Bubuk Pembasmi Serangga

Konten dari Pengguna
26 Mei 2018 19:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wandha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bubuk Pembasmi Serangga
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Begini tuan nyonya, istriku adalah seorang pecandu bubuk pembasmi serangga. Kebiasaan mengisap bubuk pembasmi serangga sudah ia lakukan selama enam bulan lamanya. Tetapi baru aku ketahui kemarin malam lewat pukul delapan, saat sampai di rumah dari pekerjaanku sebagai agen swasta pembohong.
ADVERTISEMENT
Aku memergoki ia ketika sedang mengisap bubuk hijau itu menggunakan papir yang kami beli dari toko swalayan di Kemang Raya. Baiklah aku mengakui, kisah awal ini mirip dengan Naked Lunch. Tetapi aku berani bersumpah demi semua kecoak dan tuhannya kecoak bahwa kisah ini benar-benar terjadi.
Sutradara film itulah yang meniru permulaan kisah ini dua puluh tujuh tahun yang lalu. Anda bertanya bagaimana cara ia meniru? Yah, mungkin sekarang waktunya mesin waktu kita selamatkan dari konsep fiksi atau fiksi ilmiah atau utopia atau terserah anda sajalah.
Saat itu istriku duduk di sofa ruang menonton televisi dengan posisi tubuh membungkuk pada meja. Aku melangkah lambat-lambat masuk dari pintu yang letaknya ada di belakang sofa itu. Awalnya aku menduga ia sedang mulas-mulas atau memperhatikan semut atau kuman di meja seperti yang biasa ia lakukan.
ADVERTISEMENT
Namun ketika posisiku sudah bergeser ke sudut ruangan, barulah aku insaf benar bahwa dugaanku salah. Di hadapan wajahnya, yang hanya kurang dari dua puluh sentimeter pada meja itu, menggunung bubuk hijau tampak seperti bekas galian tikus tanah di halaman tetanggaku yang semrawut belukar.
Sebuah kaleng bergambar macam-macam serangga tercampak di dekat kaki meja itu. Apa aku keheranan? Tidak, aku sendiri bahkan tidak bisa membayangkan diriku keheranan saat itu. Mengapa? Aku sudah biasa melihat istriku melakukan hal yang aneh-aneh.
Contohnya tiga minggu lalu ketika ia meletakkan sofa itu di atas pangkuannya sambil duduk dengan kaki terjulur. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku. “Aku? Aku sedang mempersilakan sofa ini mendudukiku.”
“Tetapi mengapa?” tanyaku lagi. Masih tak bergerak bagai sofa yang diduduki seorang penyintas yang sedang merenungi pengalaman malapetaka genosida, ia menjawab, “Sesekali kita harus memberi kesempatan yang sama kepada objek-objek yang pernah kita gunakan.”
ADVERTISEMENT
Nah, tiga minggu kemudian dari peristiwa itu aku melihatnya mengisap bubuk pembasmi serangga. Aku tanya dia, bagaimana rasanya bubuk itu? Dia bilang tidak begitu buruk. Kehebatannya, kata dia melanjutkan, terletak pada efek plasebo yang dibangunkan oleh kandungan kimia bubuk itu, dan di lain waktu berlaku sebaliknya: nosebo.
Was mich nicht umbringt, macht mich stärker,” ujar istriku sambil mengangkat kepala. Lalu gelak tawa melompat dari pita suaranya.
“Kau tahu, wahai suamiku sang agen swasta pembohong, mengapa kecoak di rumah kita tidak pernah musnah meski bubuk ini sudah kita gunakan berkaleng-kaleng? Ah, kamu ingat peristiwa pukul tiga malam Senin sebelas hari lalu?”
“Kita kengerian dengan bayangan yang kita sangka hantu sedang menari-nari di jendela kamar. Padahal itu hanyalah segerombol kecoak yang kita pergoki sedang berdansa?” kataku membalas.
ADVERTISEMENT
“Betul. Kecoak itu memang sedang menari-nari. Kemudian, aku belum memberitahumu soal ini, tiga hari sejak itu aku mendengar suara sedih menyayat-nyayat hati ketika sedang berada di dapur. Setelah aku tengok, ternyata suara kecoak di pojok lemari piring kita.”
Kini gelak tawanya terasa lebih melompat-lompat dari satu setengah menit yang lalu.
“Itulah sebabnya kecoak-kecoak di rumah kita bukannya mati dan malah berkembang biak dan semakin kuat merayakan kehidupan mereka. Ternyata ini resepnya!” ujarnya sambil mengarahkan pandangannya pada bubuk itu.
“Jadi maksudmu mengirup bubuk itu….” kataku ditimpal sela untuk bergeming sejenak. “Was mich nicht umbringt, macht mich stärker.”
“Tentu saja, bubuk ini tidak membunuh kecoak-kecoak itu tetapi malah menguatkan mereka. Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat!”
ADVERTISEMENT
Kali ini gelak tawa istriku lebih-lebih kuat pula, seperti arwah Nietzsche baru saja mengempasnya. Tuan nyonya, anda boleh percaya dan harus percaya bahwa aku masih tidak keheranan atau mencemaskan sesuatu pun sampai saat itu.
Tetapi ketika pagi ini aku terbangun, seekor Gregor Samsa berada di tempat tidurku. Ia mengenakan daster yang dipakai istriku tidur tadi malam. Daster itu sudah penuh koyak, mungkin karena perubahan wujud makhluk itu. Aku langsung melonjak dari tempat tidur dan berlari ke pintu.
Ia berupaya membalikkan tubuhnya yang dalam keadaan terlentang itu. Kakinya bergoyang-goyang. Kedua antenanya bergerak-gerak persis satelit pemancar yang mengudar sinyal.
Tak tahan melihat pemandangan itu, aku muntah-muntah. Lalu aku berlari ke luar rumah dan terus berlari saja menyusuri jalan. Namun entah bagaimana mungkin aku berlari menuju kantor hingga sampai di hadapan meja kerjaku ini. Dan begitu pun aku baru menyadari bahwa dalam pelarian itu aku hanya mengenakan celana dalam.
ADVERTISEMENT
Pertanyaanku, tuan nyonya, tadi itu istriku atau Gregor Samsa? Dengan apa aku menikah selama ini?