Standar Operasional Prosedur sebagai Parameter Tindakan Medis

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
29 Maret 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tindakan medis pada dasarnya adalah bersifat inspanningsverbintennis, yaitu berdasarkan upaya maksimal. Parameter atau tolok ukur dari upaya maksimal ini adalah Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur - SOP). Penyimpangan dari Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur - SOP), atau tindakan dokter yang tidak memenuhi Standar Profesi maupun Standar Operasional Prosedur (SOP), berpotensi untuk menimbulkan malpraktik medis. Artinya, malpraktik medis merupakan tindakan medis yang menyimpang atau tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP). Beberapa Putusan Pengadilan menolak Gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena tindakan medis yang dilakukan oleh Dokter telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
ADVERTISEMENT
Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan standar yang dibuat oleh Rumah Sakit dengan mengacu kepada Standar Pelayanan Medis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dan Standar Profesi yang dibuat oleh Organisasi Profesi (dalam hal ini adalah IDI – Ikatan Dokter Indonesia). Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan wujud penjaminan mutu yang dilakukan oleh Rumah Sakit terhadap kualitas Dokter yang bekerja di Rumah Sakit. Standar Operasional Prosedur (SOP) seringkali dijadikan pondasi atau parameter oleh Dokter apabila digugat oleh pasien akibat tindakan medis yang telah dilakukan oleh Dokter tersebut.
Beberapa Putusan Pengadilan dimana tergugat (dokter) menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan medis telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah sebagai berikut: Putusan Pengadilan Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk; Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM; Putusan Pengadilan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel; Putusan Pengadilan Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad; Putusan Pengadilan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Nomor 111/PDT/2010/PT BNA; Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; Putusan Pengadilan Nomor 22/PDT/2020/PT PTK; Putusan Pengadilan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms; Putusan Pengadilan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; dan Putusan Pengadilan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY.
ADVERTISEMENT
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh pasien dan/atau keluarga pasien, mayoritas ditujukan kepada Dokter dan Rumah Sakit. Dalam Gugatan ini, Dokter didalilkan telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) yang disusun oleh Rumah Sakit. Sedangkan Rumah Sakit didalilkan telah melanggar Standar Pelayanan Medis yang disusun oleh Kementerian Kesehatan. Dalam beberapa Putusan, Gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini ditolak oleh Majelis Hakim. Pertimbangan Majelis Hakim adalah karena dalam melakukan tindakan medis, Dokter sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan dalam memberikan pelayanan medis, Rumah Sakit telah sesuai dengan Standar Pelayanan Medis. Beberapa Putusan tersebut adalah sebagai berikut. Putusan Pengadilan Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg; Putusan Kasasi Nomor 3571 K/Pdt/2015; Putusan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg; Putusan Pengadilan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Pengadilan Nomor 71/Pdt.G/2012/PN.JBI; Putusan Pengadilan Nomor 63/PDT/2013/PT.Jbi; Putusan Kasasi Nomor 1361 K/Pdt/2014; Putusan Peninjauan Kembali Nomor 699 PK/Pdt/2017; Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 22/Pdt.G/2021/PN Bms; dan Putusan Pengadilan Nomor 567/Pdt/2021/PT SMG.
ADVERTISEMENT
Standar Operasional Prosedur (SOP) dibuat oleh Rumah Sakit sebagai wujud pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Rumah Sakit terhadap dokternya. Jadi, dalam hal ini ada 2 (dua) pihak yang bertanggung jawab terkait dengan kualitas tindakan medis dan pelayanan medis yang dilakukan di Rumah Sakit, yaitu dokter (terkait dengan tindakan medis) dan Rumah Sakit (terkait dengan pelayanan medis). Ada kalanya, Rumah Sakit lalai dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) dokternya. Hal ini, kemudian menimbulkan pola pertanggungjawaban hukum dari 2 (dua) pihak sekaligus, yaitu dokter dan Rumah Sakit.
Putusan Kasasi Nomor 779 K/Pdt/2014 merupakan salah satu yurisprudensi, dimana terjadi kelalaian yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak sekaligus, yaitu dokter tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Rumah Sakit tidak mengawasi implementasi dari Standar Operasional Prosedur (SOP). Dalam kasus ini, dokter melakukan kesalahan dalam merujuk pasien anak, yaitu merujuk pasien ke Psikolog Rumah Sakit. Padahal, pasien anak tidak mengalami masalah psikhis, tetapi kondisi pasien anak darurat (demam tinggi dan tingkat kesadaran menurun). Akhirnya, pasien meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan sebagaimana mestinya saat kondisinya darurat. Penggugat (orang tua pasien) mendalilkan pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Rumah Sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dokter dan sarana prasarananya. Dalam kasus ini, penggugat mendalilkan telah terjadi pengabaian Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dilakukan oleh dokter. Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap implementasi dan pengawasan Standar Prosedur Operasional oleh dokternya. Dalam kasus ini, dokter tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah disusun oleh Rumah Sakit. Sedangkan terkait dengan pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit, ada 2 (dua) kelalaian yang telah dilakukan oleh Rumah Sakit, yaitu tidak melakukan pengawasan terhadap implementasi dari Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tidak memperbaharui Standar Operasional Prosedur (SOP). Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa dokter dan Rumah Sakit telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Majelis Hakim menghukum dokter dan Rumah Sakit secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi material sebesar Rp98.080.689,00 (sembilan puluh delapan juta delapan puluh ribu enam ratus delapan puluh sembilan rupiah) dan menghukum dokter serta Rumah Sakit secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian immateriel sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif yang hampir sama, terdapat putusan pengadilan mengenai pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit terhadap dokternya karena Rumah Sakit telah melakukan kesalahan dalam membuat dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP). Rumah Sakit melakukan kesalahan dalam membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dan dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP). Putusan Kasasi Nomor 1001 K/Pdt/2017 merupakan putusan pengadilan mengenai hal tersebut. Dalam kasus ini, penggugat (seorang suami yang istrinya meninggal dunia setelah dilakukan tindakan medis di Rumah Sakit) mendalilkan adanya indikasi kesalahan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dibuat dan diterapkan oleh Rumah Sakit. Sebelum kehamilan, pasien telah berkonsultasi ke dokter. Dokter menyatakan bahwa secara medis kondisinya aman jika pasien hamil lagi, yaitu hamil anak ke empat. Kekhawatiran pasien disebabkan karena jarak kehamilan dan kelahiran sebelumnya dekat. Penggugat mendalilkan adanya indikasi kesalahan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dibuat dan diterapkan oleh Rumah Sakit karena Rumah Sakit tidak mengantisipasi dengan persediaan darah sebelum dilakukan operasi. Pada saat terjadi kondisi darurat dan memerlukan transfusi darah di tengah Operasi Ceasar, Rumah Sakit mengatasinya dengan mengambil darah dari Staf Rumah Sakit. Rumah Sakit mempunyai daftar golongan darah seluruh stafnya. Pasien akhirnya meninggal dunia. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dokter telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Majelis Hakim menyatakan bahwa Rumah Sakit dan Pemilik Rumah Sakit selaku pengusaha turut bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh dokter sebagai pekerjanya. Putusan Majelis Hakim menghukum dokter, Rumah Sakit dan Pemilik Rumah Sakit secara tanggung renteng untuk membayar kerugian immaterial yang diderita oleh penggugat sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
ADVERTISEMENT
Jadi, Standar Operasional Prosedur merupakan perwujudan dari rumah sakit untuk menjamin mutu dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan pelayanan medis yang diselenggarakan oleh rumah sakit.
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/bedah/