Internet: dari Negara Kembali ke Negara

18 Juli 2017 12:55 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Internet (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Internet (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Atas nama terorisme, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi memutuskan untuk memblokir aplikasi web Telegram. Kapolri menilai aplikasi tersebut menjadi lahan ‘bermain’ bagi teroris dalam membangun jaringan dan membuka ‘kelas’ pelatihan pembuatan bom.
ADVERTISEMENT
Fitur privasi yang merahasiakan identitas pengguna, ditambah terlambatnya tanggapan pihak Telegram atas tuntutan pemerintah, menjadi ‘dosa’ tambahan Telegram.
Telegram menyusahkan upaya kepolisian menggembosi jaringan terorisme yang mengambil porsi besar dari narasi dunia itu sejak runtuhnya gedung World Trade Center di Amerika Serikat pada September 15 tahun lalu.
Masyarakat, utamanya netizen, lantas bereaksi atas rencana pemblokiran Telegram. Sebagian mendukung karena langkah pemerintah itu dinilai sebagai upaya pemberantasan terorisme, dan aplikasi Telegram toh dianggap tak penting-penting amat bagi khalayak.
Namun sebagian lainnya menolak lantaran keputusan itu dipandang mengancam kebebasan berekspresi. Dan tak sedikit pula yang “mendakwa” pemerintah tengah membangun suatu rezim otoriter.
Ilustrasi Telegram. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Telegram. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Dunia maya kini menjadi medan operasi perang melawan teror. Fenomena ini tengah mengingatkan kita akan sejarah internet itu sendiri. Internet dilahirkan di atas kepentingan keamanan negara untuk menangkal ancaman. Namun, seolah kasus terorisme ini menempatkan internet vis a vis negara sebagai lawan.
ADVERTISEMENT
Dalam Memory Bites: History, Technology and Digital Culture, Lauren Rabinovitz dan Abraham Geil mencatat asal mula teknologi komputer modern ditemukan dalam konteks pasca-perang dunia kedua, dengan mengambil ilhamnya untuk keperluan strategi baru menghadapi ancaman nasional. Sejumlah negara berinvestasi besar-besaran dalam penelitian mengembangkan tekonologi komputer, misalnya Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
Internet, salah satu aplikasi teknologi komputer yang paling populer saat ini, berasal dari strategi pertahanan militer perang dingin AS. Pada 1950-an, Departemen Pertahanan AS menghadapi kekhawatiran tentang bagaimana mempertahankan jaringan komunikasi komando dan kontrol jika terjadi serangan nuklir.
Karena setiap otoritas pusat akan menjadi target langsung musuh, departemen tersebut mencari cara untuk membangun jaringan komunikasi terdesentralisasi yang dapat menjadi kebal serangan karena tak lagi terpusat.
ADVERTISEMENT
Membuat sebuah jaringan tanpa kabel yang terhubung ke berbagai komputer lainnya yang jaraknya bahkan bermil-mil jauhnya, adalah mimpi dari sebuah strategi militer untuk menggunakan kekuatan sistem komputasi dan internet dalam mengalahkan Uni Soviet dan sekutunya. Inilah mimpi dalam membuat internet.
Para ilmuwan yang membuat internet paham betul tujuan mereka menciptakan teknologi itu untuk memenangkan perang, dan mereka menyesuaikannya dengan tepat. Oleh sebab pasukan tentara Amerika ada di mana-mana, maka mereka menciptakan jaringan internet dengan desain fleksibel tanpa kabel. Internet diciptakan untuk memudahkan komando pasukan tentara Amerika yang tersebar itu.
Dikutip dari The Guardian, disebutkan saat itu internet menghubungkan hampir 800 basis militer Amerika di lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Dimiliki oleh ratusan kapal laut, ribuan pesawat tempur, dan puluhan ribu kendaraan lapis baja.
Internet (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Internet (Foto: Istimewa)
Pada 1969, sebuah lembaga di bawah departemen pertahanan pemerintah AS, Advanced Research Project Agency Network (Arpanet) memulai penelitian di University of California, Los Angeles (UCLA). Namun ketika Arpanet tumbuh dan berkembang di tahun 1970-an, para ilmuwan yang memiliki akses untuk menggunakan internet memanfaatkannya untuk tujuan lain sesuai keinginan mereka.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menggunakannya untuk sekadar mengolah data-data kepentingan militer, para ilmuwan memakainya sebagai media komunikasi pribadi dengan berkirim pesan dan informasi jarak jauh kepada rekan ilmuwan mereka. Para ilmuwan ini sesungguhnya, secara tak langsung, telah mengembangkan pesan milis untuk berkomunikasi membicarakan hobi mereka, aktivitas di luar penelitian, dan hiiburan personal.
Pada waktu yang sama, para peneliti di universitas yang memiliki akses pada Arpanet juga mulai sadar dan mempertanyakan proyek otoritas pemerintah yang menggunakan proyek tersebut untuk perang.
Ketika otoritas pemerintah melalui jaringan internet Arpanet berhasil melakukan desentralisasi komunikasi untuk mempertahankan the command and control pada tahun-tahun perang nuklir, para pengguna Arpanet lain, termasuk ilmuwan, melihat manfaat yang berkebalikan: membangun peradaban digital.
ADVERTISEMENT
Dalam iklim gerakan antiperang Vietnam pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, serta pembentukan sebuah wacana tandingan yang berpusat di kampus-kampus universitas di seluruh Amerika Serikat, pengguna Arpanet mulai mengambil alih komando jaringan internet sebagai sarana untuk meningkatkan partisipasi demokratis dan memajukan komunikasi jarak jauh.
Dengan begitu penemuan internet ‘turun gunung’ dan kemewahannya sebagai teknologi militer luntur. Samuel Morse, dalam mengirim pesan telegraf pertamanya, memilih kalimat yang ‘wah’ sebagai pencatatan momentum bersejarah: What hath God wrought? (...)
Sementara Leonard Kleinrock--ilmuwan Amerika dan disebut sebagai bapak internet--mengirimkan pesan pertama melalui internet dari UCLA ke Stanford Research Institute, yang berjarak sekitar 314 mil, dengan hanya sebuah kata: Lo.
Maksud Klein mengirim kata “Login” tidak tercapai karena sambungan internet saat itu terputus tepat setelah ia mengetik huruf "o". “Login” kini menjadi sebuah kata yang begitu familier bagi semua pengguna internet di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Meski begitu pertalian internet tidak pernah benar-benar lepas dengan kepentingan politik dan keamanan negara. Pada 2011, Amerika bekerja sama dengan sebuah perusahaan di California, United States Central Command (Centcom), dalam melakukan operasi rahasia untuk memanipulasi media sosial. Skenarionya, AS membuat identitas palsu dan mengontrol wacana di media sosial ke arah pro-propaganda AS.
Mereka mengembangkan apa yang disebut apa yang digambarkan sebagai “layanan manajemen persona online” yang akan memungkinkan satu pejabat AS mengendalikan hingga 10 identitas terpisah yang berbasis di seluruh dunia. Mereka bahkan melakukan operasi itu dalam lingkup terorisme. Jeff Jarvis, profesor di The City University of New York, seperti dilansir The Guardian mengatakan:
“Rencana pemerintah AS menggunakan teknologi untuk menciptakan dan mengelola identitas palsu dalam interaksi sosial dengan teroris sama menjijikkannya dengan sesuatu hal yang lucu. Sungguh mengerikan bahwa di era transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar melalui internet ini, dari semua negara AS akan mencoba mensistematiskan ‘sock puppet’. Ini sangat bodoh dengan sedikit keraguan bahwa topeng itu akan terbongkar. Hasilnya akhirnya justru akan mengurangi, bukan meningkatkan, kredibilitas Amerika.”
ADVERTISEMENT
Oleh para pakar, upaya tersebut disebut sama saja dengan rezim Cina dalam mengendalikan dan membatasi kebebasan berbicara di internet. Hal itu juga memungkinkan militer AS membuat konsensus palsu dalam percakapan online, mengacaukan opini yang tidak diinginkan dan membungkam komentar atau laporan yang tidak sesuai dengan tujuan mereka.
Operasi yang dilakukan oleh militer AS tersebut juga dapat mendorong pemerintah negara lainnya, perusahaan swasta dan organisasi non-pemerintah untuk melakukan hal yang sama.
Juru bicara Centcom, Bill Speaks, mengatakan, “Teknologi ini mendukung aktivitas blogging yang dikelompokkan di situs web berbahasa asing untuk memungkinkan Centcom melawan propaganda ekstrem dan musuh keras di luar AS”.
Pandangan yang menganggap internet, terutama media sosial, sebagai sebuah kaca bening yang bisa menampakkan hal yang seolah tanpa kepentingan tertentu, tentu dapat diragukan. Termasuk dalam kasus terorisme.
ADVERTISEMENT