'Virtual' dan Keintiman Semu

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
20 November 2021 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sekolah daring atau online. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sekolah daring atau online. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 memaksa banyak instansi, sekolah, dan kampus di Indonesia memindahkan kegiatan rapat dan belajar-mengajar secara online (daring), sehingga kini bertatap muka lewat daring menjadi populer. Keluarga, teman, tetangga, dan bahkan acara bincang-bincang talk show televisi sekarang melakukan pertemuan dan siaran dari rumah. Sementara itu, microsoft, google, dan zoom berusaha untuk memenuhi permintaan layanan pertemuan berbasis virtual.
ADVERTISEMENT
Selama dua tahun saya mengamati di lingkungan pekerjaan hingga pembelajaran anak-anak, bahwa ada beberapa hal unik terjadi dalam platform virtualisasinya. Secara pribadi saya menyebutnya interaksi semu. Seorang pengamat realitas virtual bernama Jaron Lanier, mengamati dan mengungkapkan bahwa pertemuan maya tampaknya memang membuat komunikasi nonverbal membingungkan.
***
Pertemuan dengan video mengganggu kontak mata, hal ini karena keterbatasan teknis yang dipahami. Keterbatasan pengetahuan dalam meletakkan kamera dan layar tampilan dalam satu tempat. Saat saya melihat kamera di perangkat memberi kesan sedang menatap mata seseorang, tapi ketika kita melihat mata mereka di layar, saya tampak memalingkan muka.
Secara psikologi keduanya menekankan pada rumitnya kontak mata. Kita tidak hanya mengamati mata orang lain, tapi orang lain juga memperhatikan hal yang sama terhadap kita. Jika diperluas pada tingkatan kesadaran, tidak ada lagi dua kesadaran pada saat kontak mata terkunci tapi dua pandangan saling menyelimuti. Saya melihat, mendengar, dan mengalami orang lain sebagaimana mereka melihat, mendengar, dan mengalami saya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa lucu juga dialami anak saya. Ia menceritakan tingkah laku seorang siswa yang sedang mendengarkan presentasi guru secara virtual, tiba-tiba siswa tersebut terlihat mengambil kotoran dari hidungnya, dan terlihat sangat jelas oleh anak saya dan lainnya bahkan sang guru pun sempat menegurnya. Dampak lainnya, meskipun kita tidak “aktif” tetap terlihat di layar, dan mungkin lebih besar dari ukuran aslinya.
Duduk di depan webcam komputer, presenter melihat ruangan yang penuh dengan peserta rapat. Tetapi di komputer mereka, para peserta melihat kepala yang berbicara di layar proyeksi, berikut setiap cacat atau ketidaksempurnaan yang ada. Alih-alih duduk atau berhadapan satu sama lain secara timbal balik “bertatap muka” saya mendapati diri kita memandang dari atas, dari bawah atau dari samping citra yang lebih nyata dari gambar aslinya dari orang-orang yang saya lihat dan ajak bicara secara online.
ADVERTISEMENT
Merasa diawasi. Tanpa kontak mata dan timbal balik yang jelas, orang-orang yang melakukan pertemuan virtual video kadang-kadang merasa secara diam-diam diteliti atau diawasi. Seperti apa kamera menangkap saya untuk dilihat orang lain?
Meskipun kita dapat berpura-pura melihat orang lain ketika facetime atau zoom. Sesungguhnya kita hanya melihat diri kita sendiri sambil sibuk menata rambut, menyesuaikan ekspresi wajah, dan mencoba menemukan sudut paling bagus untuk memegang telepon. Rapat virtual bisa terasa seperti pengalaman aneh berbicara sambil terus-menerus melirik diri kita sendiri dalam cermin.
Suara teredam. “Suara saya kedengaran, nggak?” adalah pertanyaan yang terkait dengan teknologi. Saat bertatap muka, kita dapat memonitor ucapan kita sebagai hasil dari proyeksi vokal kita sendiri dan lingkungan akustik. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa orang lain mendengar dunia seperti kita.
ADVERTISEMENT
Di online, fenomena ini belum tentu demikian. Suara-suara kita mungkin pecah karena dikompresi dan ditransmisikan, suara di latar belakang mungkin mengganggu kita, atau mikrofon kita mungkin masih “bisu.” Secara alami, suara, tidak seperti penglihatan, relatif tidak terarah.
***
Dalam tatap muka, suara menyelimuti dan kita bagikan dengan lawan bicara. Gangguan dan interupsi online bisa sama tidak enaknya dengan mengobrol dengan seseorang yang tidak mau melakukan kontak mata. Terlepas dari berbagai hal aneh yang terjadi dalam pertemuan virtual, sebagai sebuah masyarakat, kita akan menjadi lebih terbiasa dengan mode komunikasi seperti ini.
Ada banyak website menawarkan tips tentang cara memanfaatkan konferensi video sebaik-baiknya. Beberapa cara pernah saya praktekkan dengan menempatkan kamera setinggi mata agar kita tampak alami. Selain itu, penggunaan ruang bersih dan terang agar gambar terlihat jelas, dan memakai headset untuk memaksimalkan kualitas audio.
ADVERTISEMENT
Tetapi apa pun yang kita lakukan untuk memiliki pengalaman rapat virtual yang lancar, video tidak akan memiliki rasa “saling memeluk” dibandingkan berhadir alias pertemuan fisik. Saya hanya bisa mengharapkan perubahan teknologi tak berbatas ini jangan sampai membatasi kealamiahan kemanusiaan. Dari sanalah muncul chemistry, emphaty, dan tidak kalah penting adalah sugesty.
Foto oleh Ivan Samkov dari Pexels
**Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.