LBH Jakarta dan Kaum Pengacara “Kere”

14 Desember 2017 16:59 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tinggalkan dulu kesan parlente anda terhadap pengacara. Sebab, tak semua pengacara kaum jetset dengan barang-barang mahal melekat di tubuh, bayaran tinggi, dan kantor mewah. Mari tengok para pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
ADVERTISEMENT
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menerima kami di kantornya, Gedung LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, saat matahari baru naik sepenggalah, Rabu (6/12).
Muncul perasaan akrab ketika kami memasuki ruang kerjanya, lantaran ruangan itu tampak tak jauh berbeda dengan ruang kantor karyawan umumnya, pun meski Alghiffari berstatus sebagai direktur.
Tak ada kemewahan materiil di ruangan itu kecuali lukisan-lukisan bernuansa pembelaan atas hak asasi manusia.
“Ini lukisan-lukisan semua diberikan oleh seniman-seniman yang mendukung kami,” ujar Alghiffari sambil menghampiri salah satu lukisan.
Pada bagian dinding lainnya, terpampang foto-foto Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas diterjang peluru aparat pada Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
ADVERTISEMENT
Di meja kerja Alghiffari, tampak kertas dan buku-buku bertumpuk. Aktivitas sebagai Direktur LBH Jakarta membuat dia selalu bersibuk masyuk dengan perkara hukum dan HAM. Sehari sebelum kami bertamu, ia baru kembali dari Thailand untuk urusan serupa.
“LBH Jakarta setiap akhir tahun, Desember, merilis laporan atau catatan akhir tahun kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik. Karena lembaga ini juga dibiayai oleh masyarakat dan sebagian dana APBN,” kata Alghiffari soal kesibukannya saat itu.
LBH Jakarta melahirkan para pengacara ternama. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
LBH Jakarta didirikan atas gagasan yang disampaikan pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III tahun 1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang berisi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku 28 Oktober 1970.
ADVERTISEMENT
LBH Jakarta dikenal sebagai lembaga penting bagi gerakan pro-demokrasi. Identitas itu bukan turun dari langit sebagai anugerah, melainkan dibangun internal secara organisatoris dan dari dalam pikiran orang-orang yang bernaung di bawahnya.
Lembaga ini, menurut Alghiffari, merupakan sebuah instansi yang demokratis dan egaliter, di mana semua keputusan penting dibicarakan bersama, secara kolektif, pada rapat umum, rapat kerja, maupun di antara jajaran pimpinan.
Tak ada satu orang pun yang berhak menjadi decision maker, termasuk direktur.
Sejak didirikan, LBH Jakarta bertujuan untuk memberikan bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya. Lebih lugas dapat dikatakan, bahwa LBH Jakarta identik sebagai lembaga bantuan hukum untuk rakyat miskin.
Oleh karena itu, para pengacara di sana, menurut Alghiffari, lebih menyebut dirinya sebagai pengabdi bantuan hukum (public interest lawyer) atau pengacara publik.
ADVERTISEMENT
“Kami masuk ke LBH Jakarta ini semua sepakat, bahwa jika pun tidak digaji, jika pun lembaga ini tidak ada uang, kami tetap mengabdi di lembaga ini. Kalau pun ada kondisi keuangan sulit, beberapa tahun lalu kami tidak digaji, ya tidak masalah. Itu tinggal komitmen personal setiap orang di sini dan kesepakatan bersama,” kata dia dengan air muka tegas.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Kesediaan bekerja dengan konsekuensi tersebut melahirkan guyonan yang akrab di antara orang-orang yang bekerja di LBH: pengacara kok kere?
Padahal, profesi pengacara dalam pandangan yang jamak di masyarakat hampir selalu dilekatkan dengan kekayaan dan kemewahan.
Pertentangan-pertentangan dari keluarga para pengacara yang bekerja di LBH Jakarta terutama dirasakan oleh mereka yang memang kondisi finansialnya pas-pasan.
ADVERTISEMENT
Ada pula guyonan yang menyebut para pengacara di LBH Jakarta sebagai pengacara komunis. Sebab, kata Alghiffari, hanya orang miskin yang dibantu. Sampai-sampai seorang pengacara diputus hubungan dengan kekasihnya, selain karena tidak punya penghasilan banyak, juga karena isu-isu sensitif yang ditangani.
“Itu jokes di keluarga yang lucu tapi serius. (Tapi) yang paling penting adalah cita-cita sosial kami itu apa. Kalau cita-cita sosial kami untuk keadilan, ya berbagai macam soal finansial, soal kehidupan yang sederhana, itu tidak ada masalah,” kata pengacara muda 31 tahun itu.
Bukan berarti para pengacara dan pekerja lain di LBH Jakarta tak mendapatkan upah. Mereka tetap beroleh upah sedikit di atas Upah Minimum Provinsi. Tetapi upah itu, kata Alghiffari, tidak membuat mereka ketergantungan. Artinya, jika sewaktu-waktu LBH Jakarta tak memiliki modal finansial, mereka siap untuk bekerja tanpa upah.
ADVERTISEMENT
LBH Jakarta memiliki batasan waktu 8 tahun untuk pengacara publik yang bekerja dan mengabdi di sana. Cara itu dilakukan untuk mempertahankan regenerasi para pengacara. Jadi, tak mengherankan lembaga itu lebih banyak dihidupkan oleh anak-anak muda.
Pemutaran Film W di LBH Jakarta (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
Kawah Candradimuka
Umumnya, pengacara akan bekerja sendirian dalam menyelesaikan suatu perkara ketika dia dan klien sudah sepakat soal pembayaran. Hal ini merupakan salah satu hal yang membedakan para pengacara LBH Jakarta dan pengacara kebanyakan.
Pengacara di LBH Jakarta akan memberikan pendampingan untuk klien, dari awal hingga akhir perkara. Klien mereka justru diberdayakan, sehingga perkara hukum yang dihadapi bukan cuma dipahami oleh si pengacara, tetapi juga klien. Seolah klien itu sendiri yang membela diri di ranah hukum. Cara demikian membuat si pengacara berposisi sebagai ghost lawyer.
ADVERTISEMENT
“Jadi ketika ada kasus, kami dorong klien untuk maju sendiri, tapi kami temani. Kita ajarkan dengan baik mengenai hukum dan proses hukum acara. Dan banyak kasus yang ghost lawyer menangi,” ujar laki-laki lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Dengan cara demikian, profesi sebagai pengabdi bantuan hukum melampaui metode charity. Pemahaman soal hukum tak lagi jadi barang istimewa untuk para pengacara atau sarjana hukum saja. Efeknya kemudian, masyarakat yang sudah sadar hukum bisa menjadi bagian dari agen yang ikut memperbaiki wajah hukum di sekitarnya.
Tujuannya, masyarakat dapat mengubah atau mendorong kebijakan dan budaya hukum yang lebih adil. Ini disebut dengan bantuan hukum struktural.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Perkara yang ditangani pengacara LBH Jakarta hanya yang terkait kepentingan publik. Kasus-kasus seperti perdata yang bersifat komersial, bisnis, atau perceraian, hanya akan diberikan konsultasi.
ADVERTISEMENT
LBH Jakarta memiliki cara sendiri untuk menempa pendirian para pengacaranya dalam membela perkara-perkara sosial berdimensi publik. Melalui Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) LBH Jakarta, para pengacara dilatih bukan saja tentang hukum, melainkan juga beragam pengetahuan lintas-disiplin terkait keadilan.
“Kami punya sistem pelatihan level pertama, yaitu Kalabahu. Sebelum Kalabahu, ada tes. Kemudian setelah Kalabahu ada tes lagi, lalu investigasi, TOEFL, psikotes, tes tertulis, wawancara, baru jadi pengacara publik,” kata Alghiffari.
“Tapi yang mengubah banyak pengacara menurut saya adalah ketika kami setiap hari melihat problem ketidakadilan. Ketika setiap hari menemui orang miskin ataupun orang-orang yang dilanggar haknya tanpa ada jalan atau harapan lain. Saya rasa itu yang kemudian membuat kami berubah dan mau terus memperbaiki diri serta mengembangkan kapasitas untuk melayani lebih baik,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sejak didirikan sampai saat ini, LBH Jakarta sudah 38 kali menggelar Kalabahu. Konsep pelatihan itu bahkan sudah diadopsi oleh lembaga bantuan hukum lain di Indonesia, pun oleh lembaga bantuan hukum di Pattani, Thailand, dengan nama Kalamerakyat.
Metode kerja seorang pengacara selama berkantor di LBH Jakarta terbilang padat dibanding lembaga bantuan hukum lain. Pelatihan dan cara kerja itulah yang melahirkan pengacara-pengacara ternama di Indonesia. Sebut saja almarhum Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, dan Hotma Sitompul.
“Kami menghadapi ribuan masalah. Ketika sudah selesai dari LBH Jakarta, menurut saya pekerjaan lain lebih enteng. Itu pengakuan alumni-alumni ketika selesai dari LBH Jakarta ya, ‘gua cuma menangani 1, 2, 3 kasus sudah dapat duit banyak, selesai’. Di sini dia menangani 30 sampai 40 kasus setahun. Itu untuk kasus hak asasi manusia saja. Belum lagi konsultasi hukum yang puluhan sampai 100 kasus per orang,” ujar Alghiffari.
Kegiatan diskusi di LBH Jakarta (Foto: Dok. @LBH_Jakarta)
Salah satu alumnus LBH Jakarta, Todung Mulya Lubis, mengamini peran penting LBH Jakarta dalam mencetak pengacara-pengacara. Ia mengatakan, “LBH Jakarta itu tempat kami menajamkan kepekaan, sensibilitas, dan komitmen terhadap nasib mereka yang ditindas. Saya berutang banyak dari LBH Jakarta soal itu. Karena itu ketika saya menjadi advokat profesional seperti ini, saya tidak semata-mata mencari uang. Saya juga mencari uang dan keadilan,” ujar Todung.
ADVERTISEMENT
Tak jarang para pengacara LBH Jakarta berselisih pendapat dengan alumninya, bahkan menjadi lawan di pengadilan ketika menangani suatu perkara. Ada pula alumni yang ketika selesai bertugas kemudian menjadi pengacara profit, melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka pegang sebelumnya di LBH Jakarta.
Yang unik, menurut Alghiffari, para pengacara LBH Jakarta justru lebih bersemangat ketika menangani suatu perkara di mana mereka menjadi lawan dari alumninya di persidangan.
“Bang Buyung dan law firm-nya menjadi lawan kami untuk kasus Kendeng. Kami bilang ini melanggar hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya) loh, melanggar hak asasi manusia, kehidupan para petani, dan mengganggu cadangan air di Jawa. Tapi atas nama profesionalitas ya kantor Bang Buyung mendampingi,” ujar Alghiffari, tersenyum kecil.
LBH Jakarta juga menjadi ruang bagi warga Kendeng. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Tak Populis hingga Cap Komunis
ADVERTISEMENT
Kebanyakan perkara yang ditangani para pengacara di LBH Jakarta memang tak populis, tak banyak mendapat sorotan media, dan karenanya luput dari pantauan masyarakat luas. Namun, bukan berarti perkara-perkara itu sepele. Sebaliknya, justru sangat bersentuhan dengan hajat hidup masyarakat.
Misalnya, perkara mengenai hak atas air bersih di Jakarta yang diadvokasi oleh LBH Jakarta hingga akhirnya pada Oktober 2017 berhasil dimenangi ketika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi 12 aktivis dan warga Jakarta soal hak atas air bersih di Jakarta.
“Mahkamah Agung mengatakan privatisasi air melanggar hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Alghiffari.
Menangani perkara-perkara tak populer dan cenderung sensitif mengundang banyak stigma terhadap LBH Jakarta. Selain dua kasus itu, sebut saja misalnya perkara menuntut keadilan bagi Ahmadiyah, para penyintas tragedi 1965, kelompok LGBT, hingga kelompok Aksi 212.
ADVERTISEMENT
“Ketika kami membela kelompok 212 yang dilarang beraksi tahun lalu, kami mengeluarkan rilis bahwa mereka punya hak untuk menyatakan pendapat, terlepas dari kami tidak setuju dengan konten yang mereka demonstrasikan. Ketika LBH Jakarta menolak Perppu Ormas yang melanggar banyak ketentuan hak asasi manusia, kami dituduh mendukung fudamentalisme agama atau radikalisme,” kata Alghiffari.
“Ketika kami membela korban-korban pelanggaran HAM yang dituduh komunis ataupun lekat dengan stigma komunis, kami dituduh komunis. Ketika kami membela kelompok minoritas dengan orientasi seksual berbeda, kami dituduh pembela LGBT atau dituduh LGBT atau tempat ini (LBH) dituding tempatnya LGBT,” ujarnya.
Bagi Alghiffari, semua tuduhan itu merupakan hal biasa dan konsekuensi logis karena LBH selalu berupaya berdiri di tengah-tengah menjaga objektifitas dan setia kepada nilai-nilai hak asasi manusia. Tak ada keistimewaan kepada kelompok kanan ataupun kiri. Siapapun yang tak sesuai dengan prinsip HAM dalam pandangan LBH Jakarta, patut untuk dikritik.
Pernyataan dukungan buruh kepada LBH Jakarta. (Foto: Wahyuni Sahara/kumparan)
Seperti pohon oak yang diterpa angin, LBH Jakarta tetap teguh berdiri pada prinsipnya. Persentuhan dengan isu-isu sensitif tak serta-merta membuatnya memiliki banyak musuh. Ketika gedung mereka digeruduk oleh sekelompok massa dan ormas tertentu pada September lalu, ada pihak-pihak yang berdiri membela LBH Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pemuda Muhammadiyah dan buruh dari 5 konfederasi besar mendukung dan menjaga gedung LBH Jakarta selama satu minggu. Penggalangan dana untuk memperbaiki kerusakan terkumpul Rp 48 juta hanya dalam waktu dua hari.
“Kami merasa ada banyak orang yang betul-betul tahu bahwa kerja-kerja LBH Jakarta adalah kerja-kerja kemanusiaan dan HAM. Sehingga ketika kami tidak populis membela korban yang dituduh komunis atau membela korban yang dituduh kelompok ekstrem agama, ada semacam dukungan juga. LBH Jakarta tetap pada posisi netral dan objektif, setia pada hak asasi manusia,” tegas Alghiffari.
Lantas bagaimana pengacara LBH Jakarta mengartikulasikan keberhasilan?
Alghiffari menjawab, pengacara LBH Jakarta merasa berhasil ketika, “ada sebuah kebijakan yang berubah karena advokasinya; ketika ada kasus masyarakat miskin atau kasus HAM yang dimenangi dan mengubah tidak hanya nasib klien, tetapi juga nasib orang lain yang terkait dalam kasus tersebut; ketika pengabdi bantuan hukumnya bisa memberdayakan pencari keadilan.”
ADVERTISEMENT
Bagi mereka, sudah jelas, harta bukan segala.