Antara Malaadministrasi dan Malapraktik Medis

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
29 Maret 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mendefinisikan Ombudsman sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
ADVERTISEMENT
Tujuan pembentukan Ombudsman adalah untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia lebih memperkokoh konsep Ombudsman yang sudah tertanam di bumi Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia merupakan pembentukan dasar hukum yang lebih memperkuat posisi yuridis Ombudsman yang sebelumnya hanya didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia. Selain memperkuat posisi yuridis Ombudsman, keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia juga memperluas kekuasaan dan wewenang dari Ombudsman. Sebelumnya, Ombudsman merupakan sebuah komisi yang mandiri. Kemudian Ombudsman menjadi sebuah lembaga negara yang mandiri.
ADVERTISEMENT
Perubahan posisi kelembagaan Ombudsman dari sebuah “komisi negara” (atau lebih tepatnya sebuah komisi di bawah lingkungan eksekutif) yang dibentuk Presiden, menjadi sebuah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia ini telah mengubah pula lingkup kewenangan dan performance Ombudsman sebagai alat perlengkapan negara. Kewenangan dan peran Ombudsman diperluas lagi oleh kehadiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan Undang-Undang ini, peran Ombudsman tidak lagi hanya sebagai pengawas dan pencegah malaadministrasi pelayanan publik, tetapi juga sebagai ajudikator atau pemutus ganti rugi dalam sengketa pelayanan publik melalui mekanisme ajudikasi khusus. Jadi, peran Ombudsman adalah juga sebagai penyelesai sengketa pelayanan publik melalui jalur quasi-judicial yang disebut proses ajudikasi khusus, di mana salah seorang anggota Ombudsman bertindak sebagai “hakim” ajudikator. Namun demikian, hal ini belum dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksana yang merinci tata cara dan substansinya. Untuk melaksanakan fungsi ajudikasi khusus ini diperlukan adanya peraturan khusus tentang ganti rugi yang akan menjadi pedoman bagi peraturan Ombudsman tentang pelaksanaan ajudikasi khusus dalam menangani sengketa pelayanan publik antara warga negara dengan penyelenggara pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Ombudsman merupakan pengawas penyelenggara pelayanan publik. Hal ini dipertegas di dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa “Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.” Fungsi pengawasan dari Ombudsman kemudian dirinci dalam tugas Ombudsman yang meliputi: menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; membangun jaringan kerja; melakukan upaya pencegahan Malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
ADVERTISEMENT
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman adalah sebagai pengawas eksternal, bukan sebagai pengawas internal atas instansi Pemerintah, lembaga, atau komisi negara. Perihal yang diawasi adalah penyelenggaranya (subjek) dan juga penyelenggaraannya (objek-faktual). Namun, karena di dalam penyelenggaraan selalu ada penyelenggaraannya maka untuk mudahnya disebut “pengawas bagi penyelenggaraannya”, yaitu penyelenggaraan pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut, ada dua substansi yang berkorelasi kuat dalam keberfungsian Ombudsman, yaitu Aspek Pengawasan Penyelenggara (Aparatur) dan Aspek Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Proses Administrasi). Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Ombudsman harus selalu menjunjung tinggi beberapa asas, yaitu: kepatutan; keadilan; non-diskriminasi; tidak memihak; akuntabilitas; keseimbangan; keterbukaan; dan kerahasiaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia secara terperinci telah memberikan kewenangan secara atributif kepada Ombudsman, yaitu meliputi: meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi; menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
ADVERTISEMENT
Ombudsman berwenang untuk melakukan investigasi terhadap terjadinya maladministrasi dalam pelayanan publik. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Istilah maladministrasi merupakan peristilahan yang muncul di dalam wilayah hukum publik (public law) yang lebih banyak dipergunakan oleh kalangan ahli hukum administrasi dibandingkan kalangan hukum tata negara (constitutional law). KC Wheare mengartikan administrasi sebagai, “Maladministration may be described as ‘administrative action (or in action) based on or influenced by improper consideration or conduct. Arbritrariness, malice or bias, including discrimination, are examples of improper consideration. Neglect, unjustifiable delay, failure to observe relevant rules and procedures, failure to take relevant considerations into account, failure to establish or review procedures where there is a duty or obligation on a body to do so, are examples or improper conduct.”
ADVERTISEMENT
Bila ditelusuri dari sudut bahasa, terminologi maladministrasi merupakan terjemahan dari kata maladministration, yang merupakan konsep hukum dalam lingkungan ilmu Administrative Law atau Public Administration, dan tentunya dalam berbagai undang-undang, act, legislation yang selalu berkaitan dengan kewenangan pengawasan lembaga Ombudsman. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah ini sebagai padanan bagi istilah bureaucratic misdeeds, administrative malfunction, dan defective administration, ada yang mempergunakan mismanagement, misgovernment atau dalam Bahasa Belanda wanbeheer, wanbeleid, wanbestuur, verkeerd beheren. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mempergunakan istilah maladministrasi dengan memasukkan ruang lingkup normatif perbuatan melawan hukum, perbuatan melampaui wewenang, kelalaian, pelanggaran atau pengabaian kewajiban hukum. Dalam hal ini, Subekti mempergunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum untuk menyatakan adanya perbuatan melawan hukum atau pengabaian kewajiban terhadap hukum yang berlaku, tetapi Beliau membatasinya hanya dalam konteks hukum perdata saja. Beberapa tindakan pejabat publik yang dapat dikategorikan maladministrasi adalah: meliputi semua tindakan yang dirasakan janggal (inappropriate) karena melakukan tidak sebagaimana mestinya; meliputi tindakan pejabat publik yang menyimpang (deviate); meliputi tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan (irregular/illegitimate); penyalahgunaan wewenang (abuse of power); dan keterlambatan yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban pemberian pelayanan publik (undue delay).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Ombudsman, maladministrasi terjadi dalam pelayanan publik, bukan pelayanan pribadi atau orang tertentu saja sebagai subyek privat (private services) dalam lingkungan rumah tangga sendiri. Oleh karena itu unsur-unsur maladministrasi di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia meliputi: Perilaku atau perbuatan melawan hukum; Perilaku atau perbuatan melampaui wewenang; Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut; Kelalaian; Pengabaian kewajiban hukum; Dalam penyelenggaraan pelayanan publik; Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan; Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial; Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dalam menangani maladministrasi, Ombudsman bersifat pasif, artinya berdasarkan laporan dari masyarakat yang mengetahui atau mengalami maladministrasi dalam mengakses pelayanan publik. Laporan adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap orang yang telah menjadi korban Maladministrasi. Pelapor adalah warga negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman. Terlapor adalah Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman.
ADVERTISEMENT
Hasil pemeriksaan Ombudsman dapat berupa: menolak Laporan; atau menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik. Rekomendasi sekurang-kurangnya memuat: uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; uraian tentang hasil pemeriksaan; bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor.
Rumah Sakit merupakan salah satu pelayanan publik. Hal ini selaras dengan ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan Rumah Sakit, harus senantiasa diselenggarakan berdasarkan standar pelayanan yaitu tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
ADVERTISEMENT
Ombudsman merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit, Ombudsman mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan agar Rumah Sakit senentiasa menerapkan standar pelayanan dalam melaksanakan tugasnya. Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman ini secara atributif dinyatakan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa, “Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.”
ADVERTISEMENT
Ombudsman mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan secara mikro, yaitu terhadap operator penyelenggara Rumah Sakit dan pengawasan secara makro yaitu terhadap Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan Rumah Sakit. Fungsi pengawasan secara mikro dan makro ini ditujukan terhadap kemungkinan terjadinya maladministrasi dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
Dalam tataran operator penyelenggara Rumah Sakit, maladministrasi dapat terjadi dalam beberapa hal. Maladministrasi yang dikategorikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum dapat terjadi dalam pengelolaan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit. Beberapa kali terjadi, dokter asing berpraktik di Rumah Sakit secara terselubung, yaitu tidak mempunyai izin dan berpraktik dengan “mempergunakan nama” dokter Warga Negara Indonesia yang mempunyai Surat Ijin Praktik di Rumah Sakit. Dalam hal ini, seharusnya Ombudsman dapat melakukan investigasi tanpa perlu menunggu terjadinya sengketa medis karena dalam kondisi seperti ini telah terjadi maladministrasi, yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara dari Rumah Sakit. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar, khususnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana pada saat ini telah digantikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Maladministrasi dalam penyelenggaraan Rumah Sakit dapat juga terjadi dalam bentuk perilaku atau perbuatan yang melampaui wewenang. Beberapa kali hal ini terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit. Misalnya, Rumah Sakit mensyaratkan pembayaran atau uang muka terlebih dahulu, baru kemudian diberikan pelayanan medis. Dalam situasi seperti ini, Ombudsman seharusnya dapat melakukan investigasi karena telah terjadi maladministrasi meskipun belum tentu terjadi sengketa medis. Jelas bahwa hal ini merupakan perbuatan sewenang-wenang karena dalam peraturan perundang-undangan (khususnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dimana pada saat ini telah digantikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan) dan Kode Etik (khususnya Kode Etik Rumah Sakit dan Kode Etik Kedokteran) hal ini dilarang. Seharusnya, penanganan di Unit Gawat Darurat terlebih dahulu mengutamakan penanganan medis agar pasien kondisinya stabil. Dalam kondisi gawat darurat, aspek finansial harus dikesampingkan. Setelah kondisi pasien stabil, barulah pasien diberikan informasi atau diminta memenuhi kewajibannya terkait dengan aspek finansial.
ADVERTISEMENT
Maladministrasi dalam bentuk perilaku atau perbuatan yang sewenang-wenang beberapa kali terjadi saat pasien tidak mampu membayar atau memenuhi kewajiban finansial terhadap Rumah Sakit. Dalam kondisi medis yang tidak stabil dan urgent memerlukan pertolongan, Rumah Sakit beberapa kali meminta pasien untuk meninggalkan Rumah Sakit. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya Rumah Sakit melakukan fungsi rujukan, yaitu melakukan rujukan ke Rumah Sakit lain yang memang disediakan sesuai dengan kondisi finansial atau jamianan sosial pasien. Atau, bila ternyata Rumah Sakit mengalami kesulitan dan kendala dalam melaksanakan fungsi rujukan, seharusnya Rumah Sakit memastikan agar kondisi medis pasien stabil sebelum mengakhiri penanganan medis yang diberikan oleh Rumah Sakit.
Maladministrasi dalam bentuk kelalaian juga beberapa kali terjadi dalam bentuk kecelakaan medis yang terjadi di Rumah Sakit. Dalam hal ini, Rumah Sakit lalai memastikan peralatan medisnya berfungsi dengan baik dan optimal sehingga pada saat dipergunakan, ternyata peralatan medis tersebut tidak berfungsi dengan baik dan optimal dan kemudian berakibat fatal kepada pasien. Salah satu kecelakaan medis yang pernah terjadi adalah tertukarnya gas O2 dengan gas CO2 di kamar operasi. Seharusnya pasien memperoleh gas O2 pada saat menjalani operasi, tetapi oleh Rumah Sakit diberikan gas CO2 sehingga pasien kemudian meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Maladministrasi yang terjadi di Rumah Sakit tidak selalu disertai dengan sengketa medis. Oleh karena itu, maladministrasi seharusnya bisa menjadi sarana investigasi yang sifatnya adalah preventif dalam penyelenggaraan Rumah Sakit untuk mencegah terjadinya sengketa medis. Maladministrasi erat hubungannya dengan malpraktik medis karena terjadinya maladministrasi di Rumah Sakit dapat dijadikan sebagai indikator bahwa di Rumah Sakit tersebut berpotensi terjadi malpraktik medis. Mirip dengan sekeping mata uang, maladministrasi dan malpraktik medis merupakan dua hal atau dua sisi yang berbeda. Namun, dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena melekat erat. Oleh karena itu, dalam hal ini maladministrasi harus diminimalisir dan Ombudsman harus kredibel dalam melakukan investigasi terhadap maladministrasi.
Dalam tataran makro, terkait dengan fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, potensi terjadinya maladministrasi juga tetap ada. Misalnya, Pemerintah melakukan kelalaian dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat sehingga ratusan orang kemudian meninggal dunia karena keracunan obat (terdapat bahan beracun di dalam obat, misalnya adalah etilen glikol dan dietelin glikol). Dalam hal ini, jelas terjadi maladministrasi, yaitu kelalaian Pemerintah melakukan pengawasan terhadap peredaran obat dengan cermat.
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/dokter/