news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Didi Kempot dan Bahasa Jawa yang Berubah

Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 7:45 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Sri Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Musisi Didi Kempot usai konferensi pers jelang konser 30 tahun berkarya dikawasan TMII, Jakarta, Selasa, (10/3/2020). Foto: Ronny
zoom-in-whitePerbesar
Musisi Didi Kempot usai konferensi pers jelang konser 30 tahun berkarya dikawasan TMII, Jakarta, Selasa, (10/3/2020). Foto: Ronny
ADVERTISEMENT
Lagu-lagu Didi Kempot mendapatkan tempat di hati kalangan anak muda Jawa sebagai ekspresi rasa yang tertangguhkan (cidra), rasa kalah yang terpendam (nelangsa), dan rasa mabuk asmara yang tak terbendung (branta). Bahasa Jawa dalam lagu-lagu Didi Kempot kuat dengan ekspresi rasa dan hal ini sejalan dengan pendapat (Sudaryanto, 1989) dan (E.M. Uhlenbeck, 1978) bahwa bahasa Jawa memiliki lema melimpah yang bertalian dengan rasa.
ADVERTISEMENT
Lagu Didi Kempot, tidak bisa dipungkiri, menjadi piranti ekspresi baru anak muda Jawa dalam mengungkapkan peliknya wilayah rasa/emosi. Didi Kempot dalam karier musiknya mengalami dua masa kebangkitan dan kebangkitan tersebut dibarengi dengan situasi politik yang mencerminkan keadaan serupa: kebangkitan pertama tatkala lagu Anoman Obong yang waktu itu relevan dengan kondisi politik 1998 yang banyak kerusuhan massal dan penjarahan.
Kebangkitan kedua adalah satu dasawarsa terakhir yang ditandai dengan pupusnya harapan, terutama terefleksikan dalam lagu Suket Teki. Kondisi sosial politik selama ini juga merefleksikan hal yang senada: post-hope atau berharap datangnya cahaya di ujung terowongan, ternyata adalah sorot lampu kereta lain yang siap menabrak kita (Kadir, 2019), hingga ia dijuluki “God Father of Broken Heart” oleh para penggemarnya yang tergabung dalam “Sobat Ambyar Indonesia” atau Sad Girls/Sad Boys. Langgam ambyar yang dipelopori oleh Didi Kempot menjadi kiblat dan rujukan berkarya musisi Jawa berikutnya diantaranya adalah Denny Cak Nan yang terkenal dengan lagu Kartayana Medot Janji dan nDarboy Genk yang terkenal dengan lagu Balungan Kere.
ADVERTISEMENT
Didi Kempot menjelma menjadi duta generasi milenial Jawa dalam soal patah hati dan sekaligus pertanda perubahan bahasa Jawa. Terkait yang terakhir belum banyak yang memberikan perhatian. Tulisan ini akan memerikan gejala baru bahasa Jawa yang terefleksikan dalam lirik lagu Didi Kempot dan beberapa musisi Jawa yang berkiblat kepadanya.

Bahasa Jawa dalam Lirik Campur Cari

Saya mencoba melakukan wawancara dengan generasi Jawa tahun 1950an terkait pendapat dan apresiasi mereka atas lagu-lagu Didi Kempot. Mereka menjawab bahwa kami tidak bisa menikmati lagu-lagu Didi Kempot, menurutnya ekspresi lagu Didi Kempot tidak lagi ekspresi lagu Jawa dan tidak mencermikan bahasa Jawa yang sesungguhnya.
Campur sari yang masih bisa mereka nikmati adalah Manthous dan beberapa lagu karya Anjar Any karena di sana masih ada tilas Jawa murni. Mereka kemudian mengatakan bahwa lagu-lagu Didi Kempot memaksakan rasa dan lema bahasa Jawa dengan struktur bahasa Indonesia. Berbeda dengan generasi muda Jawa yang lahir pada tahun 1990an atau 2000 ke atas, mereka mendaku bahwa lagu Didi Kempot langsung mudah dipahami dan selaras dengan kehidupan sehari-hari mereka.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan tanggapan berbeda dari masing-masing generasi Jawa tersebut, fenomena ini mengindikasikan bahwa bahasa Jawa mengalami pergeseran dari masa ke masa. Meskipun bahasa Jawa memiliki penutur sekitar 85 juta lebih, ia tidak luput dari keterancaman (potentially endangered) (Cohn & Ravindranath, 2014). Tingkat keterancaman tersebut berlapis di masing-masing tingkat tutur yang terdapat di dalamnya. Secara keseluruhan bahasa Jawa saat ini telah berkembang dan bercampur dengan bahasa Indonesia dengan kental dan kuat, baik dari struktur kalimatnya maupun pilihan kata yang dipakai.
Fenomena itu jauh hari ditengarai oleh para ahli bahasa Jawa sebagai bentuk kerusakan bahasa Jawa dengan ungkapan basa Jawi sampun risak ‘bahasa Jawa telah rusak’ (Quinn, 1992:267). Jauh sebelum Quinn, kekhawatiran akan lenyapnya intuisi kejawaan intuisi kejawaan juga dikhawatirkan oleh (S. Padmosoekotjo, 1987) melalui ungkapan nenangi raos djawi ‘menggugah intuisi kejawaan’ dan juga dikeluhkan oleh (Poerbatjaraka & Hadidjaja, 1952) dengan keluhan tidak bisa menembus alam rasa Jawa (boten saged dumugi ing raos).
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran akan lenyapnya bahasa Jawa yang asli, terutama tidak terkontaminasi bahasa Melayu/Indonesia itulah yang menjadi simpul utama atas pelembagaan kekhawatiran melalui kongres bahasa Jawa (Widodo, 2017). Ringkasnya, para pemerhati bahasa Jawa mengalami kekhawatiran akan lenyapnya bahasa Jawa untuk generasi mendatang. Tidak bisa dipungkiri generasi muda Jawa memilih berbahasa Jawa sebagaimana disampaikan dalam lirik lagu Didi Kempot.
Lagu Didi Kempot merefleksikan ketercampuran antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Ia secara struktur memiliki kesamaan dengan struktur bahasa Indonesia, tetapi masih mempertahankan pilihan kata Jawa, baik Ngoko (bentuk kasar) maupun Krama (bentuk halus). Hal itu bisa dijumpai dalam beberapa larik berikut:
(1) Nang dalan anyar kowe karo sapa ‘di jalan baru, kamu dengan siapa’
ADVERTISEMENT
(2) Kangen ing Jero dada ‘rindu di dalam dada’
(3) Udan gerimis telesana klambi iki ‘hujan gerimis basahilah baju ini’
Generasi muda Jawa dengan mudah langsung bisa menerka arti dari setiap lirik dalam lagu Didi Kempot karena ia memiliki kedekatan struktur dalam bahasa Indonesia, yang mayoritas bahasa ini telah menggeser bahasa Jawa menjadi bahasa Ibu. Selain itu, fenomena ini pula menjawab: mengapa lagu campur sari Jawa, terutama karya Didi Kempot bisa diterima oleh masyarakat yang bukan penutur bahasa Jawa? Karena memiliki kedekatan dengan struktur bahasa Indonesia.
Tanggapan berbeda datang dari generasi 1950an Jawa, mereka merasa keberatan dengan frasa “kangen ing jero dada”, sejak kapan bahasa Jawa mengekspresikan rindu dengan meminjam bahasa Indonesia ‘rindu di dalam dada’? banyak ekspresi rindu yang lebih halus dan mirasa ‘menelusup ke dalam rasa’, misalnya, dengan lirik lagu Dhandanggula Sidoasih: lamun adoh caket ing ati ‘jika jauh terasa dekat di hati, yen cedhak tansah mulat ‘jika dekat senantiasa rekat’ (lihat Kadarisman, 1999:53-54).
ADVERTISEMENT
Alasan ini pula mengapa generasi muda 1950an masih bisa mengapresiasi campur sari Manthous karena mereka masih bisa menemukan ekspresi Jawa yang asli dan tidak terkontaminasi dengan bahasa Indonesia. Selain itu, memang makna sebuah tembang bagi generasi Jawa tahun 1950an terletak pada makna yang terselubung atau tersembunyi, “tembang yang indah bukan tembang yang telanjang, yang sekali dibaca langsung dimengerti isinya. Tembang yang indah adalah yang maknanya terselubung oleh tirai aliterasi dan kosakata kawi” (Kadarisman, 2009).
Sementara itu, lagu campur sari Jawa, terutama Didi Kempot makna lagu diungkapkan secara telanjang, tanpa balutan apapun dan ini melanggar konvensi makna sebuah lagu Jawa yang sublim maknanya dan tertutup tirai itu. Selain itu, secara tata tulis lirik lagu Didi Kempot juga sering tidak mematuhi pedoman transliterasi Jawa ke Latin, misalnya, /a/ nglegana berbeda dengan /o/.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga kerap dikritik oleh para pemerhati budaya Jawa di laman resmi youtube Didi Kempot. Hal ini mungkin dilandasi pada aspek pengucapan dan pelafalan sehari-hari, baginya bahasa adalah apa yang terucap, bukan pada apa yang tertulis sehingga ia mengabaikan panduan transliterasi itu.
Sekelumit pemaparan di atas mengindikasikan dua hal: pertama langgam campur sari mengalami perkembangan yang signifikan dari dua pendahulunya: Manthous dan Didi Kempot.
Tidak bisa ditampik bahwa Didi Kempot lah yang mengerek lagu campur sari hingga sampai pada posisi saat ini: bisa dinikmati semua kalangan dan menjadi tren baru di kalangan remaja Jawa.
Di wilayah ini mengundang penelitian lebih lanjut pada masa-masa mendatang. Kedua, Peningkatan penerimaan atas lagu campur sari Jawa, sejatinya juga mengindikasikan bentuk baru bahasa Jawa yang sudah terkontaminasi dengan bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Artinya, bahasa Jawa yang diterima generasi sekarang penanda penting bahwa bahasa Jawa telah bergeser dan jauh dari harapan pendahulunya. Kemungkinan inilah warna baru bahasa Jawa di masa mendatang.
Meskipun Didi Kempot telah tutup usia, corak bahasa Jawa ini akan diikuti oleh musisi Jawa pada masa mendatang. Didi Kempot tutup usia dengan penangggalan Jawa, Senin Legi, Ringkel Manuk, semoga selayaknya ringkel burung, terbanglah ke Surga dengan penggalan lirik Dalan Anyar
kembang tebu sing kabur kanginan ‘bunga tebu yang terbang tertiup angin’
saksi bisu sing dadi kenangan ‘saksi bisu yang menjadi kenangan’.