Kafka dan Tiga Cerita Alternatif Prometheus

Konten dari Pengguna
6 Juni 2018 0:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wandha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kafka dan Tiga Cerita Alternatif Prometheus
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Barangkali nama Franz Kafka sudah tidak asing bagi sebagian orang. Karya-karyanya, baik berupa cerita pendek maupun novel, menggambarkan absurditas yang demikian pekat, kemuraman yang begitu langgeng, bikin pening, dan keterperangkapan manusia dalam rupa-rupa situasi hidup yang sulit dipahami.
ADVERTISEMENT
Kafka dan pesimisme kiranya tidak dapat dipisahkan, seperti halnya tragedi dan kutukan abadi. Kurt Vonnegut, seorang penulis komedi gelap, menggambarkan cerita-cerita Kafka sebagai panggung tokoh utama yang nasibnya merosot, bahkan di bawah garis semenjana sejak awal.
Dengan wawasan dunia kepengarangan demikian, tentu tidak pada tempatnya jika heran mengetahui bahwa ada cerita tragedi Prometheus di antara keping-keping cerita pendek dan setapak tangan yang ia tulis.
Dalam Prometheus, Kafka membangun tiga jalan cerita alternatif mitologi tragedi Prometheus Sang Titan. Ia menulis ketiganya secara ringkas tanpa perlu patuh pada hukum tertentu, semisal konsekuensi dan sebab yang mendahuluinya. Ini gaya Kafka sekali — yang bahkan kemudian dikenal dengan kata sifat Kafkaesque.
Prometheus merupakan tokoh mitologi Yunani yang dikutuk oleh Zeus karena mencuri api miliknya yang disembunyikan dari manusia. Konon api ini ditafsir sebagai personifikasi dari pengetahuan. Api curian itu ia berikan kepada manusia, konon sejak itulah manusia baru mulai dapat berpengetahuan.
ADVERTISEMENT
Zeus sang raja para dewa dalam mitologi Yunani itu menghukum Prometheus dengan mengikatnya pada sebuah batu di gunung wilayah Kaukasia. Selama dibelenggu di sana, perutnya digerogoti sampai habis oleh burung elang.
Bekas lukanya akan pulih dan perutnya akan terbentuk kembali untuk kemudian digerogoti kembali juga sampai habis oleh burung elang. Dan seterusnya berulang demikian, abadi.
Baginya kematian akan lebih baik daripada harus menjalani kutukan abadi itu. Namun pada akhirnya Prometheus diselamatkan oleh Heracles atau yang lebih dikenal dengan Hercules.
Itu cerita generik dan otoritatif dari tragedi Prometheus. Sedangkan cerita alternatif pertama dari Kafka bunyinya begini, Prometheus, yang didorong oleh rasa sakit akibat patukan paruh elang, menekan dirinya sendiri semakin dalam pada karang hingga ia menjadi satu dengan karang itu.
ADVERTISEMENT
Telah disebut bahwa nasib tokoh utama dalam cerita-cerita Kafka selalu pesimistis dan merosot. Melalui cerita alternatif pertama ini, aku perlu menambahnya menjadi: tokoh utama selalu pesimistis dan bernasib merosot dan untuk itu tak memerlukan bantuan siapapun.
Prometheus versi Kafka tidak akan diselamatkan oleh Hercules. Ia sudah mampu menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyatu dengan batu. Seperti tokoh-tokoh Kafka lainnya, ia sudah cukup matang untuk menghadapi dan menyelesaikan kegetiran hidup sendirian.
Apakah menyatu dengan batu berarti Kafka menghindari penderitaan dari kutukan abadi? Jawabnya boleh jadi tidak. Justru Kafka, yang sudah sangat berkomitmen pada penderitaan, menginginkan penderitaan yang lebih abadi lagi.
Kafka sudah tahu bahwa suatu hari Hercules akan datang dan menyelematkan Prometheus. Sehingga menyatu dengan batu akan membuat penderitaannya lebih abadi karena tak ada seorang atau sedewa pun yang perlu membantunya. Ia telah memilih jalannya sendiri menjadi batu.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, selayaknya batu karang di gunung, ia mungkin akan bertahan hingga saat ini. Burung elang tidak akan menggerogotinya. Tetapi ia akan menderita kedinginan, kepanasan, jika ada orang iseng mungkin akan dikencingi atau dicoret-coret, menjadi tempat duduk hantu, atau lebih buruk lagi dijadikan bahan bangunan.
Kemudian alternatif yang kedua, Kafka menulis, pengkhianatannya dilupakan setelah ribuan tahun berlalu, dilupakan oleh para dewa, elang, dan oleh dirinya sendiri.
Nasib Prometheus dalam versi ini lebih membingungkan lagi — artinya semakin Kafka pula. Jadi setelah penderitaan dari kutukan itu berlangsung selama ribuan tahun, Zeus, burung elang, dan Prometheus sendiri melupakan perbuatan kurang ajarnya itu. Apakah artinya perbuatan berdosa kepada Zeus itu dimaafkan? Belum tentu demikian.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah ia sendiri perlu pemaafan dari Zeus, sementara ia dan Zeus pun sudah melupakan pengkhianatannya? Ini bukan berarti semuanya kembali dari nol. Dia akan hidup penuh kebosanan dengan tetap terikat pada batu, sebab Zeus hanya melupakan kesalahannya, bukan membebaskannya dari belenggu itu.
Hercules pun kemudian mungkin tidak merasa perlu menyelamatkan Prometheus karena premis untuk mengambil tindakan itu tidak terpenuhi. Hercules hanya akan menyelamatkannya jika Zeus, elang, dan Prometheus sendiri tidak melupakan pengkhianatan itu.
Komitmen Kafka pada penderitaan dalam versi ini, selain dalam bentuk kebosanan, adalah Prometheus akan menjadi tontonan publik. Tentu lucu bahwa ada dewa yang terikat pada sebongkah batu dan tidak bisa berbuat apapun.
Coba umpamakan, anda melihat seorang dewa terikat di tiang listrik dan tak bisa berbuat apapun. Jangan-jangan malah disangka maling atau orang gila yang ditangkap karena mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Merosotlah derajat dewa itu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah akan ada orang yang menemukan Prometheus yang berada di gunung di Kaukasia itu? Dan, apakah burung elang berhenti menggerogoti perutnya meski sudah melupakan kesalahan Prometheus?
Penderitaan lainnya ialah pada skala yang lebih besar, yaitu terjadinya kekacauan di dunia para dewa. Pengkhianatan kerap dipandang sebagai kesalahan paling berat. Sehingga melupakan kesalahan itu berarti akan dengan mudah melupakan kesalahan-kesalahan lainnya pada skala yang lebih ringan.
Maka hukum yang berlaku bagi semua akan dianggap tidak lagi berlaku. Para dewa akan menerapkan hukumnya masing-masing. Terjadi konflik komunal.
Konsekuensinya mungkin ada empat: pertama, kehancuran semua; kedua, muncul satu dewa yang menang dan menerapkan hukumnya; ketiga, akan tercipta harmoni sosial yang baru; keempat, membawa kita pada jalan cerita alternatif Prometheus yang ketiga, tiap orang mulai lelah dengan skandal yang tak bermakna ini.
ADVERTISEMENT
Para dewa lelah, elang lelah, dan lukanya pun menutup diri dengan lelah. Yang tersisa hanya bongkahan karang yang tidak dapat dipahami itu. Legenda mencoba menjelaskan yang tak terpahami. Karena berasal dari lapisan kebenaran, pada akhirnya legenda pun menjadi tak terpahami.
Begitu kira-kira ketiga jalan cerita alternatif yang ditawarkan oleh Kafka tentang tragedi kutukan abadi Prometheus.
Seperti halnya Kierkegaard, Kafka paham benar bahwa dunia kehidupan bukan tempat bagi hadirnya kepastian di mana segala sesuatunya menjadi dapat dipahami. Kenisbian ini rahim dari penderitaan (dan juga kebebasan) — yang terkadang begitu asingnya hingga membuat manusia sulit memahami antara yang aktual, efek samping, dan ilusi.
Kepastian bukanlah apa-apa kecuali soal lahir dan mati. Sebesar dan sesuci apapun mencintai kepastian, keberadaan manusia tetaplah hamba dari sang kehidupan yang enigmatik.
ADVERTISEMENT
Kepastian memang omong kosong yang menyenangkan. Modal bahwa kepastian itu omong kosong adalah yang dengan sangat bijak dan malu-malu manusia tunjukkan sebagai proses mengetahui sampai mati.