarang
Foto oleh Mateusz Dach dari Pexels