news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengapa Seorang Ilmuwan Berbohong?

8 Oktober 2017 20:16 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dwi dan proyek roket militer Belanda TARAV7s (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi dan proyek roket militer Belanda TARAV7s (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
ADVERTISEMENT
Mungkin sekali setiap orang yang lahir di muka bumi pernah, dan atau masih, serta akan berbohong. Kehidupan--pelik maupun sederhana--selalu tak dapat diperhitungkan secara pasti, dan manusia merupakan makhluk eklektik yang senantiasa berupaya mencari cara terbaik untuk menjalani hidup--terkadang cara terbaik serupa dengan cara termudah.
ADVERTISEMENT
Rumus itu, sederhananya, membuka jalan bagi setiap orang untuk berlaku bohong. Semua orang secara sadar mampu berpikir, berkata atau bertindak tidak jujur, tanpa kecuali--pemilik warung kopi sampai pejabat negara, atau orang yang sedikit ilmu sampai ilmuwan dengan seabrek pengetahuan.
Namun, apa yang membuat kebohongan Dwi Hartanto menjadi pembicaraan publik sebetulnya bukan cuma tentang ketidak-jujuran yang ia pertontonkan. Tetapi karena pribadi Mahasiswa S3 Technise Universiteit Delft itu yang sudah terlanjur dikenal publik sebagai orang berilmu alias ilmuwan. Apalagi dengan sejumlah cerita mentereng yang pernah ia sampaikan pada media.
Ilmuwan--dalam pandangan masyarakat umumnya--sudah diglorifikasi sebagai orang-orang yang dipercaya atas ucapannya dan bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, ilmuwan sebagai pihak yang memproduksi ilmu pengetahuan mestinya bisa dipercaya. Sebagaimana orang-orang mempercayakan hasil pekerjaan mereka untuk hidup keseharian.
ADVERTISEMENT
Misalnya, bagaimana mungkin kita menggunakan laptop untuk bekerja setiap hari tanpa merasa ada bahaya bahwa benda itu bakalan meledak tiba-tiba dan mencelakai kita? Itu karena kita sudah menyerahkan kepercayaan pada ilmuwan-ilmuwan yang membuat benda itu dengan presisi keamanan yang ketat untuk melunaskan pekerjaan kita.
Hal itu semata-mata karena disampaikan oleh ilmuwan. Kita percaya bahwa para ilmuwan itu yang memiliki performa atau otoritas untuk mengatakan hal tersebut. Sehingga kita mempercayakan bukan hanya kecerdasannya, melainkan juga maksud baik mereka.
Ilustrasi uji lab (Foto: DarkoStojanovic)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uji lab (Foto: DarkoStojanovic)
Dalam sebuah artikel berjudul “Why Scientists Lie and What to Do about It” yang dimuat American Thinker, disebutkan setidaknya ada lima alasan seorang ilmuwan berbohong tentang apa yang dikerjakannya.
Alasan pertama barangkali yang paling jamak dilakukan dan umum diketahui banyak orang, yakni keuntungan. Kebohongan ini dilakukan murni karena si ilmuwan ingin meraup keuntungan. Menurut sebuah survei disebutkan, bahwa kebanyakan para ilmuwan yang melakukan kebohongan untuk alasan ini merupakan ilmuwan-ilmuwan yang hasil penelitiannya memiliki kepentingan bisnis yang besar.
ADVERTISEMENT
Besarnya modal yang diperlukan untuk keperluan penelitian dapat membuat seorang ilmuwan terpeleset pada motivasi mencari keuntungan.
Kemudian alasan yang kedua adalah karena kemalasan dan ingin serba mudah. Ada kecenderungan para ilmuwan bandel hanya ingin membuat semua penelitiannya berjalan mudah hanya dengan memasukkan data-data yang belum sepenuhnya melalui metode ketat. Daripada melakukan semua pengukuran yang membosankan.
Sayangnya, dalam kasus-kasus tertentu, jarang sekali ada orang yang mempertanyakan hal tersebut. Entah karena kredibilitas si ilmuwan yang sudah mantap di mata orang banyak atau pun karena memang hal itu luput dari benak.
Tekanan karier menjadi alasan ketiga seorang ilmuwan berbohong. Alasan ini juga salah satu yang paling umum digunakan. Ketika data penelitian yang ditemukan tidak sesuai dengan harapan si ilmuwan, ia sengaja memanipulasinya. Ketidaksesuaian data itu dapat mengancam kesuksesan penelitiannya sebab berkaitan dengan ambisi memanjat karier atau kehilangan promosi, atau kehilangan dana hibah pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Ilmuwan, sebagaimana orang lain dari berbagai profesi, juga memiliki rasa haus akan pujian dan prestise. Mereka tidak suka dipaksa untuk mengakui kesalahannya. Dorongan itu membuat ia tidak menerima karya orang lain yang bertentangan dengan hasil dan sikapnya.
Untuk itu, ilmuwan tersebut akan bersedia memotong sudut pandang tertentu dari orang tersebut dan bahkan mencegah hasil ‘lawannya’ itu dipublikasikan. Ada persaingan dan kesombongan yang ingin dimenangkan. Ini merupakan alasan keempat seorang ilmuwan berbohong.
Alasan selanjutnya mungkin yang tak begitu kasat mata diketahui orang banyak. Ada kebohongan yang dilakukan oleh si ilmuwan atas dasar ideologi yang ia pegang. Pengetahuan yang ia produksi akan dimanipulasi sesuai dengan kepentingan ideologinya.
Dwi mengembangkan pengacak radar Typhoon (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi mengembangkan pengacak radar Typhoon (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
Sikap tidak jujur yang dilakukan seorang ilmuwan biasanya dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, dengan memalsukan atau memanipulasi bahan dan data penelitian, alat-alat yang digunakan, dan proses penelitian. Selain itu, bisa juga dengan cara menyembunyikan, yaitu menghilangkan, atau mengabaikan, atau mengerdilkan data yang bertentangan dengan kesimpulannya.
ADVERTISEMENT
Ada pula cara yang paling ekstrim, yakni dengan lebih dulu membentuk pernyataan atau ekstrapolasi yang tidak berdasar. Kemudian barulah ilmuwan tersebut memilih sumber dan data yang sesuai dengan pernyataannya.
Dalam sebuah survei yang dipetik dari artikel American Thinker tersebut, disebutkan bahwa setidaknya sebanyak 14 persen responden memiliki perilaku kerja membuat fabrikasi (pernyataan yang dibuat-buat), pemalsuan dan modifikasi data. Di samping itu, ada sekitar 72 persen responden yang memiliki kecenderungan untuk menentukan hasil penelitian berdasarkan emosi personal, mengubah metodologi, dan hasil penelitian karena tekanan sumber pendanaan.
Dilansir dari The Guardian dalam artikel “What Pushes Scientists to Lie? The Disturbing but Familiar Story of Haruko Obokata”, sebuah survei menemukan bahwa sekitar 2 persen ilmuwan benar-benar mengakui melakukan pemalsuan setidaknya satu kali dalam karier mereka. Lalu sebanyak 14 persen ilmuwan mengakui telah menyaksikan ilmuwan lain melakukan pemalsuan.
ADVERTISEMENT
Semua itu, kata John Rasko dan Carl Power--pengajar di Sydney Medical School dan peneliti di Centenary Institute dan University of Sydney--dalam artikel tersebut berawal dari adanya godaan untuk menyesuaikan ambisi dengan hasil penelitian yang tidak sesuai ambisi tersebut.
Bayangkan, tulis kedua orang itu menggambarkan, anda telah lama bertekur pada eksperimen penelitian anda. Anda tumbuh bersamanya, bereksperimen, dan menguji itu semua dengan berbagai cara. Semua itu anda lakukan dengan hipotesis tertentu berdasarkan firasat yang menggelayut dalam pikiran anda.
Dengan itu anda begitu berambisi membuktikan bahwa firasat andalah yang benar, bukan yang lain. Bahwa sudah banyak harta milik anda diinvestasikan untuk pekerjaan itu. Sebagian besar waktu dalam hidup pun sudah dihabiskan dalam ruang penelitian dengan pakaian khas anda saat bergumul dengan data-data di bawah kubang lampu neon.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu berjalan, tumbuh pula dalam diri anda perasaan untuk maju ke dalam persaingan yang kompetitif dan bergengsi, di mana peluang untuk menjadi paling hebat di antara rekan seprofesi terbuka lebar. Namun kemudian sampai akhirnya anda menemukan bahwa hasil penelitian anda tidak seusai dan mengecewakan.
Anda memperhatikan bagaimana data-data itu bicara pada anda. Bersamaan dengan itu anda menemukan adanya celah untuk memperbaikinya hanya dengan sedikit menggeser suatu data atau titik pada grafik atau gambar dalam lembar penelitian anda. Tapi begitu anda mulai mengutak-atik data itu, sulit untuk berhenti.
Sebagian, itu karena anda telah berpengalaman melakukan pengujian dan menemukan betapa mudahnya menipu rekan anda. Sebagian juga, anda telah menikmati kekaguman yang mereka lontarkan dan tentu saja peluang untuk dipublikasikan, dipromosikan dan didanai.
ADVERTISEMENT
Sampai di titik itu mungkin anda menikmati risikonya. Tetapi keadaan semakin rumit. Anda kian sukses, lalu diharapkan untuk membangun kesuksesan masa lalu, yang berarti menambahkan fiksi pada fiksi sambil memastikan bahwa keseluruhan narasinya sesuai dengan rapi.
Dan saat proyek penelitan anda berkembang, akan ada lebih banyak orang yang naik ke ‘kapal’, dan anda harus mengatur kontribusi mereka dan mendapatkan persepsi mereka tentang apa yang sedang terjadi.
Keuntungannya adalah reputasi baik yang mereka miliki akan menambah kredibilitas anda di mata publik. Namun, bersamaan dengan itu akan ada lebih banyak mata yang mengintip dari balik bahu anda. Semua yang pernah anda kerjakan akan ditelusuri dan ditinjau ketepatannya.
Dwi Hartanto (Foto: Dwi Hartanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Hartanto (Foto: Dwi Hartanto)
Sebagian dari uraian itu kurang lebih menggambarkan tentang yang terjadi dalam kasus Dwi. Karena capaian-capaiannya, beberapa alumni dan teman seangkatan Dwi dibuat takjub, bangga sekaligus heran.
ADVERTISEMENT
Investigasi terhadap Dwi pun diam-diam mulai dilakukan oleh alumni, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan PPI. Sampai akhirnya diperoleh dokumen sebanyak 33 halaman berisi foto-foto aktivitas Dwi Hartanto, disertai link ke berbagai media nasional, termasuk link video wawancara Mata Najwa lengkap dengan transkrip wawancaranya.
Ditambah dengan data-data dari halaman Facebook-nya, dan didukung korespondensi email dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim oleh Dwi Hartanto. Terbongkarlah semua kebohongan si ilmuwan yang sempat disebut sebagai pewaris BJ. Habibie itu.