Rohingya: Gelombang Eksodus Tiada Henti

1 September 2017 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
ADVERTISEMENT
Krisis yang melanda ribuan orang etnis Rohingya di Myanmar telah terjadi selama bertahun-tahun. Praktik kekerasan hingga menuju genosida atas dasar diskriminasi etnik menjadi ujung pangkal bagi ribuan orang Rohingya untuk melarikan diri dari tanah kelahiran mereka.
ADVERTISEMENT
Orang-orang etnis Rohingya itu tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Dengan begitu, tidak ada perlindungan hukum bagi mereka. Hanya hukum rimba yang dibuat oleh aparat militer Myanmar yang berlaku. Kepala Militer Myanmar pada Senin (28/8) mengecam klaim kewarganegaraan oleh Muslim Rohingya dan membela tindakan keras pemerintah terhadap mereka.
“Kami telah membiarkan dunia tahu bahwa kami tidak memiliki Rohingya di negara kita,” kata Komandan Militer Jenderal Min Aung Hlaing dalam sebuah pidato yang menandai Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, seperti dilansir Al Jazeera.
“Orang Bengali di negara bagian Rakhine bukan warga Myanmar. Mereka hanyalah orang-orang yang datang dan tinggal di negara ini,” imbuhnya.
Sekitar 1.1 juta Muslim Rohingya, yang dilucuti dari kewarganegaraan mereka pada 1982, sering disebut sebagai imigran “ilegal” oleh para pemimpin Myanmar. Gerakan mereka amat dibatasi, dengan puluhan ribu orang terkekang di kamp-kamp yang mengerikan sejak kekerasan mengusir mereka dari rumah pada 2012.
Rohingya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
zoom-in-whitePerbesar
Rohingya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
Ratusan ribu orang etnis Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine di Myanmar sejak militer memulai operasi keamanan Oktober 2016. Tindakan itu sebagai tanggapan atas serangan oleh orang-orang bersenjata dari etnis Rohingya (kelompok pemberontak ARSA--Arakan Rohingya Salvation Army) di pos-pos militer Myanmar yang mengakibatkan perwira polisi terbunuh.
ADVERTISEMENT
Etnis Rohingya mencari cara semampu mungkin untuk menjauhi aparat pembunuh dengan senjata dan sepatu lars yang tak henti memburu mereka. Mulai dari berjalan kaki puluhan kilometer di tengah hutan untuk sampai ke Bangladesh, sampai mengarungi laut bermil-mil jauhnya untuk mencari perlindungan di Indonesia.
Menurut Eleanor Albert dalam The Rohingya Migrant Crisis yang dimuat dalam Council on Foreign Relations, krisis migrasi Rohingya memuncak pada Mei 2015. Indonesia dan Malaysia menawarkan tempat penampungan sementara kepada ribuan migran dan meluncurkan misi pencarian dan penyelamatan untuk kapal-kapal migran yang terdampar.
Berdasarkan data Al Jazeera Maret 2017, hampir 100.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar sejak Oktober 2016, ketika militer melancarkan tindakan keras setelah serangan militan ke sebuah pos militer.
ADVERTISEMENT
PBB mengatakan dalam sebuah laporan Februari lalu, tentara Myanmar dan polisi telah melakukan pembunuhan massal dan memerkosa warga etnis Rohingya di utara negara bagian Rakhine. Tindakan itu disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis (genosida).
Sebagian besar orang Rohingya berhasil melintas dan berlindung di Bangladesh. Selama krisis puluhan tahun itu, orang-orang etnis Rohingya juga mencari suaka ke negara Asia Selatan lainnya, di antaranya India, Pakistan, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Selain itu, mereka mencari suaka perlindungan ke negara-negara Asia Tenggara terdekat yang mampu mereka jangkau seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
Data Al Jazeera menyebutkan ada sekitar satu juta orang etnis Rohingya yang telah eksodus atau meninggalkan tempat asal mereka di Myanmar sejak aksi militer brutal pertama pada 1977 hingga Maret 2017.
ADVERTISEMENT
Bangladesh sebagai negara terdekat dari Rakhine menjadi tujuan utama. Menurut data Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, seperti dicatat Eleanor Albert, pada Januari lalu terdapat 33 ribu pengungsi terdaftar dan 200 ribu sampai 500 ribu pengungsi Rohingya yang tidak terdaftar di Bangladesh.
Sementara di Thailand ada sekitar 5 ribu jiwa warga Rohingya yang berhasil menyelamatkan diri dari negeri mereka. Namun, nasib mereka di Thailand tak berubah baik-baik amat. Albert mengatakan, Thailand adalah pusat kegiatan penyelundupan manusia dan perdagangan manusia, dan berfungsi sebagai titik transit umum untuk Rohingya.
Para migran sering tiba dengan kapal dari Bangladesh atau Myanmar sebelum berjalan kaki ke Malaysia atau melanjutkan perjalanan dengan kapal ke Indonesia. Sebuah laporan dari Reuters pada 2013, seperti disampaikan Albert, ditemukan bahwa beberapa otoritas Thailand bekerja sama dengan jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia dalam mengeksploitasi Rohingya yang ditahan.
ADVERTISEMENT
Di Malaysia, pengungsi warga etnis Rohingya mencapai 150 ribu jiwa. Rohingya yang telah tiba dengan selamat di Malaysia tidak memiliki status hukum dan banyak yang tak dapat bekerja. Keluarga mereka terputus dari akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan.
Rohingya juga mencari perlindungan di Indonesia, walaupun jumlahnya masih relatif sedikit. Selama lonjakan migrasi pada 2015, otoritas negara Indonesia, menurut Albert, menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan mengurangi pembatasan imigrasi justru akan memicu gelombang masuknya pengungsi.
Di tengah tekanan internasional, Indonesia menampung seribu Rohingya untuk diberi bantuan dan perlindungan darurat.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Sementara di negara-negara Asia Selatan, dicatat Al Jazeera, mencapai sekitar 574 ribu pengungsi etnis Rohingya. Di Pakistan terdapat sekitar 350 ribu jiwa, di India sekitar 14 ribu jiwa, di Uni Emirat Arab sekitar 10 ribu jiwa, dan 200 ribu jiwa di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Sulit dibayangkan bagaimana mereka menyelamatkan diri ke suatu tempat yang ratusan kilometer jauhnya, menyeberangi negara lain. Untuk melintas ke negara tetangga yang paling dekat dengan Rakhine saja, yakni Bangladesh yang berjarak puluhan kilometer, orang-orang etnis Rohingya itu masih diselimuti bahaya yang tak terpikirkan.
Sayra Begum, seorang wanita Rohingya berusia 28 tahun dari desa Tomru di Rakhine, menceritakan kisah pelariannya dari kamp pengungsian, seperti dilansir CNN Senin (28/8). Ia mengatakan, suami dan saudara laki-lakinya telah membawa 26 orang, termasuk anak-anak, ke sungai Naf yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar. Para laki-laki akan tinggal di Rakhine, sementara yang lain menyeberangi sungai menuju tempat aman.
“Kami menunggu sampai malam tiba dan kemudian masuk ke Bangladesh, melarikan diri dari penjaga perbatasan Bangladesh. Kami tiba di kamp pengungsi Balukhali tapi tidak tahu ke mana kami akan tinggal dan apa yang akan kami makan,” ujar Begum.
ADVERTISEMENT
Kamp tersebut didirikan pada Oktober tahun lalu ketika 85 ribu orang pengungsi Rohingya melintasi perbatasan Bangladesh. Itu adalah kamp pengungsi terdekat ke Myanmar dan sebuah pos umum bagi mereka yang telah melarikan diri.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya di Bangladesh (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Seorang pengungsi, Amena Khatun (31), mengatakan tentara Myanmar menembak dia dan teman-temannya saat mereka melarikan diri hari Minggu. Awalnya, tentara bersama dengan warga sipil Budha “menjadi marah setelah mereka menemukan tiga mayat umat Buddha di dekat desa Rohingya,” katanya.
“Mereka kemudian datang tengah malam dan mulai membakar gubuk buatan kami. Kami berlari ke bukit untuk menyelamatkan hidup kami.”
Khatun mengatakan, tentara tersebut menembak mereka dengan mortir dan senapan mesin dari pos perbatasan. Namun dia dan keluarganya memanjat pagar kawat berduri untuk memasuki sebuah wilayah di antara kedua negara.
ADVERTISEMENT
“Penjaga perbatasan Bangladesh tidak membiarkan kami masuk. Sejak saat itu kami duduk di tanah berawa ini bersama seluruh keluarga saya,” katanya sambil menangis.
“Kami ingin pergi dan berlindung di Bangladesh. Tidak ingin kembali dengan anak-anakku yang tak berdosa di dalam mulut singa lagi. Saya tidak melihat secercah harapan,” lanjutnya pilu.
Khatun, bersama keluarganya, akhirnya diizinkan menyeberangi perbatasan dan memasuki kamp. Petugas Border Guards Bangladesh (BGB) Mozural Hassan Khan mengatakan kepada media bahwa dia dan tentaranya telah mendengar sejumlah besar tembakan dan ledakan di sisi perbatasan Myanmar.
"Mereka melintasi pagar mereka di dalam perbatasan Myanmar dan mereka mendekati garis nol (perbatasan antara kedua negara). Sekarang mereka semua menunggu di garis nol, mereka terlihat ketakutan, tampak sepertinya mereka kehabisan rasa takut dalam hidup mereka."
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Secara regional, menurut Albert, tidak ada tanggapan yang terpadu atau terkordinasi dari negara-negara ASEN untuk mengatasi krisis yang semakin berkepanjangan. Negara-negara di Asia Tenggara tak memiliki kerangka hukum mapan untuk menyediakan perlindungan bagi pengungsi.
ADVERTISEMENT
Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB dan Protokolnya. ASEAN sendiri tampak terdiam atas nasib Rohingya. Meningkatnya jumlah pencari suaka di negara-negara anggota ASEAN sebagian besar karena komitmen terhadap prinsip non-interference dalam urusan internal negara-negara anggota ASEAN.
Padahal krisis pengungsi besar-besaran ini, menurut Subedi--pengajar di University of New England--dalam The Conversation, telah mengangkat masalah keamanan di kawasan ASEAN dan menarik perhatian global karena banyak orang Rohingya menjadi korban lingkaran setan perdagangan manusia yang terorganisir.
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)