Fragmen Rengasdengklok: Ompol Guntur dan Revolusi Jerami

16 Agustus 2017 9:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan kiranya jika petikan tersebut menjadi tamsil atas seikat cerita 72 tahun lalu yang selama ini diringkas dalam buku-buku sejarah sebagai peristiwa penculikan Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Nuansa heroik memang kerap dibubuhkan kental dalam kisah peristiwa itu. Signifikansi nilai keberanian tersebut diakui oleh seorang pakar kajian keindonesiaan, Benedict Anderson. Dalam bukunya, Java in a Time of Revolution, ia mengatakan bahwa “para aktivis tersebut telah mengambil keputusan yang amat bersejarah, mereka memiliki keberanian untuk menculik Sukarno dan Hatta.”
Kendati demikian, di samping keseriusan rentetan aksi dan reaksi jalannya peristiwa penculikan, sebenarnya sejarah juga menyelami peristiwa itu dengan kelindan peristiwa sederhana dan amat manusiawi yang barangkali jauh dari kesan banyak orang tentang gemuruh revolusi.
ADVERTISEMENT
Dari Hatta yang diompoli Guntur si putra sulung Sukarno, sampai lucunya Sukarni yang kena semprot Sukarno karena mengira kepulan asap dari bakaran jerami seorang wong cilik sebagai api revolusi yang tengah membakar Jakarta.
Bung Hatta dan istrinya, Rahmi. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Menurut Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, ketika ia hendak bersantap sahur, ia menemukan Sukarni Kartodiwirjo, salah satu pentolan tokoh muda, bersama sejumlah pemuda lain sudah berada di rumahnya, Jalan Syowardori 57 atau yang sekarang menjadi Jalan Diponegoro. Para pemuda itu berada di ruang tengah dan di luar rumah.
“Karena Bung Karno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tadi malam, pemuda sudah memutuskan untuk bertindak sendiri. Nanti, menjelang pukul 12.00 WIB, 15.000 rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama-sama dengan mahasiswa dan PETA melucuti Jepang,” kata Sukarni kepada Hatta.
ADVERTISEMENT
Sukarni mengatakan, terkait itulah Hatta dan Sukarno akan dibawa ke luar kota untuk mengamankan keduanya dari penyerbuan dan supaya bisa memimpin pemerintahan baru Indonesia dari luar kota.
Namun menurut perhitungan Hatta, rencana para pemuda tampak tidak berpijak ke bumi alias sekonyong-konyong tanpa kecermatan. Padahal tentara Jepang masih dalam keadaan siap, pun dengan persenjataan lengkap, meski Jepang sudah menyatakan kekalahan atas sekutu dalam Perang Pasifik.
“Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara-saudara bukan melaksanakan revolusi, tetapi melakukan putsch (kudeta) yang akan membunuh revolusi,” ujar Hatta.
Sukarni bergeming. “Ini sudah menjadi keputusan kami dan tidak usah dipersoalkan. Pokoknya Bung harus ikut saya. Bersama Sukarno, Bung berdua akan kami bawa ke Rengasdengklok,” jawabnya tanpa basa-basi.
ADVERTISEMENT
Hatta juga sempat memikirkan tentang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diagendakan digelar pukul 10.00 WIB dan akan membahas proklamasi kemerdekaan. Tidak mungkin rapat itu berlangsung tanpa Sukarno dan ia sendiri yang menjadi ketua dan wakilnya. Namun, itu semua berlalu saja.
Hatta menyampaikan pesan kepada adik dan dua kemenakannya, lalu ia mengikuti Sukarni dan para pemuda meninggalkan rumahnya dengan sebuah mobil sedan.
Bung Karno sarapan bersama Fatmawati. (Foto: perpusnas.go.id)
Setelah mendapatkan Hatta, giliran Sukarno yang dijemput para pemuda dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56. Kedatangan Sukarni mengejutkan Sukarno yang saat itu sedang berada di ruang makan seorang diri untuk bersantap sahur, sebagaimana dicatat Julis Pour dalam Djakarta 1945: Awal Revolusi Kemerdekaan.
Rupanya sepanjang malam, Sukarno belum bisa tidur. Pikirannya yang berkecamuk membuat dia tetap terjaga.
ADVERTISEMENT
Sukarno mendengar suara desir dari balik semak-semak di pekarangan yang letaknya berhadapan dengan ruang makan. Muncullah dari sana beberapa orang berseragam PETA (Pembela Tanah Air). Mereka masuk ke dalam. Salah satu dari mereka adalah Sukarni.
“Bung, silakan berpakaian (lengkap). Sudah tiba saatnya,” kata Sukarni yang saat itu memegang sepucuk pistol. Sebilah sangkur menggelayut di pinggangnya.
Sukarno menyahut, “Sekarang, sudah tiba saatnya aku akan kamu bunuh. Tetapi, jika aku memimpin pemberontakan ini dan mengalami kegagalan, aku pasti kehilangan kepala. Engkau juga, begitu juga dengan yang lain-lain. Anak buah mati selalu ada gunanya, tetapi seorang pemimpin? Kalau aku mati, coba pikirkan siapa yang akan bisa memimpin rakyat?”
Sukarno lalu masuk ke kamar dan meminta kepada Fatmawati--yang sedang duduk mengurusi Guntur, putra pertama mereka yang saat itu baru berusia sembilan bulan--untuk berkemas. Tanpa banyak bicara, Fatmawati meringkas barang yang ia perlukan.
ADVERTISEMENT
Sukarno lalu keluar dari kamar bersama Fatmawati dan Guntur yang berada di gendongannya.
Seorang prajurit kemudian memberikan seragam PETA untuk dikenakan Sukarno. Alasannya, keselamatan akan terancam jika tentara Jepang melihat warga sipil menaiki mobil pada pagi buta.
“Bagaimana dengan Fatmawati?” tanya Sukarno.
“Tidak apa-apa. Anggota PETA biasa bepergian sambil membawa keluarga,” jawab si prajurit.
Rombongan Sukarno-Hatta dan penjemput mereka lantas meninggalkan Pegangsaan Timur 56. Mobil mereka merambati jalanan Jakarta yang lengang ,sejurus dengan waktu yang bergulir membawa matahari menyembul dari ufuk timur.
Sampai saat itu, Hatta masih belum tahu di mana letak Rengasdengklok.
Bung Karno dan Fatmawati (Foto: perpusnas.go.id)
Dalam perjalanan menempuh jarak sekitar 87 kilometer itu, mereka harus dua kali berhenti sejenak. Perhentian pertama karena suatu hal di luar rencana, yakni Fatmawati mesti memberikan asupan susu kepada Guntur yang sudah menangis kelaparan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Fatmawati hendak membawa air susu yang sudah dipanaskan di tungku sewaktu berkemas di rumah. Namun celaka, karena tergesa-gesa ia lupa mengambilnya.
Sedagkan pemberhentian selanjutnya sesuai rencana Sukarni dan kawan-kawan. Di daerah sepi yang tanpa penjagaan tentara Jepang, mereka berpindah dari mobil sedan ke truk kecil milik PETA.
Fatmawati duduk di muka sambil memangku Guntur, bersampingan dengan prajurit PETA yang menyopiri truk. Sementara Sukarno, Hatta, dan lain-lain berada di bagian belakang truk, pada bak tanpa atap.
Soal pergantian itu, Sukarni menjelaskan kepada mereka, “Hanya kendaraan militer yang dapat mengangkut kita ke tempat tujuan. Di sepanjang perjalanan, kendaraan lain akan menarik perhatian Jepang. Tetapi dengan memakai truk macam ini, kita akan kelihatan seperti pasukan militer yang sedang bergerak untuk beralih tempat.”
ADVERTISEMENT
Sukarno bertanya, “Kenapa tidak memakai kendaraan ini sejak awal?”
“Terlalu mencolok kalau kita membawa truk militer ke daerah Menteng, apalagi mendatangi kediaman Bung Karno,” jawab Sukarni.
“Rumah Penculikan” Sukarno di Rengasdengklok. (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Rengasdengklok dipilih sebagai tujuan karena beberapa pertimbangan. Daerah itu pada sisi utara berbatasan dengan laut, sehingga jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, mereka dapat melarikan diri melalui laut; di timur dibentengi wilayah Daidan Purwakarta; di selatan ada pasukan PETA Kedung Gedeh; dan di sisi barat terdapat pasukan PETA Bekasi. Dengan demikian, wilayah itu dinilai cukup aman.
Bekas markas PETA di Rengasdengklok. (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Di samping itu, Shodacho Oemar Bahsan, pemimpin PETA setempat, merupakan pimpinan gerakan antifasisme yang bergerak di bawah tanah dengan nama sandi Sapoe Mas atau SM. Sehingga, bukan hal yang mengherankan bahwa para prajurit PETA Rengasdengklok sudah menjalin kontak dengan jaringan rahasia para pemuda atau aktivis di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Rengasdengklok (Foto: Wikimedia Commons)
Rombongan tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 07.30 WIB. Sementara desas-desus hilangnya Sukarno dan Hatta sudah mulai menyebar di Jakarta, walaupun tidak ada yang mengetahui keberadaan kedua pemimpin itu berkat rapi dan terorganisirnya aksi penculikan.
Sukarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur menempati sebuah ruang asrama PETA selama satu jam sebelum dipindah ke rumah tuan tanah Tionghoa yang sengaja dikosongkan untuk mereka. Jaraknya sekitar 300 meter dari asrama PETA.
Mereka dipindah ke sana karena rumah itu lebih nyaman. Sebab di asrama, menurut Hatta, lantainya hanya beralaskan tikar pandan dan tidak ada kursi. Sebuah ruang yang menurut perkiraannya digunakan untuk tidur para prajurit PETA.
Menit demi menit berlalu tanpa ada hal penting yang bisa mereka kerjakan kecuali mengasuh Guntur. Mereka berganti-gantian memangku Guntur seolah sebagai cara mengusir kebosanan sambil menanti-nanti kabar tentang situasi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Apa iya, seperti dikatakan kelompok pemuda, revolusi akan dimulai saat matahari di puncak dan 15.000 orang menyerbu Jakarta?
Rumah Penculikan Sukarno-Hatta (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Rumah Penculikan Sukarno-Hatta (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Di Jakarta, dokter pribadi Sukarno dan keluargnya, Dr. Soeharto, keheranan ketika tiba di rumah Sukarno sekitar pukul 06.00 WIB dan mendapati hanya ada seorang pelayan di rumah.
“Pak Karno sekeluarga beberapa jam lalu dibawa pergi naik mobil oleh para prajurit PETA, entah mereka dibawa ke mana,” kata pelayan Sukarno kepada Dr. Soeharto, seperti dicatat Pour.
Dr. Soeharto bergegas ke rumah Hatta, dan tentu saja Hatta juga tak ia temukan di rumahnya. Ia menerka-nerka tentang apa yang tengah terjadi, tentang apa yang dilakukan PETA kepada mereka.
Ketika kembali ke rumah, Dr. Soeharto mendapat petunjuk yang datang secara kebetulan. Seorang prajurit PETA bernama Abdurrachman masuk menerobos ke rumahnya untuk meminta satu kaleng susu bubuk makanan bayi.
ADVERTISEMENT
Dari prajurit itu, ia menyimpulkan bahwa sudah tentu susu bubuk itu akan diberikan untuk Guntur. Dan itu artinya, Sukarno, Hatta dan Fatmawati saat ini berada di bawah perlindungan PETA.
“Semuanya baik-baik saja, kan?” tanya Dr. Soeharto tenang.
“Ya,” balas Abdurrachman singkat dan langsung meninggalkan tempat itu menuju Rengasdengklok.
Laksamana Maeda dan rumahnya di Jakarta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Kabar hilangnya Sukarno-Hatta juga sudah sampai ke telinga Laksamana Muda Tadashi Maeda. Mulanya, Achmad Subardjo yang merupakan staf Maeda di kantor penghubung Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang mengetahui kabar itu dari sekretarisnya, Soediro. Ia lantas memberi tahu Maeda untuk memperhitungkan seandainya kedua tokoh tersebut diculik oleh Rikugun (Angkatan Darat Jepang).
Tentu Maeda membantu mencari keberadaan mereka berdua, terlebih Kaigun dikenal lebih bersimpati pada perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Subardjo kemudian menanyakan perihal hilangnya Sukarno dan Hatta kepada Wikana, salah satu tokoh pemuda. Namun Wikana mengaku tidak tahu lokasi yang dirahasiakan itu.
ADVERTISEMENT
Sementara di pihak pemuda, Caherul Saleh menggelar rapat dengan perwakilan pemuda dan utusan PETA di dekat Kebun Binatang Cikini. Rapat itu menghasilkan keputusan-keputusan teknis seputar penggunaan tenaga militer yang dikerahkan untuk menyerbu tentara Jepang di Jakarta.
Pertanyaan masih menyeruak pada banyak kepala tentang berbagai hal, bersamaan dengan matahari yang terus membubung ke langit. Mulai dari soal keberadaan Sukarno dan Hatta, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan yang terpaksa harus ditunda, perkembangan situasi di Jakarta yang ditunggu-tunggu Sukarno-Hatta, sampai para pemuda sendiri yang mulai cemas dengan rencana revolusi mereka.
Di tengah situasi yang serba tak tentu itu, Hatta mendapatkan kejutan kecil dari Guntur. Anak sulung Sukarno itu mengompol sewaktu ia pangku.
“Selagi ia duduk di pangkuanku, Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia cepat-cepat aku turunkan ke lantai, (tapi) kecelakaan sudah terjadi,” kata Hatta mengenang peristiwa kecil itu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya Hatta tidak membawa sehelai pakaian pun untuk mengganti celananya yang basah diompoli Guntur. Hatta memang sengaja tak membawa pakaian sebab menurut perhitungannya, ia tidak akan lama berada di luar Jakarta.
Namun laki-laki cermat dan berkepala dingin itu tentu tidak memperhitungkan ompol seorang bayi teman dekatnya itu. Mau tidak mau, ia tetap mengenakan celananya sampai kemudian kering dengan sendirinya.
Bung Karno dan Bung Hatta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Menginjak tengah hari, Hatta meminta tolong kepada seorang pemuda yang berjaga di rumah punya orang Tionghoa itu untuk memanggil Sukarni.
Sukarni lalu datang menemui Hatta. Ia ditanyakan terkait perkembangan situasi di Jakarta. Tidak lupa, sebagai pihak yang ditarik ke dalam rencana revolusi mereka, Hatta menagih bukti jalannya revolusi.
“Apakah revolusi yang akan bermula pukul 12.00 tengah hari sudah bermula? Apakah 15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama mahasiswa dengan PETA sudah masuk ke kota?” tanya Hatta.
ADVERTISEMENT
Sukarni mengaku belum mendapat kabar, lalu menerima usul Hatta untuk menghubungi rekan di Jakarta.
Setelah satu jam berupaya berhubungan dengan Jakarta, Sukarni menyatakan belum bisa melakukan kontak, dan rekan di Jakarta pun belum mengirimkan kabar.
“Kalau begitu, revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat di sini apabila di Jakarta tidak terjadi apa-apa?” ujar Hatta kepada Sukarni.
Perkembangan menentukan terjadi di Jakarta ketika akhirnya Subardjo mengetahui lokasi disembunyikannya Sukarno dan Hatta. Ia mengetahui itu dari Yusuf Kuntho, seorang tokoh muda, yang sengaja menemui Subardjo untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan dua pemimpin itu.
“Sukarno dan Hatta telah kami amankan karena kami khawatir mereka akan disandera Rikugun sewaktu kami menyerbu Jakarta,” kata Kuntho.
ADVERTISEMENT
“Jika hanya karena alasan itu, saya telah mendapat jaminan dari Laksamana Maeda bahwa Kaigun pasti akan turun tangan membantu. Tolong katakan, di mana Bung menyembunyikan Sukarno dan Hatta?” ujar Subardjo.
“Mereka kami amankan di Rengasdengklok,” jawab Kuntho.
Subardjo. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Mengetahui kabar tersebut, Subardjo langsung mengambil inisiatif menjemput Sukarno-Hatta untuk dibawa kembali ke Jakarta. Ia langsung menuju Rengasdengklok dan tiba di sana sekitar pukul 18.00 WIB.
Ia terlebih dulu harus meyakinkan Shodancho Soebeno yang bertanggung jawab di lokasi PETA tersebut. Subardjo meyakinkan Soebeno bahwa ia datang atas persetujuan para pemuda, termasuk Wikana, yang berada di Jakarta.
Soebeno yang berhasil diyakinkan mengajukan syarat bahwa proklamasi mesti diumumkan malam itu juga jika Sukarno dan Hatta ingin dibawa kembali ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Apakah Bung bisa menjamin proklamasi kemerdekaan akan bisa diucapkan malam ini juga?” tanya Soebeno.
“Tidak mungkin,” jawab Subardjo tegas. “Sekarang sudah pukul 18.00 WIB. Kami harus segera kembali ke Jakarta dan memanggil para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan agar mereka bisa menyelenggarakan sidang kilat. Saya sudah merasa bahwa kami nanti harus bersidang semalam suntuk untuk mempersiapkan proklamasi,” lanjutnya.
“Bagaimana kalau besok pukul enam pagi?” tanya Soebeno.
“Kami akan berusaha secepat-cepatnya. Yang pasti proklamasi kemerdekaan harus diucapkan oleh Sukarno-Hatta,” jawab Subardjo.
“Kalau tidak bisa?” kata Soebeno mendesak.
“Jika gagal, Bung boleh tembak saya,” ujar Subardjo, nekat.
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Ketika Subardjo menemui Sukarno-Hatta untuk mengajak mereka kembali ke Jakarta, Hatta masih sempat-sempatnya berkelakar. Ia mengatakan lebih memilih beristirahat di tempat itu sampai besok pagi. Sebab, toh semua rencana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan yang mestinya digelar hari itu, telah berantakan.
ADVERTISEMENT
“Besok saja kita pulang,” kata Hatta.
Mendengar candaan itu, Fatmawati langsung protes.
“Kalau buat Bung tidak apa-apa, tetapi bagaimana Guntur kalau kita mesti tinggal sampai besok pagi. Susu sedikit yang diberikan untuk dia tadi, sekarang sudah habis. Ayo Bung, kita pulang sekarang juga.”
Ucapan Fatmawati sudah barang tentu ampuh untuk membuat semua bergegas. Mereka meninggalkan Rengasdengklok sekitar pukul 19.00 WIB.
Sepanjang jalan, Subardjo diliputi perasaan was-was jika sewaktu-waktu mereka tertangkap Rikugun. Kecemasan juga sempat menyergap Sukarno ketika Sukarni yang melihat kepulan asap di kejauhan, berseru dengan semangat kepada Sukarno dan Hatta.
“Bung, lihat. Revolusi sudah dimulai. Revolusi sudah mulai berkobar, persis seperti yang kita harapkan. Jakarta sudah mulai dibakar, kita harus kembali ke Rengasdengklok,” kata Sukarni.
ADVERTISEMENT
“Tidak, kita harus berjalan memastikan, kobaran api apa itu,” balas Sukarno tenang.
Setelah mobil mendekat dan mereka turun untuk mengamati kepulan asap itu dari dekat, ternyata hanya tampak seorang petani kurus memakai sarung sedang membakar tumpukan jerami kering di tengah sawah.
Sukarno pun kesal bukan main kepada Sukarni. “Inikah revolusimu? Inikah api revolusi yang sudah berkobar-kobar? Api ini jelas bukan isyarat pemberontakan.”
“Cukup sampai di sini. Hentikan semua perbuatan bermain-main untuk menjadi pahlawan!” lanjut Sukarno yang membuat malu dan ciut nyali Sukarni.
Subardjo, melihat anak muda yang sedang sial itu, malah menimpali pedas. “Simpan segera pistolmu!”
Pasalnya, sejak berada di mobil, Subardjo memperhatikan Sukarni gugup dan terus memegang pistolnya.
Sukarni. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Kesialan Sukarni tak berhenti sampai di situ. Menurut Hatta dalam autobiografinya, ketika mereka sudah sampai di rumahnya dan bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing, Sukarni ditertawakan oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Saat itu Sukarni meminta pakaian untuk mengganti seragam PETA yang ia kenakan.
“Bagaimana aku?” tanya Sukarni.
“Ya pulang juga,” jawab Hatta.
“Kalau begitu, aku minta Bung pinjami satu setel pakaian karena dengan baju PETA yang aku kenakan sekarang, aku dapat ditangkap oleh Kempetai,” tukas Sukarni, disambut tawa orang-orang.
“Saudara berani mengadakan revolusi menggempur Jepang. Tetapi, sekarang saudara takut akan ditangkap Kempetai karena pakaian PETA,” kata Hatta meledek, sembari meminjamkan baju ke Sukarno.
Humor itu menutup rangkaian peristiwa menegangkan Jakarta-Rengasdengklok.
“Rumah Penculikan” di Rengasdengklok. (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Untuk anda yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkungan sekitar, sila berbagi cerita via akun kumparan, ya.
ADVERTISEMENT
Jika belum punya akun kumparan, bisa buat dengan mudah. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.