Menguji Asumsi Negatif Dinasti Politik

15 Februari 2018 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pada 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang oleh sebagian pihak dianggap memiliki semangat untuk memotong rantai dinasti politik di daerah itu kemudian dihilangkan. Pasal tersebut berbunyi:
ADVERTISEMENT
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dalam bagian penjelasan Pasal 7 huruf r, dijelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan ‘tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana’ adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Gugatan itu diajukan oleh anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan. Saat itu, Adnan adalah anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo yang tengah menjalani proses pencalonan sebagai Bupati Gowa dari Partai Golkar.
ADVERTISEMENT
Sejak keputusan itu diambil, MK kerap dituding telah melanggengkan dinasti politik. Sementara asumsi umum menyebut dinasti politik adalah praktik politik-pemerintahan yang tidak demokratis dan cenderung korup.
Bagi Hakim MK Arief Hidayat saat itu, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Pasal 7 huruf r itu juga dianggap “bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujar Arief membacakan amar putusan di Gedung MK, 8 Juli 2015.
Sampai saat ini, sebagian pihak sangat menyayangkan penghapusan pasal tersebut, sedangkan sebagian lainnya menilai keputusan MK sudah tepat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, keberadaan dinasti politik pun masih mengundang perdebatan. Asumsi-asumsi negatif terhadapnya masih terus diuji pembuktiannya.
Hukum dan Dinasti Politik (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Equality Before the Law?
Ahli hukum tata negara Refly Harun berpendapat, keputusan MK tersebut dapat dibenarkan. Ia memandang pencalonan seseorang yang memiliki hubungan darah dengan petahana tidak dapat dibatalkan hak politik, sebab itu kodrat kemanusiaan yang tak mungkin bisa dihindari. Seseorang tidak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan.
“Kalau melarang anak, ayah, istri, atau saudara-saudara untuk kemudian maju dalam pilkada hanya karena terikat hubungan darah atau perkawinan, maka hal tersebut menjadi tidak fair. Karena tentu saya tidak bisa menolak lahir dari ibu siapa atau ayah siapa,” kata Refly kepada kumparan, Selasa (6/2).
ADVERTISEMENT
“Sehingga putusan MK itu saya termasuk yang menyetujuinya, karena harus berlaku prinsip equality before the law. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dengan hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.”
Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara (Foto: Tommy Wahyu Utomo/kumparan)
Persoalan sebenarnya dalam dinasti politik, menurutnya, bukan terletak pada pembatasan hak politik seseorang yang memiliki hubungan darah dengan petahana. Melainkan adalah pertama, apakah orang yang memiliki hubungan darah tersebut telah melalui sebuah proses nominasi yang benar dalam arti demokratis.
Kedua, orang yang dicalonkan itu mesti diuji kemampuan dan pengalamannya. Artinya, seorang calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik tidak serta-merta dapat disimpulkan sebagai kegagalan partai politik mendorong meritokrasi.
Jadi, menurut Refly, tidak ada yang salah dengan calon yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana, selama orang yang dicalonkan sebagai kepala daerah itu tidak “asal comot”, tetapi melalui proses uji pencalonan selaiknya. Masalahnya, sering kali nominasi pencalonan kepala daerah tidak dilakukan dengan demokratis.
ADVERTISEMENT
“Oligarki partai itu terlalu besar, bahkan kadang-kadang cenderung one man show. Coba kita lihat partai mana yang kemudian tidak one man show. Hampir semua partai politik itu calon-calon itu ditentukan oleh satu orang saja,” kata penerima gelar Lex Legibus Master (hukum) Universitas Notre Dame AS itu.
Sehingga, sambungnya, tidak ada proses demokratisasi. Akibatnya, “Tidak ada saringan yang cukup, yang adekuat (memenuhi syarat), untuk kemudian merekrut calon-calon pemimpin di daerah. Termasuk misalnya kemampuan untuk memimpin daerah tersebut, seperti soal manajemen pemerintahan, APBD, perda, dan lain sebagainya.”
Di samping proses pencalonan di tingkat partai, Refly mempersoalkan petahana yang memiliki peluang untuk melanggengkan kekuasaan dinasti.
Praktik dinasti politik kerap justru dilanggengkan oleh petahana yang menggunakan kekuasaannya untuk mendorong orang yang berasal dari hubungan darah agar menjadi calon kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang ini, Pasal 7 huruf r tersebut tampak kurang tepat. Sebab aturan seharusnya ditujukan kepada kepala daerah yang sedang menjabat agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan mendorong dinasti politik. Setidaknya argumen itu juga yang digunakan oleh Hakim MK Arief Hidayat untuk menerima gugatan.
“Kadang-kadang petahana sengaja mendorong putranya, anaknya, bahkan istrinya, untuk menjadi calon. Karena barangkali begitu enaknya jabatan tersebut. Bisa juga (keluarganya mau) karena dia ingin melindungi apa yang sudah dilakukan orang tuanya. Tapi dalam perspektif positif, bisa saja karena ingin meneruskan apa yang sudah dibangun dan dirintis orang tuanya,” ujar Refly.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Andreas Pareira berpendapat, soal dinasti politik tak relevan lagi dalam alam demokrasi di Indonesia saat ini.
“Dinasti tidak berlaku dalam sistem demokrasi terbuka seperti di Indonesia. Paradigma demokrasi dan paradigma dinasti itu bertentangan, karena rakyat yang memilih pemimpinnya. Kalaupun muncul orang-orang yang dari satu lingkungan keluarga, sah-sah saja. Kalau rakyat menghendaki mereka dan memilih mereka, salahkah?”
Berbeda dengan Refly, aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch Donal Fariz tegas tidak menerima alasan MK mengabulkan permohonan judicial review pasal tersebut. Ia bahkan menyebut putusan itu sebagai yang terburuk sepanjang sejarah keberadaan MK.
Ketika regulasi soal politik dinasti berhasil dibuat oleh DPR dan pemerintah, MK yang bukan terdiri dari orang partai politik justru dianggap menguntungkan partai politik.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang politik yang terdiri dari pemerintah dan DPR sudah naik level, mau menyetop orang-orang yang lahir dari dinasti politik. Tetapi kenapa Mahkamah Konstitusi yang bukan orang partai politik justru kenegarawanannya direndahkan gara-gara menerima permohonan (uji materi) ini,” ujar Donal, Kamis (8/2).
Donal Fariz, Aktivis ICW (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Walaupun sebenarnya pasal untuk membatasi dinasti itu hanya berlaku satu periode, saat seseorang dari dinasti politik sudah melalui dua periode secara berturut-turut, maka tidak boleh orang yang memiliki hubungan keluarga perkawinan dicalonkan. Orang tersebut harus menunggu satu periode pemilu lagi.
“Fenomenanya, bila suami habis masa jabatan, istri yang melanjutkan. Maka ketika MK mengabaikan fenomena yang terjadi di masyarakat, tidak melihat bagaimana law and action hukumnya yang bekerja di masyarakat, itu juga menjadi masalah. Karena MK tidak sensitif untuk melihat problem-problem demokrasi yang terjadi dengan munculnya dinasti politik ini.”
ADVERTISEMENT
Menurut Donal, selama ini realitas menunjukkan keberadaan dinasti politik semakin memicu terjadinya praktik korupsi di tingkat daerah. Itu alasan utama kekecewaan Donal terhadap putusan MK. Di Indonesia saat ini, ujarnya, dinasti politik tidak boleh diberi napas.
Apakah terbuka kemungkinan untuk tak lagi mempersoalkan dinasti politik di kemudian hari?
Jawabannya, bagi Donal, dinasti politik baru dapat diterima jika memenuhi dua syarat. Pertama, partai memiliki mekanisme yang baik dalam mencalonkan kepala daerah. Kedua, kesadaran politik dan kecerdasan berdemokrasi masyarakat semakin bagus.
“Mekanismenya enggak jelas, tiba-tiba saja ketum memutuskan si A atau B atau C menjadi calon kepala daerah,” kata Donal. “Masyarakat juga masih apatis. Kadang-kadang tidak melihat program, tidak melihat visi misi, yang dilihat adalah berapa isi amplop yang diberikan oleh kandidat kepada mereka.”
ADVERTISEMENT
Penekanan serupa soal kesadaran politik juga disampaikan Bonnie Triyana. Ia menilai partisipasi politik kelas menengah perkotaan masih rendah, padahal kelas sosial tersebut memiliki kecerdasan berdemokrasi yang cukup tinggi. Sementara dalam masyarakat pedesaan masih melekat pandangan tradisional tentang pemimpin yang memiliki akar sejarahnya pada masa sebelum kemerdekaan.
“Di daerah-daerah pelosok itu pemilihnya masih tradisional. Pemilihnya tinggi karena mereka bisa dimobilisasi. Dan hubungan-hubungan yang dibangun antara pemilih dengan yang dipilih itu paternalistik, patrimonial. Money politic juga bermain di situ,” ujar Bonnie kepada kumparan, Rabu (7/2).
Korupsi, Bahaya Dinasti Politik. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Dinasti Politik Cenderung Korup?
Dalam rilis yang dikeluarkan ICW pada 11 Januari 2018 berjudul Outlook Korupsi Politik 2018: Ancaman Korupsi di Balik Pemilu Serentak, kata ‘dinasti’ disebutkan sebanyak tiga kali--satu kali dalam rumusan persoalan yang membayangi Pilkada 2018, dan dua kali dalam rekomendasi pemecahan masalah.
ADVERTISEMENT
Poin kedua dari rumusan persoalan dalam rilis tersebut menyebutkan, “Munculnya nama bermasalah (mantan narapidana atau tersangka korupsi) dan calon dengan dinasti.”
Kemudian dalam poin kedua dan kelima rekomendasi ICW, masing-masing menyebutkan:
“Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan KPK untuk memonitor penggunaan belanja bantuan sosial tingkat pusat dan daerah, khususnya daerah yang kepala daerah, dinasti, dan pejabatnya maju dalam pemilu” dan “KPK memonitor secara khusus daerah-daerah rawan dalam pemilu, khususnya daerah kaya sumber daya alam dan daerah dengan petahana atau dinasti maju dalam pilkada.”
Korupsi yang dilakukan kepala daerah memang bukan perkara kecil, sebab kasusnya terbilang masif. Misalnya dalam waktu 14 bulan terakhir (Januari 2017-Februari 2018), sebanyak 18 kepala daerah ditangkap oleh KPK, dengan nilai yang disuap mulai ratusan juta hingga ratusan miliar.
14 Bulan, 18 Kepala Daerah Ditangkap KPK (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Pada 2016, berdasarkan data ICW, terdapat 11 kepala daerah terlibat korupsi. Mundur lagi satu dekade ke belakang (2010-2015), data ICW atas penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum menunjukkan sedikitnya tercatat 183 kepala daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota menjadi tersangka korupsi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, menurut penuturan Donal Fariz, sedikitnya sudah ada 350 kepala daerah yang terkena kasus-kasus korupsi sejak 2004 sampai 2017.
Jika begitu banyak kepala daerah yang bukan bagian dari dinasti politik dapat terjerat kasus korupsi, maka dinasti politik mendapat perhatian khusus ICW karena dinilai cenderung membuka kemungkinan korupsi lebih besar.
Korupsi yang dilakukan kepala daerah dari dinasti politik bukan tidak terbukti. Misalnya, sejak otonomi daerah, sebanyak enam dari seluruh kepala daerah yang terjerat korupsi diketahui berkaitan dengan dinasti politik, yaitu:
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (2007-2017), Wali Kota Cimahi Atty Suharti (2012-2017), Bupati Klaten Sri Hartini (2016-2021), Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian (2013-2018), Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais (1999-2010), dan Bupati Bangkalan Fuad Amin (2003-2012).
ADVERTISEMENT
Ratu Atut merupakan bagian dari dinasti politik di Banten di mana suami, adik, anak, hingga menantunya menempati jabatan-jabatan publik, baik di kabupaten/kota maupun badan legislatif. Atty merupakan istri mantan wali kota Cimahi 2007-2012 Itoch Tohija.
Sementara Sri Hartini merupakan istri Bupati Klaten 2006-2016 Haryanto Wibowo, dan anaknya, Andy Purnomo, menjabat anggota DPRD Klaten 2014-2019.
Lalu Yan Anton adalah anak Bupati Banyuasin 2003-2013 Amiruddin Inoed. Syaukani Hasan Rais adalah bapak Bupati Kutai Kartanegara 2010-2021 Rita Widyasari. Terakhir, Fuad Amin adalah bapak Bupati Bangkalan 2013-2018 Makmun Ibnu Fuad.
ADVERTISEMENT
“Karena korupsi itu tidak hanya faktor individu. Faktor non-individu atau eksternal juga mempengaruhi, seperti keluarga, partai politik, dan masyarakat,” ujar Donal.
Ongkos politik yang mahal, dan upaya meningkatkan atau mempertahankan program-program populis yang membutuhkan biaya besar, merupakan faktor yang membuat kepala daerah dari dinasti politik lebih rawan korupsi. Sebab dinasti politik bertumpu pada jaringan orang-orang di jabatan formal maupun informal dan figurisasi.
“Kalau dia seorang anak dari keturunan dinasti politik, tentu ada bapaknya yang juga pernah menjadi kepala daerah. Dan jaringan-jaringan ini, atau orang-orang ini, punya intensi juga untuk mengurusi proyek-proyek negara,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Tidak ada pola baku dan determinan dalam praktik tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah yang berasal dari dinasti politik. Mulai dari menerima atau memberi suap, lelang jabatan, pengadaan barang dan jasa, hingga pungutan liar.
ADVERTISEMENT
Dari sejumlah kepala daerah terkait dinastik politik yang terjerat kasus korupsi tersebut, menurut Donal, sudah membuktikan teori yang menyebut bahwa dinasti politik sangat rentan terkena kasus-kasus korupsi.
Ragam Bentuk Dinasti Politik (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Sebuah pemerintahan yang mengandung warisan watak feodalisme, ujar sejarawan Bonnie Triyana, sudah pasti korupsi “ketika sebuah keluarga menurunkan kekuasaan secara turun-temurun.”
“Kemudian ditumpangkan ke demokrasi. Apalagi demokrasi kita sekarang demokrasi elektoral, artinya banyak-banyakan pemilih. Lalu dia berhasil kuasai sebuah daerah secara turun-temurun. Semakin absolut kekuasaannya, semakin ada kecenderungan untuk korupsi,” kata Bonnie.
Selalu ada orang-orang kuat di luar jabatan publik formal yang ingin cawe-cawe dengan pemerintahan yang menjalankan dinasti politik, dan ada kelompok-kelompok yang ingin hidup dari anggaran daerah.
Semua itu tentu saja, meminjam kalimat Refly, “tidak ada makan siang yang gratis dalam politik”.
ADVERTISEMENT
Potensi korupsi dinasti politik dapat diperhitungkan sejak pencalonan kepala daerah. Pengambilan keputusan untuk mencalonkan orang yang berasal dari dinasti politik biasanya cenderung dilakukan oleh elite partai.
Sebagai kandidat yang dalam bahasa Refly disebut “asal comot” dan “tidak jelas track record-nya”, biasanya akan muncul transaksi-transaksi dalam pengambilan keputusan tersebut. “Tidak tertutup kemungkinan--seperti yang kita dengar-- da mahar dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah,” kata Donal.
“Mahar itu tidak hanya (ditarik) kepada calon yang non-dinasti. Pada calon-calon yang dinasti politik, juga terjadi. Pada titik itu, kalau ada mahar politik dengan mengusung dinasti, maka sempurnalah sebuah korupsi pemilu,” imbuhnya.
Gurita Dinasti Politik di Daerah. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Di samping merekomendasikan Kemenkeu, Kemendagri, dan KPK untuk mengawasi daerah-daerah dalam pilkada yang terdapat dinasti politik, Donal berharap masyarakat dapat lebih diandalkan untuk melakukan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Walaupun, menurutnya, sangat disayangkan masyarakat masih terjebak sikap permisif. “Yang penting terima uangnya, orangnya terserah nanti pilih siapa.”
Masyarakat yang permisif dengan korupsi dan dinasti politik, membuat upaya untuk menghukum dinasti politik menemui kegagalan. Di sisi lain, sekali lagi, peran partai politik absen dalam upaya memutus dinasti politik.
“Kata kuncinya adalah dinasti politik tumbuh saat pragmatisme partai politik juga mewabah.”
Meski banyak kepala daerah dari dinasti politik yang terjerat korupsi, sejauh ini untuk mengatakan dinasti politik sudah pasti korupsi masih tetap menjadi hipotesis. Artinya, belum ada bukti untuk menyebut kedua hal itu sebagai dua sisi dari mata koin yang sama.
Refly membantah anggapan bahwa dinasti politik mendorong korupsi. Bagi dia, masalah utama yang mendorong perilaku korup adalah ongkos politik yang mahal. Mahalnya kursi kepala daerah satu garis lurus dengan mahar politik yang tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
“Walaupun Bawaslu sampai saat ini tidak pernah merekomendasikan sampai ke pengadilan untuk mengadili orang yang ditengarai melakukan praktik mahar politik tersebut, termasuk partai-partai politiknya. Yang terjadi seperti orang buang angin: baunya di mana-mana, tapi kita tidak tahu siapa orang yang buang angin tersebut,” kata Refly.
Menurutnya, bicara tentang korupsi dan dinasti politik adalah salah satu variabel. “Tetapi variabel yang kecil sekali, yang barangkali kausalitasnya agak sulit kita buktikan. Namun tingginya ongkos politik itu bisa kita pastikan, kita lihat, sebagai salah satu faktor determinan yang menyebabkan kepala-kepala daerah jatuh ke lembah korupsi.”
Itu faktor pertama, lalu faktor kedua? “Mereka yang sudah punya niat untuk korupsi”.
Ilustrasi korupsi (Foto: Thinkstock)
Di era demokrasi saat ini, ujar Refly, setiap warga negara memiliki hak-hak tertentu atau hak politik untuk berusaha menjadi kepala daerah, termasuk masyarakat yang bukan bagian dari partai politik, walaupun mungkin terbatas kemampuan pendanaan.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti baru ia anggap diskriminatif dan mengurangi hak-hak masyarakat jika secara langsung membatalkan hak masyarakat untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pilkada dan tidak menggunakan aturan main yang sama.
“Ini adalah sebuah lomba lari, lomba electoral contest, di mana semua peserta boleh berasal dari mana saja, termasuk satu peserta atau dua peserta yang berasal dari dinasti politik, tidak soal. Masalahnya adalah kalau aturan mainnya berbeda, baru kita bisa mengatakan (dinasti politik) bisa merugikan.”
Belum ada alat ukur tertentu yang dapat digunakan untuk membuat dalil: dinasti politik sudah pasti dan tentu merugikan masyarakat. Sehingga, menghilangkan hak politik seseorang yang memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan petahana--seperti bunyi Pasal 7 huruf r di atas--bukanlah jalan keluar.
ADVERTISEMENT
“Apakah kemudian kita melindungi satu orang untuk merugikan hak masyarakat? Pertanyaannya adalah hak masyarakat mana yang dirugikan? Tentu masyarakat akan rugi kalau kepala-kepala daerah tersebut tidak bekerja dengan baik. Tetapi itu sama sekali bukan kaitannya dengan dinasti politik. Karena dalam prinsip hukum berlaku azas equality before the law,” kata Refly.
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.