Pilkada dan Demokrasi ala Dinasti

15 Februari 2018 15:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 segera dimulai. Para calon pemimpin daerah bergegas mempersiapkan diri dan kendaraan politik mereka. Pesta demokrasi ini setidaknya akan digelar di 17 provinsi.
ADVERTISEMENT
Dari 57 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, enam di antaranya merupakan keluarga incumbent. Itu tak aneh. Pada tiap kontestasi pilkada, ada saja pasangan calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana.
Fenomena politik kekerabatan itu kita kenal luas dengan sebutan politik dinasti--pemimpin yang berasal dari satu keluarga. Satu jabatan bisa dialihkan di antara ayah, ibu, anak, ataupun anggota keluarga lain dari mereka yang berkuasa.
Pasangan calon kepala daerah yang memiliki kekerabatan dengan petahana antara lain terdapat di Kalimantan Barat, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Selatan.
Dinasti Politik. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Desentralisasi: Panggung ‘Raja-raja’ Kecil
Reformasi 1998, di samping mengakhiri rezim teror Soeharto, juga bermaksud menghapus ‘kesaktian’ pemerintah pusat sebagai the only and ultimate authority bagi seluruh daerah di Indonesia. Sejak itu, demokrasi menjadi jantung hati agenda penataan kembali kehidupan masyarakat dan pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah mulai diberlakukan. Lima tahun kemudian, regulasi tersebut diganti dengan yang lebih relevan, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan seterusnya hingga UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Demokrasi di aras lokal tengah menempuh rehabilitasi. Namun, alih-alih mendistribusikan kekuasaan agar lebih adil, desentralisasi kemudian memunculkan gejala tampilnya ‘raja-raja’ kecil di daerah. Gejala ini yang oleh Wasisto Raharjo Jati, peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, disebut sebagai ‘cendanaisasi’.
“Istilah cendanaisasi merujuk pada Keluarga Cendana semasa 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik Indonesia. Semua pos kunci pemerintahan dikuasai anak, menantu, kemenakan, maupun kerabat lainnya, sehingga kekuasaan tersebut menjadi langgeng selama tiga dekade pemerintahan.”
ADVERTISEMENT
“Pola itulah yang sebenarnya sedang berkembang dan dicontoh oleh keluarga para elite lokal, bahwa proses demokrasi lokal bisa ditelikung dengan menempatkan kerabat dalam posisi strategis daerah,” tulis Wasisto (2013) dalam hasil kajiannya, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal.
Wasisto menganalisis, fenomena politik dinasti di daerah muncul seiring implementasi otonomi daerah sejak 2001 dan Pemilihan Umum Kepala Daerah langsung sejak 2005. Kemunculan para elite lokal itu dikenal dengan istilah reorganisasi kekuasaan.
Reorganisasi kekuasaan diartikan sebagai kembalinya pengaruh kekuasaan politik elite lokal ke dalam era demokrasi. Para elite lokal tersebut--yang pada rezim Soeharto dibatasi oleh kekuasaan terpusat (yang berarti Keluarga Cendana dan Partai Golkar)--memanfaatkan kebijakan otonomi daerah untuk mendominasi daerah mereka masing-masing.
Peta Indonesia. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Maka seiring desentralisasi, demokratisasi di daerah justru menjadi proses revitalisasi kekuatan elite lokal atau tradisional untuk berkuasa. Elite lokal berupaya mengukuhkan kembali pengaruhnya sebagai pemain utama.
ADVERTISEMENT
Kewenangan yang sebelumnya hanya ada di pusat, kini digeser ke daerah-daerah. Partai-partai pun tumbuh ke berbagai daerah dalam momentum transisi dari era otoriarianisme menuju demokrasi. “Otonomi daerah,” ujar ahli hukum tata negara Refly Harun kepada kumparan, Selasa (6/2), “membawa angin baru dalam politik di Indonesia.”
“Kepala-kepala daerah itu bisa tumbuh dari bawah (masyarakat). Awalnya tumbuh dari bawah dan disertifikasi (dipilih) dari bawah juga. Tapi sekarang ditarik dari atas (elite lokal). (Kepala daerah) tumbuh dari bawah, dari samping, mungkin dari atas, dan disertifikasinya dari atas pula,” kata Refly.
“Sehingga peluang kemunculan dinasti politik tentu saja kuat. Karena biasanya kalau saya gubernur, saya juga ketua partai di wilayah tersebut, sehingga mudah bagi saya untuk menominasikan nama anak kepada Dewan Pimpinan Pusat Partai.”
ADVERTISEMENT
Demokratisasi yang sebenarnya ditujukan untuk mendistribusikan hak kepada masyarakat guna memilih pemimpinnya secara langsung, justru dikaburkan dengan dominasi kekuatan oligarki. Masyarakat lokal hanya diberi peran sebagai penonton.
Munculnya kepala daerah yang berasal dari kelompok elite lokal tersebut juga kerap dinilai akibat agenda desentralisasi di bidang politik yang hanya menitikberatkan pada pemilihan umum, sedangkan pemahaman politik dalam masyarakat tidak diperhitungkan.
Demokrasi menjadi semacam tindakan yang hanya dilakukan oleh masyarakat di hadapan bilik suara ketika pemilihan umum berlangsung.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri yang disampaikan ICW pada 2017, sebanyak 58 dinasti politik terbentuk sejak pilkada berlangsung hingga 2013. Sementara menurut Peneliti Utama LIPI Siti Zuhro, data Kementerian Dalam Negeri per tahun 2016 mencatat setidaknya ada 65 daerah yang mempraktikan dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Wajah Dinasti Politik
Terdapat beragam pengertian dinasti politik dengan aksentuasi yang berbeda. Misalnya, menurut Haris (2007) dan Zuhro (2010), dinasti politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy).
Pembajakan demokrasi itu dilakukan oleh sirkulasi hubungan inti genealogis (garis keturunan dalam hubungan keluarga sedarah) berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan keluarga.
Kreuzer (2005) dan Cesar (2013) kemudian menekankan kemunculan dinasti politik sebagai ekses dari warisan feodalisme yang masih menancap kuat di masyarakat. Feodalisme yang dimaksud, kata Wasisto, bukan hanya penguasaan sumber daya ekonomi, tapi juga terbentuknya jejaring loyalitas dalam masyarakat dengan melibatkan tokoh informal.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kuasa yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan sanak keluarga.
Terbentuknya dinasti politik di daerah dapat dicermati setidaknya berdasarkan tiga sebab. Pertama, fungsi partai politik yang lemah karena kecenderungan para elite partai merupakan orang-orang yang berasal dari elite di daerah. Ini menimbulkan sikap pragmatisme partai politik dengan mengangkat elite dan keluarganya menjadi pejabat publik di daerah.
Kedua, neo-feodalisme yang menguat di daerah, yakni revitalisasi kekuatan tradisional dalam arena politik modern yang berbasis tribalisme, regionalisme, premanisme, dan lain sebagainya. Ketiga, biaya politik yang mahal dalam setiap pemilukada mereduksi partisipasi politik aktif dari masyarakat,” kata Wasisto.
Wasisto Raharjo Jati. (Foto: Instagram @warjati)
Menurutnya, pewarisan kekuasaan kepada kerabat yang dilakukan oleh kepala daerah dilakukan demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib politik. Oleh sebab itu, dinasti politik cenderung mengandalkan kekuatan personal atau figurisasi sebagai daya tarik pemilih, hubungan kekerabatan, dan relasi patrimonial yang menempatkan elite di atas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketika membicarakan dinasti politik, umumnya kita akan pukul rata bahwa semua jabatan yang berlangsung estafet dari garis kekeluargaan yang sama adalah dinasti politik. Itu tidak keliru. Namun, simplifikasi semacam itu mengaburkan fakta bahwa dinasti politik memiliki banyak ‘wajah’ meski dengan tindak-tanduk serupa.
Wasisto mengklasifikasikan dinasti politik daerah yang ada di Indonesia ke dalam tiga basis berbeda, yaitu dinasti politik berbasis populisme, jaringan kuasa (octopussy), dan tribalisme--kesukuan, marga, kekeluargaan.
Dinasti politik berbasis populisme merupakan upaya mengamankan program kepala daerah sebelumnya. Hal ini, jelas Wasisto, terkait reproduksi wacana heroisme dan populisme program pemerintahan sebelumnya yang dijadikan bahan kampanye kerabat untuk menggantikan kerabatnya yang lain.
Model dinasti ini terjadi, misalnya, dalam kasus Bupati Kendal Widya Kandi Susanti (2010-2015). Saat pencalonan sebagai bupati, Widya merupakan istri Bupati Kendal Hendy Boedoro (2000-2007) yang ditangkap KPK karena penyelewengan dana APBD Kendal.
ADVERTISEMENT
Kasus serupa juga terjadi pada Bupati Bantul Sri Suryawidati (2010-2015) yang menggantikan suaminya Bupati Idham Samawi (1998-2004 dan 2005-2010), maupun kasus Bupati Indramayu Anna Sophanah (2010-2020) yang menggantikan suaminya Bupati Irianto MS. Syafiuddin (2000-2010).
“Hal yang menarik adalah pembentukan dinasti politik melalui istri bupati tidak diprakarsai oleh suaminya, namun oleh berbagai macam elemen masyarakat yang menginginkan salah satu anggota keluarga kepala daerah bersedia dicalonkan dan dipilih menjadi pengganti seperti dalam kasus Bantul, Kendal, maupun Indramayu,” kata Wasisto.
ADVERTISEMENT
Dalam ketiga kasus kabupaten tersebut, dinasti politik dibangun atas romantisme pemimpin yang mengayomi dan bertindak adil. Romantisme itu, jelas Wasisto, berhasil dibangun para bupati dengan berbagai kebijakan yang menyentuh kebutuhan masyarakat selama menjabat. Sehingga masyarakat pun ikut mendorong terbentuknya dinasti politik.
“Ada upaya untuk menjaga kontinuitas program-program dari pemimpin sebelumnya. Artinya program-program populis yang telah diadakan oleh si suami bisa dilanjutkan oleh entah itu istri atau anggota keluarganya yang lain,” kata Wasisto kepada kumparan, Rabu (17/1).
“Oleh karena itu, sebagai langkah mengamankan progam bupati sebelumnya yang sudah dinilai baik, maka istrinya didorong menjadi bupati. Sementara itu, suaminya akan bertindak sebagai godfather di balik pemerintahan istrinya.”
Ragam Bentuk Dinasti Politik (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Sementara model dinasti politik berbasis jaringan kuasa (octopussy) tampak jelas, misalnya, melalui kasus dinasti politik di Banten. Mengutip Syarif Hidayat (2007) dalam Shadow State? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dinasti politik Banten terbangun atas koalisi klan politik, monopoli ekonomi, kekerasan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dinasti politik Banten disebut sebagai contoh utama dinasti politik di daerah yang dibentuk secara sengaja atau by design oleh kepala daerah dengan jaringan kekeluargaan dan kekerabatan yang terjun dalam dunia politik.
Secara ringkas, dinasti politik Banten dapat digambarkan melalui posisi-posisi puncak jabatan publik yang diisi oleh orang-orang yang berasal dari garis kekeluargaan Ratu Atut Chosiyah. Beberapa di antaranya: Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten 2007-2014, Ratu Tatu Chosiyah (adik Atut) sebagai Bupati Serang 2016-sekarang.
Selanjutnya, almarhum Hikmat Tomet (suami) sebagai anggota DPR RI 2009-2014, Heryani (ibu tiri) sebagai Wakil Bupati Pandeglang 2011-2016, Tubagus Haerul Jaman (adik tiri) sebagai Wali Kota Serang 2011-sekarang, Airin Rachmi Diany (adik ipar) sebagai Wali Kota Tangerang Selatan 2011-sekarang, dan Andika Hazrumy (anak) sebagai anggota DPR RI 2014-2017 dan Wakil Gubernur Banten 2017-2022.
Baliho dua pasang calon di Banten pada Pilkada Serentak 2017 (Foto: Antarafoto)
Contoh lain dinasti politik berbasis jaringan ialah dinasti Yasin Limpo di Sulawesi Selatan. Di antaranya: Syahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur Sulawesi Selatan 2008-2018, Nurhayati Yasin Limpo (ibu) sebagai anggota DPR RI 2004-2009, Ichsan Yasin Limpo (adik) sebagai Bupati Gowa 2005-2015.
ADVERTISEMENT
Lalu Tenri Yasin Limpo (kakak) sebagai Ketua DPRD Gowa 2009-2014 dan anggota DPRD Sulawesi Selatan 2014-2019, serta Adnan Purichta Limpo (keponakan) sebagai Bupati Gowa 2016-2021.
Model dinasti ini dibentuk untuk mengamankan “jabatan di daerah janganlah sampai keluar dari lingkaran arisan keluarga. Dalam arti, jangan sampai kekuasaan itu menyebar, tapi terpusat,” kata Wasisto.
“Persoalan-persoalan di daerah yang, katakanlah, sengkarut, kalau bisa diselesaikan di ruang tertutup, intim, jangan sampai menimbulkan debat publik yang panjang. Artinya, ada semacam pola paternalistik yang dibangun dalam mengatasi masalah di daerah. Makanya kemudian kita melihat ada istilah ‘bapakisme’ atau ‘ibuisme’.”
Terakhir, model dinasti politik berbasis tribalisme mengacu pada kesetiaan atas kesukuan tertentu yang ekspresinya bangkit kembali sejak otonomi daerah diberlakukan. “Biasanya kasus seperti ini,” ujar Wasisto, “banyak terjadi dalam kasus pemerintahan daerah di Indonesia bagian timur di mana ikatan kekeluargaan besar masih terasa kuat.”
Syahrul Yasin Limpo (Foto: Facebook/Syahrul Yasin Limpo)
Sulawesi Selatan merupakan contoh dari dinasti politik ini. Dalam kasus dinasti Yasin Limpo, Wasisto menjelaskan, kemenangan dinasti Yasin Limpo dalam pilkada merupakan indikasi bangkitnya klan karaeng (gelar bangsawan Makassar) di Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Kemenangan dinasti Yasin Limpo juga merupakan bentuk balas dendam politik klan karaeng yang selama ini kalah oleh daeng (kelas pedagang).
“Dinasti daeng dengan Jusuf Kalla sebagai figur utama tampak menarik hati dalam membentuk preferensi politik masyarakat Sulawaesi Selatan pada kurun waktu 2001-2009. Terdapat kontestasi yang begitu kuat antara klan karaeng dan daeng dalam konstelasi sosial politik Sulawesi Selatan melalui perbedaan strata sosial maupun strata ekonomi.”
Sejak otonomi daerah diterapkan, kekuatan lokal dan kebangsawanan merangkak ke permukaan. Maka feodalisme sebagai sistem sosial-politik yang terbangun sejak masa pra-kolonial kembali menemukan panggungnya di era demokrasi. Kita mengenalnya dengan istilah neo-feodalisme.
Neo-feodalisme memang mencolok dalam kasus dinasti politik berbasis tribalisme. Namun umumnya, terkandung neo-feodalisme dalam setiap bentuk dinasti politik yang ada di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
“Demokrasi di kita karena masih berpatokan pada pemilih tradisional, akan melihat dari siapa dia (pemimpin) lahir, keturunan siapa, bukan apa yang mau dilakukan. Ditumpangkanlah atau disusupkanlah feodalisme dan hubungan paternalistis ke dalam skema demokrasi,” ujar sejarawan Bonnie Triyana kepada kumparan, Rabu (7/2).
Namun Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Andreas Pareira berpendapat, soal dinasti tak relevan lagi dalam alam demokrasi saat ini.
“Dinasti tidak berlaku dalam sistem demokrasi terbuka seperti di Indonesia. Paradigma demokrasi dan paradigma dinasti itu bertentangan, karena rakyat yang memilih pemimpinnya.”
ADVERTISEMENT
Di samping ketiga model dinasti politik itu, ada pula model feodalisme yang biasanya adalah kelanjutan sistem dari masa silam seperti di Bali dan Yogyakarta. Namun, kata Wasisto, berbagai kasus tersebut umumnya jika dianalisis memiliki generalisasi sama, yakni dibentuk berbasis figurisasi dan patrimonanialisme, aji mumpung, dan elitisme.
Gurita Dinasti Politik di Daerah. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Partai Politik adalah Kunci
Salah atau tidak, partai politik disebut Wasisto sebagai penyebab pertama terbentuknya dinasti politik. Sebab dalam negara demokrasi dengan sistem kepartaian, partai politik merupakan kendaraan pokok bagi orang atau kelompok yang hendak meraih kursi kepala daerah. Toh hampir semua kepala daerah merupakan petugas partai juga.
ADVERTISEMENT
Memang terbuka pula kesempatan bagi calon yang tidak berasal dari partai atau dikenal sebagai calon independen. Namun, kemungkinan calon perseorangan untuk memenangkan kontestasi sangat kecil, misalnya dari segi verifikasi pencalonan.
Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, calon perseorangan yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kota) harus memenuhi syarat dukungan antara 6,5 persen sampai 10 persen dari jumlah pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah pemilihannya.
“Hanya partai politik yang bisa menominasikan kepala daerah. Ada juga calon independen, tapi calon independen hampir tidak masuk akal, terutama untuk daerah-daerah yang penduduknya banyak. Karena harus verifikasi faktual,” kata Refly.
“Kita lihat kasus Ahok, misalnya, mengumpulkan satu juta dukungan tanda tangan, tidak berani maju dari jalur independen. Kenapa? Karena ada kemungkinan tidak akan lolos.”
ADVERTISEMENT
Tidak berlebihan untuk menyebut partai politik sebagai pangkal bagi praktik demokrasi di daerah dalam era desentralisasi. Secara cepat-cepat, mungkin kita bisa menerka wajah demokrasi di daerah melalui wajah demokrasi di partai-partai politiknya, dan mungkin saja vice versa atau berlaku sebaliknya.
Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara (Foto: Tommy Wahyu Utomo/kumparan)
Terbentuknya dinasti politik di berbagai daerah, menurut Nico Harjanto (2011) dalam Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia, merupakan indikasi dari memburuknya institusionalisasi kepartaian, dan melemahnya kemampuan rekrutmen dan kaderisasi partai politik.
Sebagai institusi yang relatif baru berkembang setelah mengalami pembatasan selama 32 tahun rezim otoriter, hampir semua partai tidak berhasil melembagakan mekanisme kerja dan pengisian personel dengan baik.
“Sementara itu, masalah kepartaian semakin kompleks karena budaya dan mekanisme demokrasi tidak dijalankan secara konsekuen. Dalam pengambilan keputusan, sering kali mekanisme demokrasi tidak berjalan karena kuatnya peran pimpinan maupun kekuatan oligarki di parpol,” ujar Nico.
ADVERTISEMENT
Sehingga, penentuan kandidat calon kepala daerah pun hanya diputuskan oleh elite partai politik. Pemusatan pengambilan keputusan itu bahkan, kata Nico, cenderung mengarah pada personalisasi kekuasaan, dengan figur dominan atau pemimpin partai menjadi the only and ultimate authority.
Tampak betul desentralisasi dimanfaatkan sebagai reorganisasi dan revitalisasi kekuatan lokal di daerah. Senada dengan Nico, Refly memandang macetnya kaderisasi yang mengakibatkan terbentuknya dinasti politik disebabkan absennya demokrasi di level partai.
“Hulunya adalah bahwa partai politik kita memang belum bisa berdemokrasi. Masih one man show, mengandalkan satu figur sentral. Dan kalau figur sentralnya tidak ada, maka partai itu pecah dan kemudian akhirnya menjadi partai yang tidak signifikan,” ujar Refly.
“Ini yang sebenarnya lebih mempengaruhi proses demokratisasi. Bukan ke dinasti politik itu sendiri, tetapi kelakukan elite-elite politik dalam berdemokrasi. Itu yang susah.”
Politik Dinasti di Tubuh Partai (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Elite partai, khususnya ketua umum, kerap memiliki kepentingan pribadi yang besar. Sehingga dalam proses pencalonan pilkada, menurutnya, para elite itu tidak memperhitungkan kapasitas dan akseptabilitas seseorang. Melainkan, sekadar tingkat kepopuleran dan sumber pendanaan “mereka yang mau membayar” untuk pencalonan.
ADVERTISEMENT
“Kaderisasi di partai politik, kepentingan-kepentingan elite partai politik, tidak melihat pencalonan itu sebagai sebuah ajang yang demokratis. Tapi hanya melihat pencalonan sebagai barangkali ajang untuk mencari uang murah (easy money) melalui proses-proses yang namanya candidacy buying, misalnya, yang kita sebut saat ini dengan mahar politilk,” jelas penerima gelar Lex Legibus Master (hukum) Universitas Notre Dame, AS itu.
Pada era Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah 2006-2013, misal, kita bisa melihat jabatan elite partai diisi oleh orang-orang yang berasal dari keluarga Ratu Atut: almarhum Hikmat Tomet (suami) sebagai Ketua DPD Golkar Provinsi Banten, Ratu Tatu Chosiyah (adik) sebagai ketua DPD Golkar Kabupaten Pandeglang, Ratu Lilis Karyawati (adik tiri) sebagai Ketua DPD Golkar Kota Serang, dan Tubagus Chaeri Wardana (adik) sebagai Ketua Angkatan Muda Golkar Provinsi Banten. Sementara Ratu Atut sendiri saat itu menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum DPP Golkar.
ADVERTISEMENT
kumparan mencoba menghubungi anggota keluarga dinasti Atut di Banten, termasuk Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman, dan sejumlah pejabat partai Golkar, untuk memperoleh tanggapan soal dinasti politik ini. Namun, hingga kini mereka belum merespons.
Dinasti politik di tingkat kabupaten/kota juga mencampurkan jabatan di pemerintah daerah dengan kepartaian. Misalnya, Bupati Kediri Haryanti Sutrisno (2010-2021) yang menggantikan suaminya, Sutrisno (1999-2010). Ketika sang suami sudah tak bisa lagi menjabat sebagai bupati, ia kini menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kediri.
Keputusan partai yang mencerminkan watak dinasti politik dalam pencalonan kepala daerah juga diperlihatkan Partai Demokrat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, anak Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Agus Harimurti Yudhoyono, dicalonkan sebagai gubernur.
ADVERTISEMENT
“Kita tidak pernah mendengar bagaimana proses inisiasinya. Saya tidak bisa mengatakan ini contoh yang baik. Karena kita tahu bahwa hampir tidak ada orang yang menyangka Agus Harimurti yang menjadi calon gubernur DKI,” kata Refly.
“Memang kejutan, tetapi menurut saya kejutan yang tidak mendidik dari sisi demokratisasi. Bagaimana mungkin kemudian orang yang sama sekali belum berpartai, masih terikat dengan satuan militer, tiba-tiba kemudian berhenti dan kemudian menjadi calon.”
SBY sambutan di kampanye Agus-Sylvi. (Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara)
Sulit mengharapkan partai politik menjalankan fungsi untuk melakukan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat, jika di dalam internal partai sendiri yang berlaku adalah dinasti politik.
Padahal dalam Pasal 29 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik disebutkan, partai politik dalam melakukan rekrutmen untuk menjadi anggota, bakal calon anggota legislatif dilaksanakan “melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).”
ADVERTISEMENT
Sementara untuk bakal calon kepala/wakil kepala daerah, dan bakal calon presiden/wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Walau disebutkan “sesuai AD dan ART masing-masing partai”, setidaknya semangat beleid itu untuk meminimalisasi keinginan pengurus partai mengambil jalan pintas.
“Selama demokratisasi di partai itu tidak berjalan dengan baik, maka hilirnya--kepala-kepala daerah yang terpilih--bukanlah dari proses yang demokratis. Comot begitu saja, dan kemudian meyakinkan partai, meyakinkan ketua umum partai yang bersangkutan untuk mencalonkan si adik atau si anak,” kata Refly.
“Dan tentu tidak ada ‘makan siang’ yang gratis dalam politik ketika kita menominasikan orang yang misalnya tidak jelas tingkat elektabilitasnya, tidak jelas bagaimana track record sebelumnya, tapi yang orang tahu adalah yang bersangkutan anak dari incumbent.”
ADVERTISEMENT
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.