Menolak Lupa: 13 Tahun Munir Dibunuh

7 September 2017 14:54 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Munir Said Thalib (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Munir Said Thalib (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) untuk membuka dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir pada Selasa (5/9). Menurut MA, Kementerian Sekretariat Negara tidak berkewajiban menyimpan dokumen yang mereka terima, termasuk hasil rekomendasi TPF Munir.
ADVERTISEMENT
Keputusan yang tidak diharapkan oleh para aktivis hak asasi manusia (HAM) itu dikeluarkan hanya empat hari sebelum genap 13 tahun kematian Munir yang jatuh pada hari ini, Kamis (7/9).
Lagi-lagi publik dipaksa untuk tidak memercayai niat baik negara dalam menghormati HAM. Tapi negara pun mesti ingat bahwa Munir adalah ingatan “menolak lupa”.
“Menolak lupa”. Kalimat itu bagai teori yang merangkum proses persemaian gagasan penghargaan terhadap HAM melalui kematian seseorang.
Yang mati memang tidak dapat dibangunkan kembali. Tetapi yang mati itu membangunkan yang masih hidup untuk lebih dekat mencintai kehidupan dan kemanusiaan.
Itu yang terjadi setelah seorang Munir dimatikan dengan racun arsenik 13 tahun lalu tepat di tanggal ini, 7 September. Munir diracun di udara, jauh dari tanah air yang ia cinta. Namun keberaniannya menghambur dalam musim semi demokrasi di bumi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Poster wajah Munir kini seolah menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa yang terkesan suka membuat rakyatnya lupa tentang pelanggaran HAM oleh negara.
Poster Munir dalam aksi Kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Munir dalam aksi Kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Munir hadir pada waktu yang tepat ketika negara tengah dicengkeram kekuasaan kediktatoran. Ia meresapi benar apa arti penindasan, dengan secara langsung menjadi saksi dan korban tangan besi Orde Baru.
Cendekiawan Ahmad Syafii Maarif menyebut orang-orang Indonesia beruntung sempat memiliki Munir yang, dalam hidup singkatnya, singgah untuk membantu saat bangsa membutuhkannya.
“Di masa-masa mencekam saat rezim Orde Baru masih berkuasa, saat kebebasan dipasung dan segala aktivitas yang berseberangan dengan negara diawasi secara ketat, ia tak kenal takut untuk menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, serta kelompok-kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan,” tulis Syafii Maarif dalam kertas kerja yang dipublikasikan Kontras.
ADVERTISEMENT
Keresahan Munir Said Thalib---nama lengkap Munir--akan situasi Indonesia pada waktu itu, menurut Maarif, membuat Munir mampu melihat jernih persoalan demokrasi yang terbelenggu politik-kekerasan struktural dalam hubungan negara dan masyarakat.
Atas nama stabilitas dan pembangunan, rezim militeristik Soeharto saat itu tidak segan menghabisi orang-orang yang dianggap subversif. Teror, stigma komunis, pembunuhan, atau penghilangan paksa merupakan risiko yang mesti ditanggung Munir karena aktivitasnya yang berseberangan dengan rezim.
Tindakan perlawanan Munir terhadap rezim nyata betul, bukan hanya bersemayam dalam ide atau gagasan. Ia aktif melakukan advokasi untuk membantu memulihkan keadilan orang-orang yang dikenakan hukum kediktatoran negara.
Haris Azhar aksi kartu Pos Munir untuk presiden. (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf)
zoom-in-whitePerbesar
Haris Azhar aksi kartu Pos Munir untuk presiden. (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf)
Laki-laki kelahiran Malang, 8 Desember 1965, itu memang memiliki minat mendalam di bidang hukum. Ia memperoleh gelar sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ketekunan Munir terhadap persoalan hukum dan keadilan semakin dalam dengan bergabung menjadi pengacara di bawah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pada 1992.
ADVERTISEMENT
Dilansir Omah Munir, pengacara cum aktivis ini aktif membela buruh di Jawa Timur. Sepanjang kariernya di LBH Surabaya, ia menjalankan tugas sebagai Ketua LBH Surabaya Pos Malang, lalu menjadi Koordinator Divisi Hak Sipil dan Politik (1992-1993) dan Kepala Bidang Operasional (1993-1995) sebelum kemudian menjadi direktur LBH Semarang.
“Munir tumbuh dalam suasana dialektis perlawanan dan represi Orba. Dia memilih aktif di LBH, karena hendak membela rakyat yang hak-haknya dirampas dan dijerat hukum yang mengabdi pada kekuasaan. Menegakkan hukum, konstitusi dan HAM, menjadi tindakan politik sekaligus mendemokratiskan sistem yang otoriter. Itu sebabnya sosiolog James Petras mengatakan, perjuangan HAM di bawah rezim militer merupakan sebuah tindakan radikal,” tulis Wilson dilansir Indoprogress.
Banyak kasus hukum yang pernah diadvokasi oleh Munir. Mulai dari kasus pembunuhan Marsinah pada Mei 1993, pembunuhan tiga petani di Nipah Madura pada September di tahun yang sama, pembunuhan dan penghilangan paksa aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada 1997-1999, hingga terkait pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh dan Papua.
ADVERTISEMENT
Dalam mengadvokasi kasus Marsinah, seperti ditulis Wilson, Munir pertama kalinya dihadapkan langsung dengan pihak militer--lembaga tertinggi dalam negara militeristik. Kepada lembaga HAM internasional, ia menuntut tanggung jawab militer yang disebutnya sebagai pelaku utama pembunuhan Marsinah.
“Sebagai risiko dari aktivitasnya itu, Munir sempat ‘diculik’ ke kantor Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Timur, sebuah lembaga militer dengan kekuasaan yang tidak terbatas dan kebal hukum. Di tempat itu, Munir sempat diteror,” ujar Wilson.
Munir tak gentar dengan perlakuan keras militer. Dalam kasus-kasus hukum selanjutnya pun, Munir berhadap-hadapan langsung dengan mereka. Ia melakukan pembelaan kepada para aktivis yang diculik, dan berhasil membongkar keterlibatan Tim Mawar Kopassus selama masa mencekam reformasi menumbangkan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Tindakannya itu juga berhasil membuat sejumlah pejabat tinggi militer diberhentikan dan sejumlah aktor diadili.
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Syafii Maarif mengatakan, konsistensi dan persistensi merupakan dua tabiat yang tampak jelas dalam kepribadian seorang Munir. Karakter tersebut membuat Munir tak gentar dan setia melawan, meski ia tahu betul risiko perjuangannya.
Karena terkesan “selalu” menentang kebijakan pemerintah dan mengkritik institusi berpengaruh di Indonesia, Munir selalu hidup dalam bayang-bayang teror. Menurut Munir, teror yang ia terima ketika membongkar kasus orang hilang bersama KontraS masih terasa ringan jika dibandingkan dengan teror yang ia terima ketika mengadvokasi kasus Marsinah.
Munir meyakini dan mempraktikan bahwa untuk membangun negara yang bersandar pada nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, maka pertama-tama kekuasaan absolut militer harus dilepas. Politik-kekerasan mesti diubah menjadi politik-tukar pikiran.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan yang mendukung kekerasan, bagi Munir, mencerminkan kekuasaan yang korup.
“Yang kita perlu tumbuhkan adalah pertama, sistem bernegara yang berbasis kepada kedaulatan rakyat, di mana demokrasi yang berpijak pada humanitas menjadi standar kehidupan bernegara. Secara teknis bisa disebut multipartai, tapi itu tak penting karena yang diperlukan adalah berapa besar mekanisme sistem itu tadi mampu menghargai humanitas,” kata Munir pada Juli 1998, seperti dipetik Omah Munir.
“Humanitas itu tidak saja bebas dari kekerasan, berekspresi. Karena saya sangat yakin bahwa rezim yang cenderung menggunakan kekerasan adalah rezim yang korup, sebab kekerasan itu kaki lain dari korup. Jadi kalau negara cenderung menggunakan kekerasan berarti telah membuktikan dirinya sebagai rezim korup. Saya kira itu yang tak bisa dihilangkan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Munir berpendapat, militer tidak mungkin menjadikan dirinya otonom, mengambil keputusan politik atas dirinya sendiri. Ia meyakini militer tak boleh ikut terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Untuk itu Munir menolak ketika pada 2003-2004 muncul Pasal 19 RUU TNI tentang kewenangan Panglima TNI menggunakan kekuatan dalam keadaan mendesak.
Berdasarkan pasal “kudeta” itu, Panglima TNI dapat mengambil alih kewenangan mengerahkan kekuatan TNI, yang menurut UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, menjadi kewenangan Presiden bersama DPR.
Pasal itu memberi dasar bagi Panglima TNI untuk mengambil keputusan politik berdasarkan penilaian sepihaknya.
Dengan catatan pengalamannya berhadap-hadapan dengan militer, menurut Wilson, tidak heran jika Munir menjadi figur yang tak disukai oleh para jendral dan politisi konservatif.
Skenario pembunuhan Munir, yang diduga melibatkan petinggi Badan Intelijen Negara, patut diduga sebagai risiko yang disusun secara sistematis.
ADVERTISEMENT
Namun kebijaksanaan dan keadilan pikiran Munir bahkan dapat terlihat dalam pandangannya mengenai militer. Ia tidak menganggap militer sebagai aktor antagonis. Baginya, yang patut dimusuhi ialah tindakannya, bukan pelakunya.
Munir pernah memperjuangkan pasal mengenai kesejahteraan prajurit TNI. Pasal itu kemudian masuk ke dalam UU TNI sehingga dikenal dengan sebutan “Pasal Munir“.
Melalui pasal kesejahteraan prajurit itu, Munir ingin mewujudkan tentara yang profesional sehingga tidak melakukan pekerjaan lain di luar tugasnya sebagai tentara yang menjaga pertahanan negara.
Di saat reformasi bergulir dan banyak aktivis atau intelektual masuk ke dalam kantong kekuasaan, Munir tetap teguh pada jalannya memperjuangkan nasib orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan.
“Ada pelaku yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM mencoba merayu dan menawarkan almarhum (Munir) duduk di kursi parlemen. Almarhum menceritakan, dia diminta tak usah meributkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru, dengan iming-iming akan diberi kursi di DPR,” tulis Al Araf, karib Munir, pada 2013 seperti dimuat Imparsial.
ADVERTISEMENT
“Dengan terang-terangan, Munir menolak tawaran tersebut. Keyakinan untuk memuliakan kemanusiaan sepertinya telah menghilangkan rasa takut dalam dirinya, dan menghilangkan hasrat materi yang menggiurkan. Batas ketakutan dan material telah ditembusnya hanya karena keyakinannya untuk memperjuangkan penegakan HAM dan demi memajukan kemanusiaan. Dengan berkendara sepeda motor, Munir mengambil langkah-langkah pasti dalam memperjuangkan korban,” sambung Al Araf.
Bersama KontraS yang didirikan Maret 1998, Munir merumuskan tiga misi perjuangannya. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya HAM, khususnya menyangkut kebebasan dari kekerasan dan penghilangan orang.
Kedua, memperjuangkan hak-hak asasi, khususnya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan. Ketiga, mendukung perubahan yang konsisten dalam sistem hukum dan politik yang akan meningkatkan jaminan perlindungan dari penculikan/penghilangan paksa dan kekerasan.
ADVERTISEMENT