Keping yang Terserak: Terompet Proklamasi sampai Bantal Granat

17 Agustus 2017 12:37 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Peristiwa besar tersusun dari keping-keping kecil kejadian. Begitu pula Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang digemakan 17 Agustus 1945. kumparan memilih beberapa keping yang terserak di antaranya--kisah-kisah kecil dari para saksi mata pada tahun-tahun pertama revolusi bergulir.
ADVERTISEMENT
Terompet Proklamasi
Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan. (Foto: Dok. Perpusnas)
Proklamasi berlangsung sederhana dalam tempo singkat sekitar pukul 08.00 WIB di halaman rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur 56. Tak lama setelah itu, Sukarno tentu memikirkan bagaimana agar kabar tersebut diketahui banyak orang.
Dalam sebuah artikel Riwu Ga, Terompet Proklamasi, Anwar Hudijono bercerita, saat itu mustahil menggunakan radio untuk menyebarkan berita proklamasi. Sebab Jepang masih menguasai kantor-kantor radio, dan masyarakat yang memiliki radio pun hanya sedikit.
Apalagi untuk mendengarkan berita proklamasi melalui radio, tentu mesti dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena Jepang diperintahkan Sekutu untuk mempertahankan status quo dengan tentaranya mengawasi masyarakat.
Riwu Ga, penyebar kabar proklamasi. (Foto: Peter A. Rohl)
Bung Karno lalu memanggil seorang sahabatnya yang bernama Riwu Ga.
Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” kata Bung Karno. “Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera,” lanjut sang proklamator.
ADVERTISEMENT
Riwu dengan bersemangat mengerjakan bagiannya, meski harus menantang bahaya ditangkap atau bahkan ditembak oleh mata-mata (kempeitai) dan tentara Jepang.
Jalan Cikini, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)
“Sarwoko, adik Mr. Sartono, yang pegang setir jip terbuka. Kami melambai-lambaikan bendera sepanjang jalan. Saya yang berteriak sepanjang jalan. Rakyat tumpah ruah ke mulut-mulut gang. Saya berteriak dengan megafon. Saya bilang rakyat Indonesia sudah merdeka,” kenang Riwu Ga pada 1995 seperti dikutip keponakannya, Peter A. Rohi.
Semula masyarakat tidak mengerti benar apa yang dilakukan Riwu Ga dan apa yang dilantangkannya, sehingga Riwu Ga perlu kembali mengulangi kalimatnya.
“Mereka semua diam, seakan-akan menunggu apa yang saya sampaikan lagi. Maka saya ulangi, kita sudah merdeka, merdeka, merdeka. Ternyata rakyat menyambut dengan gegap gempita sambil mengepalkan tangan ke atas, lalu menirukan suara saya, merdeka!” kata Riwu Ga.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ujarnya, banyak orang yang begitu tersentuh pada kabar itu sehingga tidak dapat membendung air mata sukacita.
Riwu Ga pertama kali bertemu Bung Karno ketika berada di tahanan Ende. Di antara para tahanan lain, ia yang ditugasi untuk melayani makan dan minum Bung Karno. Sejak itu, hubungan di antara mereka terjalin erat.
Riwu Ga meninggal pada 17 Agustus 1996, 51 tahun tepat sejak ia kumandangkan kemerdekaan di jalan-jalan Jakarta.
Tak Sengaja Lewat Rumah Sukarno
Suasana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 (Foto: jakarta.go.id)
Kesan sederhana peristiwa proklamasi yang jauh dari ingar bingar juga tergambarkan melalui sebuah pengalaman Marsekal Purnawirawan Saleh Basrah. Ia merupakan saksi peristiwa proklamasi yang tak disengaja.
Dalam buku Menguak Misteri Sejarah yang dieditori Hero Triatmono, disebutkan laki-laki kelahiran 14 Agustus 1928 itu melihat peristiwa proklamasi saat sedang mengemudikan mobil.
ADVERTISEMENT
Pada 17 Agustus 1945, 17 tahun usianya saat itu, Saleh mengemudikan mobil pamannya menuju rumah seorang kerabat di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Ketika itu ia melewati Jalan Pegangsaan Timur, rumah Sukarno, lokasi diselenggarakannya proklamasi dan pengibaran bendera Merah Putih pertama secara terang-terang pertama kali, tanpa mengibarkan bendera Jepang, Hinomaru, di sampingnya.
Padahal Jepang memberlakukan pelarangan untuk mengibarkan bendera Merah Putih jika tanpa disandingi bendera negeri matahari terbit itu.
Pengibaran bendera merah putih. (Foto: Wikimedia Commons.)
Ketika melewati Pegangsaan Timur itulah, Saleh melihat sejumlah orang sedang berkumpul dan menaikkan bendera di depan rumah Sukarno. Ia pun menghentikan mobilnya sebentar untuk memperhatikan peristiwa tersebut.
Tak berapa lama kemudian, barulah pemuda itu sadar bahwa yang ia saksikan oleh mata kepalanya saat itu merupakan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketikan Naskah Proklamasi Remaja Bogor
Suasana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 (Foto: Dok. Kemendikbud)
Pada hari proklamasi, 17 Agustus 1945, seorang siswa sekolah menengah di Jakarta bernama Abdul Madjid menerima secarik kertas yang ditulis dengan mesin tik, berisi naskah proklamasi. Ketika ia pulang ke rumahnya di Bogor, anak muda itu lantas langsung mengabarkan temuan tersebut pada kawan-kawannya. Pengalaman ini ia catat dalam buku Jembatan Antar Generasi; Pengalaman Murid SMT Djakarta 1942-1945.
Abdul dan kawan-kawannya kemudian berkumpul di Jalan Ciliwung 4, Bogor. Di sana mereka mengambil inisiatif untuk memperbanyak naskah itu menggunakan mesin tik yang dimiliki salah seorang dari mereka.
“Dengan mesin tik yang ada, kami perbanyak sedapat mungkin. Maklum tidak punya mesin stensil; mesin fotokopi belum ada,” kenang Abdul.
ADVERTISEMENT
Semua naskah hasil ketikan itu lalu mereka sebarkan ke berbagai penjuru Kota Bogor yang bisa mereka jangkau. Dengan begitu, ia berharap masyarakat Bogor mengetahui bahwa bangsa Indonesia sudah bangun berdaulat sejak hari itu.
“Kami yakin bahwa banyak orang yang belum tahu tentang detik sejarah yang maha-penting itu. Maklum semua radio disegel, sehingga rakyat hanya bisa mendengarkan siaran pemerintah Jepang saja,” kata dia.
“Mungkin kegiatan kami itu dinilai tidak seberapa, akan tetapi bagi kami, walaupun masih tergolong remaja waktu itu, merupakan sesuatu yang menunjukkan jiwa nasionalis dan patriotis yang sudah mulai tumbuh dalam diri kami,” imbuh Abdul.
Bantal Granat
Pawai menyambut Proklamasi Kemerdekaan RI. (Foto: perpusnas.go.id)
Dalam autobiografinya yang bertajuk Musim Berganti, Rosihan Anwar mengisahkan pengalaman uniknya ketika berada di sebuah kereta api dari Jakarta menuju Yogyakarta pada Juli 1946.
ADVERTISEMENT
Alkisah, pada zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, banyak prajurit tanah air yang ikut dalam kereta yang ditumpangi Rosihan.
Perjalanan jauh itu membuat Rosihan mengantuk. Namun, tidur dalam keadaan duduk apalagi penuh sesak rasanya bukan pilihan yang tepat untuk dilakukan. Kemudian, sebuah ide menyatroni Rosihan yang kepingin sekali tidur.
“Bagaimana kalau saya tidur saja di atas rak barang?” kata dia dalam hati.
Tak lagi berpikir panjang, ia pun naik ke atas rak barang dan merebahkan tubuhnya yang kurus di tempat itu. Seperti dugaannya, rak itu terasa pas dan cukup nyaman untuk menjadi kasur.
“Tetapi saya perlu bantal untuk sandaran kepala. Dekat saya ada sebuah besek. Saya tarik ke tempat saya, lalu saya letakkan kepala di atas besek. Maka, berfungsilah dia sebagai bantal,” tulis Rosihan dalam memoarnya.
ADVERTISEMENT
Setelah mengatur posisi senyaman mungkin, tidurlah Rosihan di atas rak barang itu. Ia lalu terbangun di pagi hari ketika cahaya matahari menyelinap ke dalam dari celah-celah.
Tidur semalaman mengembalikan kesegaran badannya. Rosihan lalu turun dari rak itu dan duduk di sebuah bangku. Saat itulah seorang penumpang tersenyum dan mengajaknya ngobrol.
“Bisa tidur?” tanya orang itu. “Nyenyak,” balas wartawan kenamaan itu. “Beruntung,” timpal lawan bicaranya.
“Habis, ada bantal, ada guling. Bantalnya? Itu besek, eh, besek siapa itu?” tanya Rosihan yang penasaran siapa gerangan pemilik besek yang ia jadikan bantal.
“Punya kami,” jawab seorang anggota Laskar Rakyat. “Apa isinya, ya?” tanya Rosihan yang saat itu berusia 23 tahun.
“Sedikit pakaian dalam, tetapi di bawahnya ada granat,” sahut mereka.
ADVERTISEMENT
“Granaaatt...?” tukas Rosihan dengan mata terbelalak.
“Ya, granat kami,” sahut salah satu dari mereka dengan tenang.
Anggota Laskar Rakyat itu pun tertawa melihat ekspresi Rosihan. Bagi mereka, sudah biasa dalam zaman mempertahankan kemerdekaan itu para pasukan rakyat membawa dan menaruh perlengkapan persenjataan seperti itu.
“Saya hanya terpikir andai kata salah satu granat itu terlepas pinnya, maka pasti benak saya menjadi bubur bertebaran dan saya kebali ke hadirat ilahi,” tutup Rosihan mengenang peristiwa yang menyembunyikan kengerian itu.
Coretan usai Proklamasi: WE ARE A FREE NATION. (Foto: Kemdikbud)
Masa itu, periode sulit rakyat Indonesia, memang sungguh tak dapat dibandingkan dengan kenyamanan masa kini. Selayaknyalah kita yang hidup pada zaman ini dapat menghargai perjuangan pendahulu bangsa, tanpa kehilangan nalar kritis.
Untuk anda yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkungan sekitar, sila berbagi cerita via akun kumparan.
ADVERTISEMENT
Jika belum punya akun kumparan, bisa buat dengan mudah. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.