Di Balik Pertarungan Para Gladiator Pompeii

7 Juli 2017 14:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Amphitheatre Pompeii (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Amphitheatre Pompeii (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
“It's a fantastic building. It's an extraordinary place to be because it was preserved exactly as it was. There are many other sites. If you visit any other antiquity-type sites throughout the world, they're very damaged with what's gone on over the centuries since they were abandoned. But this one was just, like, sealed, so you're looking at rock surfaces and the carving of letters and names in the stones looks like it was done yesterday.”
ADVERTISEMENT
Kekaguman sederhana yang terang terhadap amfiteater Pompeii itu diungkapkan David Gilmour dalam wawancara dengan Rolling Stones, tepat satu tahun lalu, 7 Juli 2016, ketika ia menghelat konser solo di tempat tersebut.
Hari itu, sebelum konser dihelat malam harinya, Gilmour juga sempat berseloroh, “Tonight will be the first time since 79 A.D. (Anno Domini/Setelah Masehi) that there's been an audience watching something here. And there were gladiators, I guess, but the history of it all is something that has crossed our minds.”
Gilmour bukan arkeolog atau sejarawan yang mampu membuat kita hanyut menjelajah waktu dengan deretan gerbong data atas kota Pompeii beserta 1.150 jasad penduduknya. Namun, kalimat yang diucapkan gitaris, penyanyi, dan penulis lagu Inggris yang terkenal sebagai anggota Pink Floyd itu memuat sepenggal petunjuk sejarah tentang sebuah peradaban di Roma yang pernah terkubur bencana akibat letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi.
ADVERTISEMENT
Gladiator, yang disinggung Gilmour dalam ucapannya, memang lekat dengan masyarakat Romawi Kuno. Tak terkecuali di Pompeii, kota di tenggara Napoli, Italia, yang menjadikan amfiteater sebagai arena pertarungan para gladiator.
Amfiteater menjadi salah satu peninggalan peradaban masyarakat Pompeii yang masih bisa diidentifikasi, bahkan dapat dikatakan masih kokoh. Dilansir dari Ancient History and Archaeology, tempat megah itu pertama kali diekskavasi pada 1823, dan merupakan salah satu situs tertua yang dibangun tahun 70 Sebelum Masehi.
Terdapat dua pintu dalam arena tersebut: Porta Triumphalis yang digunakan untuk upacara pembukaan prosesi gladiator, dan Porta Libitinensis yang merupakan titik keluar bagi gladiator yang tewas.
Pompeii. (Foto: Instagram @pompeii_parco_archeologico)
zoom-in-whitePerbesar
Pompeii. (Foto: Instagram @pompeii_parco_archeologico)
Pertarungan gladiator banyak menyimpan kisah. Dari bangunan amfiteaternya misal, terlihat jelas struktur dan kasta sosial masyarakat Pompeii. Hal tersebut tercermin dalam susunan tempat duduk di amfiteater yang terbagi ke dalam tiga klasifikasi: ima cavea, media cavea dan summa cavea.
ADVERTISEMENT
Ima cavea merupakan bagian tempat duduk di amfiteater yang berada paling bawah, dan dengan demikian paling dekat dengan panggung pertunjukan. Tempat ini khusus untuk golongan elite.
Media cavea, tempat duduk di bagian tengah, ditempati oleh masyarakat biasa yang cenderung laki-laki semua, sebab perempuan dan budak hanya dapat menempati tempat duduk paling atas yang juga paling jauh dari panggung, summa cavea.
Dari klasifikasi tersebut, perempuan ditempatkan dalam kelas sosial sama dengan para budak. Mereka dipandang sebagai warga kelas dua.
Gladiator Fight (Foto: Flickr/Hans Splinter)
zoom-in-whitePerbesar
Gladiator Fight (Foto: Flickr/Hans Splinter)
Lantas siapa gladiatornya? Mereka tak lain adalah para budak yang dibeli oleh kelompok elite. Para budak tersebut dilatih dan dipertarungkan demi kesenangan majikan mereka.
Banyak gladiator memiliki nama tunggal seperti “Princeps” dan “Hilarius” yang mengindikasikan bahwa mereka adalah budak.
ADVERTISEMENT
Namun, disebutkan pula dalam History, ada gladiator yang berasal dari budak-budak yang bebas atau tidak dibeli oleh seorang elite. Mereka mengikuti pertarungan untuk memenangkan taruhan.
Banyak juga para bekas prajurit yang berminat bertarung, juga para senator yang ingin menunjukkan kehebatan demi sebuah gengsi terkait garis keturunan.
Ada pula satu tradisi ketika bangsawan terkemuka meninggal, keluarga mereka akan mengadakan pertarungan hidup-mati antara budak atau tahanan. Sebab, menurut penulis Romawi Tertullian dan Festus, orang Romawi percaya bahwa darah manusia membantu memurnikan jiwa orang yang telah meninggal.
Pertarungan hidup-mati si budak dengan demikian secara vulgar menjadi sebuah tumbal alias pengorbanan seorang manusia. Malang betul.
Amfiteater Pompei (Foto: Instagram/@pompeii_parco_archeologico)
zoom-in-whitePerbesar
Amfiteater Pompei (Foto: Instagram/@pompeii_parco_archeologico)
Ironisnya, pertarungan gladiator menjadi ajang mendongkrak prestise dalam lapisan sosial warga kelas dua itu sendiri. Banyak para budak yang bertarung di amfiteater memiliki motivasi untuk menarik perhatian perempuan-perempuan kelas bawah.
ADVERTISEMENT
Budak-budak yang menjadi gladiator dan banyak menuai kemenangan, akan menarik perhatian perempuan.
Sementara para perempuan --yang memandang kemenangan gladiator sebagai bukti kejantanan lelaki sejati-- mengenakan jepit rambut dan perhiasan lainnya beroleskan darah sang gladiator, bahkan mencampurnya dengan keringat si petarung.
Pompeii, yang gilang-gemilang dengan industri seks dan hiburannya di abad pertama Romawi Kuno, menyimpan tradisi berdarah-darah. Dan amfiteaternya yang megah, menjadi saksi bisu.