Panas Suhu Politik di Balik Perubahan Iklim Dunia

11 Juli 2017 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KTT G20 di Hamburg, Jerman. (Foto:  Laily Rachev - Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
KTT G20 di Hamburg, Jerman. (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
Kota Hamburg, Jerman, barangkali menjadi sebuah medan pertempuran yang begitu politis pada Jumat dan Sabtu lalu, 7-8 Juli 2017. Di kota pelabuhan itu, ratusan ribu orang menandaskan jangkar politiknya tepat ketika sejumlah elite dari dua puluh negara mengerjakan agenda mereka yang juga sangat politis: Konferensi Tingkat Tinggi G20.
ADVERTISEMENT
Sementara para elite tersebut berdiskusi dan mencoba melancarkan lobi-lobi di dalam ruangan, ratusan ribu orang berjuang dari jalanan.
Sepenggal lirik dari ‘Ballad of A Politician’ karangan Regina Spektor rasanya dengan lugas menggambarkan apa yang terjadi ketika para elite berkumpul di sebuah ruangan.
“A man inside the room is shaking hands with other men. This is how it happens, our world under command.”
Demo Anti G20. (Foto: REUTERS/Hannibal Hanschke)
zoom-in-whitePerbesar
Demo Anti G20. (Foto: REUTERS/Hannibal Hanschke)
Jika para elite berkumpul dan berjabat tangan menghasilkan “perintah” untuk tujuh miliar penduduk Bumi, maka ratusan ribu orang di jalanan –yang melakukan aksi teatrikal, berjalan bergandengan tangan, gagah membentangkan spanduk– bertekad membangunkan kesadaran umat manusia tentang persoalan yang tengah dihadapi semua makhluk hidup di Bumi.
Sikap politik ratusan ribu orang itu sekurang-kurangnya dapat terkarikaturkan melalui sebuah kain yang mereka bentangkan. Pada sebentang kain itu tertulis: Welcome to Hell. Ungkapan yang bisa diartikan sebagai sindiran untuk para elite atas kelambanan mereka merespons Bumi yang makin memanas.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim menjadi pembicaraan warga dunia beberapa dasawarsa belakangan. Gema masalah itu kian nyaring ketika 195 negara menghasilkan keputusan politik Paris Agreement melalui Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Paris, Perancis, pada Desember 2015.
Paris Agreement diklaim sebagai langkah maju antar-negara untuk mengolah persoalan iklim yang tengah berubah dan mengaktifkan sensor kekhawatiran masyarakat dunia. Namun langkah maju itu diramalkan akan tersendat ketika Amerika Serikat justru berbalik membatalkan komitmennya.
Padahal negeri Paman Sam itu menjadi penyumbang emisi karbon dioksida terbesar kedua di dunia setelah Republik Rakyat China.
Langkah Amerika Serikat itu ditempuh Presiden Donald Trump pada 1 Juni lalu. Trump justru mensubstitusikan bahaya perubahan iklim dengan bahaya senjata nuklir.
Dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post, Maret 2016, Trump mengungkapkan alasannya menarik AS dari Perjanjian Paris.
ADVERTISEMENT
“I think there’s a change in weather. I am not a great believer in man-made climate change. I’m not a great believer. There is certainly a change in weather that goes –if you look, they had global cooling in the 1920s and now they have global warming, although now they don’t know if they have global warming. They call it all sorts of different things; now they’re using ‘extreme weather’ I guess more than any other phrase.”
“The biggest risk to the world, to me –I know President Obama thought it was climate change– to me the biggest risk is nuclear weapons. That’s –that is climate change.”
Donald Trump. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
Keputusan Trump tersebut membuat dua puluh negara yang bertemu dalam KTT G20 (minus AS tentu saja) kembali menegaskan komitmen untuk tidak mengikuti langkah Trump. 19 negara anggota G20 memperlihatkan sikap, tindakan AS si negara adidaya tidak memengaruhi keijakan politik mereka atas iklim.
ADVERTISEMENT
Justru pembatalan komitmen AS itu dianggap sebagai langkah yang lebih baik oleh beberapa orang, sebab sebagaimana sikap skeptis profesor ilmu termal John Abraham terhadap rezim AS, “so we (US government) cannot sabotage it from the inside.”
Mereka yang tidak tidak mengekor pada langkah AS mundur dari Paris Agreement setidaknya menunjukkan, bahwa pendekatan state-centric tak laku dalam menyelesaikan masalah global soal iklim.
Bumi yang tanpa sekat ini sebetulnya memang tak mengizinkan suatu negara menganggap perubahan iklim sebagai masalah rumah tangga negara per negara.
Tetapi, toh perdebatan seputar the politics of climate action tetap menjadi catatan introduksi dalam sejarah yang tengah memalingkan kepala kita: pada kekeringan yang menimbulkan kelaparan dan penyakit jutaan penduduk Afrika, pada udara beracun di sejumlah negara industri, pada beruang kutub dan ratusan spesies yang terancam punah, pada mati massal terumbu karang, pada es di kutub Bumi yang terus mencair, pada intensitas bencana alam yang meningkat, pada panas ekstrem yang merenggut dua ribu nyawa manusia di India, dan seterusnya, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Trump, karena jabatan politis dan pengaruhnya di kalangan tertentu, yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan wacana publik, adalah hanya sebuah tanda baca –mungkin tanda seru (!)– dalam keriuhan debat perubahan iklim.
Perdebatan mengenai the politics of climate action dapat dikerucutkan ke dalam empat arus utama, seperti yang dicatat oleh Andrew Dessler dan Edward A. Parson (2010) dalam ‘The Science and Politics of Global Climate Change’. Yakni, serangan terhadap Protokol Kyoto, klaim mahalnya biaya mitigasi serius, penolakan bukti ilmiah perubahan iklim, serta serangan terhadap proses dan institusi ilmiah.
Serangan pada Protokol Kyoto
Pertemuan di bawah Protokol Kyoto (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan di bawah Protokol Kyoto (Foto: Flickr)
Protokol Kyoto ditetapkan pada 12 Desember 1997, sekitar 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi gas rumah kaca mereka. Protokol Kyoto semula berlaku hingga 2012, namun kemudian diperpanjang hingga 2020 pada pertemuan iklim PBB di Qatar.
ADVERTISEMENT
Protokol Kyoto dikritik melalui tiga sisi. Pertama, penentang Protokol Kyoto merasa keberatan bahwa kesepakatan tersebut dibatasi pada emisi dari negara-negara industri maju saja. Negara-negara berkembang yang memproduksi emisi gas rumah kaca yang semakin besar, tidak akan bisa dicegah pertumbuhannya berdasarkan Protokol Kyoto.
Amerika termasuk negara yang tidak setuju dengan Protokol Kyoto. Ia baru akan ikut berpartisipasi jika negara-negara berkembang juga diikat dalam perjanjian ini dalam posisi yang sama dengan negara industri maju.
Barulah ketika Argentina pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim pada 1998 menjadi negara berkembang pertama yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto, Amerika akhirnya mau meratifikasi Protokol Kyoto pada 2008, di bawah pemerintahan Bill Clinton.
Kedua, perhitungan Protokol Kyoto dianggap tidak berdasar sains. Pembatasan emisi gas rumah kaca pada Protokol Kyoto memang benar ditentukan secara arbitrer, tidak berdasarkan sains. Keputusan itu justru hasil politis tawar-menawar beberapa negara dengan alasan-alasan tertentu.
ADVERTISEMENT
Dari keberatan itu, tampak tantangan utama yang dihadapi ialah sulitnya negosiasi membagikan tanggung jawab yang merata dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Ketiga, alasan terlalu mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara yang meratifikasi Protokol Kyoto, dan anggapan tidak cukup signifikannya aksi itu dalam mengurangi emisi gas jangka panjang.
Dengan waktu lebih dari satu dekade untuk mencapai target, negara-negara itu tampil ambisius. Tapi seiring berlalunya tahun tanpa upaya mitigasi serius sementara emisi terus berkembang, target yang ingin dicapai menjadi semakin mahal dan akhirnya tak terjangkau.
Serangan-serangan terhadap Protokol Kyoto diramalkan akan kembali terjadi pada kesepakatan-kesepakatan iklim selanjutnya yang mencerminkan tawar-menawar politik di antara negara-negara. Bidikannya ke arah berapa banyak mitigasi yang perlu dilakukan atas hitung-hitungan untung-rugi biaya yang perlu dikeluarkan. Dan keseriusan negara dalam mengambil tindakan riil.
ADVERTISEMENT
Klaim tingginya biaya mitigasi
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
Debat kedua secara spesifik berkutat pada perhitungan biaya. Upaya mitigasi perubahan iklim secara serius diperhitungkan akan memakan biaya besar yang justru berpotensi meruntuhkan perekonomian.
Beberapa argumen menggunakan asumsi bias untuk membesar-besarkan perkiraan biaya saat ini, sementara yang lain hanya berfokus pada biaya mitigasi tanpa mempertimbangkan manfaat yang dihasilkan dengan menghindari risiko perubahan iklim yang lebih jauh.
Pembebanan biaya tidak akan didistribusikan secara merata di seluruh bidang, namun pada sektor-sektor yang cenderung menanggung biaya lebih tinggi untuk peralihan ke energi lebih terbarukan --yang memiliki kepentingan untuk melebih-lebihkan biaya kepada masyarakat secara keseluruhan sehingga mereka bisa menghindar dari tanggung jawab mengatasi perubahan iklim.
Padahal banyak teknologi untuk mengurangi emisi tersedia atau dalam tahap pengembangan, menawarkan sejumlah besar kemungkinan penekanan biaya mitigasi. Keragaman pilihan teknologi yang tersedia sangat penting bagi kepercayaan publik bahwa persoalan biaya dapat dikelola.
ADVERTISEMENT
Serangan terhadap perhitungan sains
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
Dari semua argumen untuk mengabaikan perubahan iklim, ilmu pengetahuan menjadi sasaran paling menonjol untuk dikritik. Banyak orang menyangkal pengetahuan ilmiah dan sering kali meragukan integritas para ilmuwan.
Klaim spesifik mereka yang menolak kenyataan dan keseriusan perubahan iklim biasanya berbunyi: pertama, perubahan iklim tidak terjadi; kedua, bahkan jika perubahan iklim terjadi, itu adalah penyebab alami, bukan manusia; ketiga, bahkan jika perubahan iklim disebabkan oleh manusia, maka tidak akan banyak memengaruhi manusia, tapi justru manusia akan menyesuaikan diri; dan keempat, bahkan jika dampak perubahan iklim besar, alam akan mengambil keseimbangannya yang tidak akan sangat berbahaya, dan malah mungkin bermanfaat.
Keraguan akan perhitungan ilmiah perubahan iklim mau-tidak mau berarti menyerang lembaga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga yang dibentuk pada 1988 oleh World Meteorological Organization dan United Nations Environment Program. Lembaga tersebut bertujuan untuk melakukan kajian ilmiah mengenai seluruh aspek perubahan iklim beserta dampaknya, disertai formula-formula strategis penanganan yang riil.
ADVERTISEMENT
Penilaian IPCC adalah pernyataan definitif sains iklim saat ini, yang banyak digunakan sebagai referensi ilmiah dan diterima secara otoritatif oleh hampir semua pelaku kebijakan yang terlibat dalam masalah ini. Serangan terhadap IPCC dapat berbentuk tuduhan bahwa lembaga tersebut tidak benar-benar lembaga ilmiah, melainkan satu institusi politik yang dibuat untuk memobilisasikan kepentingan tertentu.
Semua serangan terhadap proses penilaian ilmiah tersebut terbagi menjadi dua kesalahan. Pertama, membayangkan ilmuwan iklim dunia mungkin bisa berkonspirasi untuk berbohong tentang apa yang mereka ketahui –untuk memajukan kepentingan korup mereka atau bahwa hal itu dipaksakan oleh suatu rezim pemerintahan.
Padahal secara logika, sekalipun mereka menginginkannya, ada beberapa alasan mengapa mereka tidak bisa melakukannya.
Ilmu pengetahuan berkembang dengan baik dalam pertukaran gagasan dan argumen terbuka, serta memberi penghargaan kepada ilmuwan-ilmuwan dengan gagasan baru yang meyakinkan dan klaim yang berlawanan –asalkan mereka mendasarkan dalihnya sesuai aturan, argumen, dan bukti yang adil. Pun para ilmuwan yang berpartisipasi dalam IPCC jumlahnya banyak, beragam dalam kebangsaan dan pandangan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Kedua, gagal memahami pentingnya IPCC sebagai badan penilaian ilmiah, bukan badan ilmiah murni. Badan penilaian duduk di antara dunia sains serta kebijakan, dan harus mampu mengelola ketegangan yang diakibatkannya.
IPCC dinilai telah menerapkan keseimbangan politis dan ilmiah melalui prosedur di mana pemerintah secara nominal bertanggung jawab namun tidak memengaruhi penilaian penuh, yang sepenuhnya merupakan tinjauan ilmiah.
Pemanasan global. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pemanasan global. (Foto: Pixabay)
Keyakinan seseorang terhadap perubahan iklim kerap berkorelasi dengan posisi politiknya. Di Amerika Serikat, Partai Republik cenderung menganggap perubahan iklim sebagai mitos.
Aktivis sosial asal Kanada, Naomi Klein, menyebut mereka yang menolak kesahihan riset ilmiah perubahan iklim memiliki suatu lembaga riset sewaan untuk melakukan counter discourse atas riset tersebut.
Walaupun argumen tersebut bisa disangkal, seperti yang dikemukakan John Abraham, namun ternyata semakin liberal politik seseorang, semakin besar kemungkinan baginya untuk menerima sains dan solusinya.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan politik itu, kata John, hasilnya menakjubkan. Sebagian besar pemilih Demokrat dan independen sangat meyakini adanya perubahan iklim. Menariknya, golongan konservatif Partai Republik pun percaya perubahan iklim.
John sedapat mungkin menghindari generalisasi sikap individu pada kelompok dalam kategorisasi tertentu.
Ada pula korelasi lain. Misalnya, orang yang religius, terutama konservatif religius, lebih cenderung meragukan atau menolak sains. Ini adalah generalisasi dan memiliki pengecualian. Karena sesungguhnya, beberapa pemimpin agama telah menjadi pemimpin aksi perubahan iklim. Salah satu contoh terbaik adalah Paus Fransiskus. Ia, pada sebuah kesempatan, berpesan untuk tak meremehkan perubahan iklim.
“A very solid scientific consensus indicates that we are presently witnessing a disturbing warming of the climatic system. In recent decades, this warming has been accompanied by a constant rise in the sea level and, it would appear, by an increase of extreme weather events, even if a scientifically determinable cause cannot be assigned to each particular phenomenon. Humanity is called to recognize the need for changes of lifestyle, production and consumption, in order to combat this warming or at least the human causes which produce or aggravate it.”
ADVERTISEMENT