Hanya Perjalanan Pribadi, (Bukan) Politik

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
13 September 2021 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota Pacitan, berasal dari kata Pacitan yang berarti camilan. Camilan atau makanan ringan atau makanan kecil yang tidak sampai mengenyangkan perut. Fakta ini menjadi alasan cukup logis mengingat bahwa kondisi daerah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya tidak sampai mengenyangkan, artinya tidak bisa lebih, atau dengan kata lain adalah pas–pasan.
ADVERTISEMENT
Malam itu, aku menonton TV, euforia perayaan ulang tahun salah satu partai besutan Persiden RI Ke-6. Tiba-tiba lamunanku menerawang jauh 30 hingga 35an tahun silam. Saya dan seorang adik tinggal bersama orang tua yang Guru SD. Sebagai anak PNS, atribut priayi sering ditempelkan pada keluarga kami. Status sosial priayi, dengan gaji guru pas-pasan, tentu tidak lantas membuat kami berfoya-foya.
Setiap hari saya pancal pedal sepeda onthel dua puluh kilometer dari desa ke sekolah di kota. Uang jajan seratus rupiah dapat satu camilan dan es sirup. Namun makanan dan minuman sirna, ketika saya capek medal onthel, dan digantikan angkutan umum.
***
Keesokan harinya aku ajak anggota keluarga, mengunjungi kota kelahiran SBY. Sekalian melepas urat kebosanan setelah setahun setengah tertahan karena pandemi. Kapan lagi? Mumpung PPKM telah dilonggarkan.
ADVERTISEMENT
Setiba di perbatasan Ponorogo-Pacitan, aku menghentikan kendaraan di sebuah perempatan. Seraya mengingat sesuatu, aku berseloroh, “Itu, namanya Dengok, Nak!”
“Unik namanya?”
“Kenapa unik, Nak?”
“Gak tahu Pak, lucu saja.”
Di lokasi ini, orang-orang dulu termasuk saya setelah mendengar mesin kendaraan, segera menjulurkan kepala. Karena kanan-kirinya banyak ditumbuhi pepohonan nyaris seperti hutan. Jadi, kalau tidak dengok, alias delongok kepala tidak terlihat oleh supir angkutan, dan kami ditinggalkannya. Batinku, sambil menyusun kata-kata agar gathuk (nyambung).
Alih-alih perut lapar, sekilat petir pikiranku membayangkan makanan sedap di depan. Kuteringat, 15’ dari Dengok, segera ketemu makanan. Soto Gemah, makanan soto khas Pacitan terletak di Kecamatan Gemaharjo. Lezat khas ditaburi kacang goreng dan daun sledri. Langganan Almarhum Bapakku dulu selepas gajian. Tiga bulan sekali, dengan mengendarai sepeda motor butut berempat, ayah mengajak kami jajan soto gemah.
ADVERTISEMENT
Memasuki gapura selamat datang kota, hingga pelosok-pelosok dipenuhi atribut-atribut partai, walaupun tetap didominasi partai pimpinan AHY, salah satu putra SBY. Gegap gempita masyarakat Pacitan mengelu-elukan SBY bisa sangat dimaklumi. Karena beliau, selain putra asli Pacitan, juga berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia. Entah, berapa generasi lagi kesempatan seperti Pak SBY akan berulang bagi generasi muda Pacitan. Wallahu’alam bi sowab. Faktanya, figur beliau sangat menginspirasi kaum milenial dan kolonial seperti saya.
Dari obrolan warung kopi tempat aku menginap, aku mendengar selentingan dan olok-olok selama kepemimpinannya. Dan, akupun mengakui, wajar di alam kebebasan, pro dan kontra menjadi sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Malam itu, segera kuakhiri pembicaraan, badanku mulai merayu pikiranku untuk segera berebah setelah berjam-jam perjalanan seharian.
ADVERTISEMENT
***
Dengan sepeda motor milik teman, aku mengajak istri berkeliling kota. Sore ini kami berencana pulang, maka aku sempatkan beli oleh-oleh khas Pacitan untuk dibagikan ke teman-teman kantor. Sebelum ke kedai oleh-oleh, aku berhenti di depan gapura SMAku dulu sembari selfi-selfi. Keceriaan, kebahagiaan, hingga membayangkan tipikal guru nyentrik. Pernah, satu pelajaran yang terpaksa harus kami tinggalkan, alias ngumpet karena PR yang ditugaskan belum selesai. Terbayang olehku, apakah Pak SBY dulu juga mengalami hal semacam itu ya? Ups, jangan ngomong begitu, nanti kuwalat.
Sebelum mengakhiri perburuan oleh-oleh, aku bergerak menuju sebuah rumah model Jawa Klasik atau biasa disebut joglo. Rumah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Terminal Bus Pacitan, dan berdiri kokoh di desa Ploso. Kekokohan bangunan rumah, tidak mencerminkan kemewahan, melainkan kesederhanaan yang tampak dari luar pagar. Pemilik bengkel sepeda motor di seberang Rumah SBY, melihat-lihat saya dan istri yang bergantian swafoto di bawah tulisan “Rumah Kediaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).” Sekilas dari sorot mata pemilik bengkel, sembari tersenyum, tersirat membiarkan kami bercengkerama disana, sepanjang tidak membuat kekisruhan. Kami pun juga tidak cukup nyali membuka pintu pagar rumah tersebut, apalagi mengetuk pintu yang sedang tertutup.
ADVERTISEMENT
***
Sore itu, kami sekeluarga pulang ke Sidoarjo, dengan membawa kegembiraan-kegembiraan. Meskipun tidak sempat bertemu rekan-rekan seangkatan SMA yang bertahan mendharmabaktikan hidupnya untuk kemajuan Pacitan. Minimal saya titipkan tulisan ini, apabila “mungkin” sempat terbaca oleh Pak Bupati Indrata Nur Bayuaji saat ini, salam rindu buat kalian semua.
Sumber : Pribadi "Mengenang Pacitan"