Perdata Medis Bukanlah Perdata Umum

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
1 April 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Secara umum hukum perdata berlaku untuk seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, hukum perdata mempunyai jangkauan keberlakuan yang luas. Dalam bidang kedokteran, beberapa ketentuan dalam hukum perdata juga dapat diberlakukan. Namun, keberlakuan hukum perdata dalam bidang kedokteran harus disikapi secara bijak karena bidang kedokteran mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bidang lainnya. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis secara tegas menyimpulkan bahwa aspek perdata medis tidaklah identik dengan aspek perdata secara umum. Perdata medis bukanlah merupakan perdata umum.
ADVERTISEMENT
Untuk mempertegas hal tersebut maka penulis akan menjelaskannya melalui aspek perikatan dalam tindakan medis. Perikatan dalam tindakan medis merupakan hubungan hukum antara pasien dan dokter untuk melakukan suatu tindakan medis. Perikatan medis merupakan hukum perdata khusus karena karakteristik dari perikatan medis berbeda dengan perikatan dalam perdata umum. Menurut penulis, beberapa karakteristik dasar dari perikatan medis adalah sebagai berikut.
Pertama, perikatan medis merupakan sebuah perikatan yang membedakan antara perikatan tindakan medis dan perikatan layanan medis. Perikatan layanan medis sering digolongkan sebagai inspanningsverbintennis dalam koridor perdata khusus. Sedangkan perikatan tindakan medis merupakan sebuah perikatan sepihak dalam suatu tindakan upaya medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Wujudnya adalah “satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban” (“one party agrees, the other party has an obligation”). Oleh karena itu, inti dari perikatan medis mengandung unsur perikatan tindakan medis yang sifatnya sepihak dan perikatan layanan medis yang sifatnya kedua belah pihak berikat (semacam perjanjian dalam layanan medis perdata khusus), sedangkan karakteristik dari ikatan tindakan medis selalu mendasarkan pada upaya maksimal (Medical Effort Theory). Oleh karena itu, ikatan tindakan medis bukan merupakan jenis perikatan yang menuntut hasil (resultaatsverbintennis). Perikatan yang menuntut hasil (resultaatsverbintennis) merupakan jenis dan bentuk perikatan yang karakteristiknya menuntut hasil dalam wilayah pengaturan perdata umum.
ADVERTISEMENT
Kedua, perikatan medis yang diimplementasikan dalam upaya tindakan medis, mendasarkan pada informed consent sebagai perwujudan persetujuan pasien terhadap upaya tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Jadi, informed consent merupakan pondasi dari upaya tindakan medis dan merupakan salah satu legal aspect dari ikatan medis yang memerlukan persetujuan sepihak pasien serta menimbulkan kewajiban kepada pihak dokter untuk melaksanakannya sesuai Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi (SP), Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kebutuhan medis pasien. Artinya, aspek ikatan ini dapat mengkategorikan apakah upaya tindakan medis merupakan lege artis atau tidak, pondasinya adalah informed consent khususnya dalam upaya tindakan medis yang beresiko tinggi.
Ketiga, kegagalan dalam pelaksanaan perikatan bidang medis (khususnya terkait dengan upaya tindakan medis) tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis karena beberapa hal, yaitu: sifat dari perikatan medis yang merupakan upaya maksimal sehingga yang diharapkan dari perikatan bidang tindakan medis adalah adanya upaya maksimal sesuai dengan standar (baik standar pelayanan, standar profesi, maupun standar prosedur operasional) dan kebutuhan medis pasien.
ADVERTISEMENT
Keempat, kegagalan dari pelaksanaan perikatan bidang medis (khususnya terkait dengan upaya tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari faktor resiko medis karena dalam setiap upaya tindakan medis selalu terkandung resiko medis dengan prevalensi atau persentase kemungkinan terjadi resiko yang bervariasi.
Kelima, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya terkait dengan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan medis. Dalam hal ini, dokter dan tenaga kesehatan telah melaksanakan tindakan medis sesuai dengan standar tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya sarana prasarana medis di rumah sakit tidak berfungsi optimal, listrik mati dan genset tidak langsung bekerja, tertukarnya Gas O2 dan Gas CO2 di instalasi kamar operasi yang disediakan oleh Rumah Sakit, meledaknya tabung oksigen dan tabung anastesi, serta berbagai bentuk kecelakaan medis lainnya.
ADVERTISEMENT
Keenam, kegagalan dari pelaksanaan perikatan upaya medis (khususnya terkait dengan upaya tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya contributory of negligence, yaitu kontribusi kesalahan pasien. Misalnya adalah: pasien tidak mematuhi rujukan yang telah ditetapkan dan direkomendasikan oleh rumah sakit, pasien tidak mematuhi nasehat dari dokter untuk melakukan konsultasi rutin setelah dilakukan tindakan medis, pasien melakukan pengobatan alternatif atau berobat ke tempat lain yang tidak direkomendasikan oleh dokter dan rumah sakit.
Meskipun perikatan bidang layanan medis karakteristik dasarnya adalah inspanningsverbintennis keperdataan khusus serta ikatan upaya tindakan medis tidak dapat dilepaskan dari Medical Effort Theory, tetapi dalam pelaksanaannya, perikatan bidang medis tetap harus mematuhi standar. Salah satu standar yang merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit adalah Standar Operasional Prosedur (SOP). Standar Operasional Prosedur (SOP) memegang peranan penting dalam pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan salah satu dari objek pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit. Dalam hal ini, Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap kualitas dokter yang melakukan tindakan medis di Rumah Sakit dan kualitas penyelenggaraan praktik kedokteran di Rumah Sakit. Peraturan perundang-undangan secara tegas menyatakan dan mengatur bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan salah satu bagian dari Standar Pelayanan Rumah Sakit. Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah pedoman yang harus diikuti dalam menyelenggarakan Rumah Sakit yang meliputi antara lain Standar Prosedur Operasional (SOP), standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan. Kedudukan hukum dan ruang lingkup dari Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu. Standar Operasional Prosedur (SOP) memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Jadi, Standar Operasional Prosedur (SOP) ini berfungsi untuk memberikan pedoman dalam menjamin pelayanan yang bermutu, dari setiap lini pelayanan yang disediakan oleh Rumah Sakit. Ibarat sebuah negara, Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan sebuah konstitusi dasar yang memberikan pedoman agar seluruh organ negara dapat bekerja untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi kesejahteraan masyarakat. Demikian juga bagi Rumah Sakit, Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan pedoman yang dibuat dan diimplementasikan oleh Rumah Sakit untuk menjamin agar pelayanan Rumah Sakit dapat memberikan kemanfaatan bagi pasien dan termasuk bagi pemberi pelayanan kesehatan (khususnya adalah dokter).
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, mayoritas orang (khususnya para penegak hukum) masih beranggapan bahwa perdata medis identik dengan perdata umum. Implikasinya, ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diterapkan secara totalitas dalam perikatan medis. Akibatnya, tidak tercapai tujuan hukum dalam proses penegakan hukum terkait dengan sengketa medis. Adapun tujuan hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum. Nilai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum belum terimplementasikan dalam penyelesaian sengketa medis.
Perdata medis merupakan perdata khusus dimana pengaturan dan keberlakuannya tidak semata-mata didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi lebih mendasarkan pengaturan dan keberlakuannya kepada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur bidang kesehatan, yaitu peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari Hukum Kesehatan. Perdata medis mendasarkan pengaturan dan keberlakuannya kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi dengan penerima layanan medis serta tindakan medis.
ADVERTISEMENT
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/pasien/