Second Opinion dan Hak Pasien untuk Menentukan Nasib Sendiri

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
29 Maret 2024 11:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Second opinion merupakan salah satu hak pasien. Dalam beberapa hal, second opinion dilakukan atas insiatif sendiri dari pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM, penggugat (pasien) dengan inisiatif sendiri melakukan second opinion (konsultasi medis dan tindakan medis) ke beberapa Rumah Sakit lain tanpa pemberitahuan kepada Rumah Sakit sebelumnya (Rumah Sakit pertama) dimana tindakan medis sebelumnya dilakukan terhadap pasien. Hal ini menimbulkan permasalahan karena Rumah Sakit pertama beranggapan bahwa pasien telah menghentikan pelayanan medis di Rumah Sakit pertama tersebut. Menurut Rumah sakit pertama, hubungan hukum antara pasien dengan Rumah Sakit berakhir saat pasien melakukan second opinion di Rumah Sakit lain dan menerima pelayanan medis (konsultasi medis dan tindakan medis) dari Rumah Sakit lain.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg, penggugat (pasien) melakukan second opinion (berupa konsultasi medis dan tindakan medis) ke Rumah Sakit serta dokter lain atas inisiatif sendiri dari pasien. Dalam Putusan Kasasi Nomor 2811 K/Pdt/2012, penggugat (pasien) melakukan second opinion (berupa konsultasi medis dan tindakan medis) ke sebuah Rumah Sakit dan dokter yang berada di Singapura karena pasien tidak yakin dengan tindakan medis yang telah dilakukan oleh sebuah Rumah Sakit dan dokter di Indonesia. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt, penggugat (pasien) melakukan second opinion ke sebuah Rumah Sakit dan dokter yang berada di Singapura karena pasien merasa tidak yakin dengan diagnosis kanker dari sebuah Rumah Sakit dan dokter di Indonesia. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 145/Pdt.G/2021/PN.Jmb, penggugat (pasien) melakukan second opinion (berupa konsultasi medis dan tindakan medis) sebuah Rumah Sakit dan dokter lain karena merasa telah terjadi kontra indikasi medis yaitu obstruksi usus atau penyumbatan/penebalan usus akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan Rumah Sakit sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Second opinion merupakan hak pasien. Second opinion dapat dilakukan berdasarkan masukan dari dokter dan/atau Rumah Sakit sebelumnya. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, diatur bahwa apabila seorang dokter menerima pasien yang melakukan second opinion atas insiatif sendiri dari pasien maka sebaiknya dokter yang menerima pasien tersebut memberitahukan perihal itu kepada dokter yang sebelumnya telah menangani pasien. Pihak Rumah Sakit dan/atau dokter dapat menganjurkan pasien untuk melakukan second opinion apabila pasien merasa tidak yakin dengan tindakan medis dari dokter dan pelayanan medis dari Rumah Sakit. Tidak hanya menganjurkan, tetapi dokter dan/atau Rumah Sakit dapat memberikan masukan atau merekomendasikan Rumah Sakit dan/atau dokter lainnya untuk second opinion pasien.
Namun, adakalanya pasien melakukan second opinion atas insiatif sendiri dan tidak mengikuti second opinion yang telah direkomendasikan oleh dokter serta Rumah Sakit sebelumnya. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Sby jo. Putusan Pengadilan Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY, dokter merujuk penggugat (pasien) ke sebuah Rumah Sakit dan dokter di Malaysia karena adanya robek pada kapsul belakang di mata sebelah kiri setelah dilakukan operasi katarak terhadap pasien. Rujukan ini bertujuan agar pasien mendapatkan second opinion, baik berupa konsultasi medis maupun tindakan medis dari dokter dan Rumah Sakit lainnya. Namun, pasien tidak mengikuti rekomendasi second opinion dari dokter dan Rumah Sakit di Indonesia karena pasien meragukan objektivitas dari dokter serta Rumah Sakit yang telah direkomendasikan tersebut. Pasien dengan inisiatifnya sendiri melakukan second opinion ke sebuah Rumah Sakit dan dokter di Singapura. Pasien menyatakan bahwa mata kirinya tidak dapat melihat, tetapi sakit dan nyeri di mata kirinya hilang setelah ditangani oleh sebuah Rumah Sakit dan dokter di Singapura, dimana pasien telah melakukan second opinion (berupa konsultasi medis dan tindakan medis) atas inisiatifnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa Putusan Pengadilan, terdapat Putusan Pengadilan yang mempertimbangkan hasil second opinion yang telah dilakukan oleh pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 624/PDT/2019/PT.DKI, Majelis Hakim menyatakan bahwa telah terbukti Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh dokter dan Rumah Sakit. Rumah Sakit harus bertanggung jawab karena tidak melakukan rujukan terhadap pasien. Majelis Hakim juga menyatakan telah terbukti misdiagnosis karena hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter dan Rumah Sakit berbeda dengan second opinion yang telah dilakukan oleh pasien di beberapa Rumah Sakit dan dokter lainnya. Namun, di lain pihak, juga terdapat Putusan Pengadilan yang tidak mempertimbangkan hasil second opinion yang telah dilakukan oleh pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG, penggugat (pasien) melakukan second opinion ke dokter dan Rumah Sakit lain. Pasien melakukan konsultasi medis dan tindakan medis di dokter dan Rumah Sakit lain meskipun hasilnya, kondisi kaki pasien tidak dapat normal kembali. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan hasil second opinion yang telah dilakukan oleh pasien dan menyatakan bahwa tidak terbukti Perbuatan Melawan Hukum karena sifat dari tindakan medis adalah inspanningsverbintennis.
ADVERTISEMENT
Agar second opinion dapat memenuhi kebutuhan medis pasien, second opinion memerlukan resume medis dari Rumah Sakit dan/atau dokter sebelumnya. Pasien berhak meminta resume medis dari Rumah Sakit dan/atau dokter sebelumnya apabila akan melakukan second opinion di Rumah Sakit dan/atau dokter lainnya. Dalam praktiknya, permintaan resume medis dengan tujuan untuk melakukan second opinion ini dapat menimbulkan permasalahan. Rumah Sakit dan/atau dokter tidak bersedia untuk memberikan resume medis bagi pasien yang akan melakukan second opinion.
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 907/Pdt.G/2021/PN Mdn, penggugat (pasien) melakukan second opinion berupa pemeriksaan darah ke beberapa Rumah Sakit dan laboratorium lain karena berdasarkan hasil pemeriksaan darah di Rumah Sakit pertama, pasien dinyatakan reaktif HIV. Namun, berdasarkan hasil second opinion, pasien non reaktif HIV. Pasien kemudian meminta resume medis di Rumah Sakit pertama dengan tujuan untuk melakukan persalinan di Rumah Sakit lain, dimana pasien telah melakukan second opinion atas pemeriksaan darahnya. Namun, pihak Rumah Sakit pertama (Rumah Sakit yang pertama kali didatangi oleh pasien dan menyatakan bahwa hasil pemeriksaan darah pasien adalah reaktif HIV) menolak permintaan pasien dengan alasan bahwa hasil tes HIV pasien di Rumah Sakit pertama belum definitif. Dalam kasus ini, terjadi perbedaan hasil tes HIV. Di Rumah Sakit pertama, pasien dinyatakan reaktif HIV. Tetapi di 3 (tiga) tempat lainnya (beberapa Rumah Sakit dan laboratorium) pasien dinyatakan negatif HIV. Pasien akhirnya melakukan persalinan di Rumah Sakit lain yang telah menyatakan dirinya negatif HIV.
ADVERTISEMENT
Second opinion merupakan perwujudan dari hak pasien untuk menentukan nasib atau dirinya sendiri, khususnya dalam mengakses pelayanan kesehatan dan tindakan medis. Hak pasien atas second opinion ini tentunya harus mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang proporsional dalam Hukum Kesehatan.
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/konsultasi%20dokter/