Pisau Kaum Muda untuk Sukarno: Seteru di Pintu Zaman Baru

15 Agustus 2017 15:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
ADVERTISEMENT
“Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah,” ujar Wikana, seorang tokoh pemuda, dengan suara lantang di kediaman Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta Pusat, 15 Agustus malam, 72 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Wikana lalu melangkah maju ke hadapan Sukarno dengan gestur mengancam. Ia mengatakan, posisi revolusi saat itu sudah bergantung pada kemauan pemuda. Dengan nada mengintimidasi, ia mengatakan bahwa akan ada potensi kekacauan keamanan jika proklamasi kemerdekaan tak segera diumumkan.
“Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah,” ucap Wikana tajam, membuat Sukarno tersinggung.
Sukarno, seperti dikutip dari biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis oleh Cindy Adams, masih ingat petang itu rumahnya gelap. Hanya ada satu lampu yang menyala, dan dalam kegelapan itu, dia melihat kilatan sebilah pisau.
Pisau itu disisipkan pada ikat pinggang salah seorang pemuda. Dan tak hanya pisau, sebab sepenglihatan Sukarno, sejumlah pemuda yang bertandang ke kediamannya malam itu juga membawa pistol dan golok.
ADVERTISEMENT
Di balik pintu menuju beranda, seperti dituturkan ulang dalam buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi oleh Osa Kurniawan Ilham, Sukarno sekilas melihat bayangan istrinya, Fatmawati, juga Sayuti Melik dan SK Trimurti yang sedang berada di ruangan lain, tampak dicekam ketakutan.
Namun Sukarno justru bersikap tenang. Ia tak mempan digertak, dan justru naik pitam.
“Aku sudah berjuang lebih lama dari kalian, jadi jangan kira kalian bisa menekanku,” kata Sukarno, dingin.
Kemudian, sembari menunjukkan batang lehernya, Sukarno bicara dengan nada menantang kepada para pemuda, “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”
Dialog mendebarkan itu berlangsung kala situasi menegangkan menyelimuti Jakarta dan berbagai daerah lain.
Konferensi Pers Sukarno-Hatta Pasca-Proklamasi (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Sukarno-Hatta Pasca-Proklamasi (Foto: kitlv.nl)
Saat itu, Sukarno duduk di beranda dikelilingi beberapa pemuda bertampang galak, antara lain Wikana dan Chaerul Saleh. Mereka dikirim kelompok pemuda yang dua jam sebelumnya, usai berbuka puasa--saat itu Ramadan, menggelar rapat gelap di belakang Laboratorium Bakteriologi Eijkman Institute, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 17, Menteng, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Selain Wikana dan Chaerul Saleh, sejumlah pemuda yang juga berada di rumah Sukarno adalah Subadio Sastrosatomo, Yusuf Kunto, dan DN Aidit. Mereka mewakili kaum muda yang menghasilkan satu keputusan bersama usai pertemuan rahasia di belakang Eijkman, yakni bahwa:
Kemerdekaan Indonesia adalah hak serta persoalan rakyat Indonesia. Sama sekali tidak tergantung kepada siapapun dan negara manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka, tidak bisa lain harus dengan proklamasi kemerdekaan. Karenanya sangat berharap Sukarno bersedia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Keputusan itu bagian dari situasi yang sangat emosional bagi para aktor pergerakan nasional dan rakyat kebanyakan, yang telah puluhan tahun berupaya membangun jalan kemerdekaan Indonesia.
Nagasaki sebelum dan sesudah dibom.  (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Nagasaki sebelum dan sesudah dibom. (Foto: perpusnas.go.id)
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 dalam Perang Pasifik, para pemuda dengan semangat menggebu ingin agar proklamasi kemerdekaan lekas diumumkan.
ADVERTISEMENT
Momen itu dianggap waktu dan kesempatan yang baik--juga langka, sebab wilayah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia, sedang berada dalam kekosongan kekuasaan alias tak dikendalikan satu kekuatan pun.
Jepang, menurut berita Sekutu, telah sah mengakui kekalahannya dan dengan demikian terikat dengan perintah Sekutu untuk mempertahankan status quo bekas daerah jajahannya, sebelum tentara Sekutu menginjakkan kaki ke wilayah yang bakal menjadi Republik Indonesia saat itu.
Berita kekalahan Jepang mulai tersebar ke Indonesia. Pada 15 Agustus siang sekitar pukul 14.00 WIB, Sutan Sjahrir--setelah mendengar penyerahan diri Jepang secara resmi kepada Sekutu lewat radio--menemui Mohammad Hatta di kediamannya, Diponegoro 57 Jakarta.
Sjahrir meyakinkan Hatta bahwa Jepang sudah menyerah dan kemerdekaan mesti segera diproklamasikan oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat, bukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dianggap bentukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Dari Sjahrir itulah Hatta baru mengetahui kekalahan Jepang, meski sehari sebelumnya ia dan Sukarno baru pulang dari Saigon, Vietnam, memenuhi undangan Jenderal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, yang mengatakan “Pemerintah Agung di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Melaksanakan kemerdekaan itu terserah kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang tuan berdua menjadi pemimpinnya sebagai ketua dan wakil ketua.”
Hatta tak hanya ditemui Sjahrir, tapi juga tokoh muda dari kelompok Sjahrir, yakni Subadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikusumo. Seperti Sjahrir, mereka mendesak kemerdekaan diproklamasikan hari itu juga tanpa melalui PPKI.
“Kemerdekaan harus diumumkan oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat, dan atas nama rakyat Indonesia, kemudian diucapkan di depan corong radio ayas nama rakyat Indonesia, ditujukan kepada seluruh penjuru dunia,” ujar Subianto lantang.
ADVERTISEMENT
Hatta menampik logika itu. “Akan sama saja bila pernyataan kemerdekaan diucapkan oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat atau Sukarno sebagai Ketua PPKI. Sejak semula, Sukarno memang telah bekerja sama dengan Jepang sehingga Belanda tetap akan menuduh mereka sebagai pengkhianat.”
Ucapan Hatta itu kontan membuat jengkel pemuda. Mereka berseru, “Pada saat revolusi datang, ternyata kami malahan tidak bisa membawa Bung Hatta. Ternyata, Bung Hatta bukan seorang revolusioner. Tidak bisa kita harapkan untuk memimpin revolusi.”
Hatta tak bergeming, menganggap rencana revolusi kaum muda belumlah matang.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Hatta dan Sjahrir yang sore itu pergi ke rumah Sukarno--10 menit berjalan kaki dari kediaman Hatta, mendapati Sukarno belum percaya sepenuhnya dengan kabar kekalahan Jepang. Padahal
Sukarno akan mencari keterangan langsung dari pihak Jepang. Ia juga tak setuju bila kemerdekaan diproklamasikan tak lewat PPKI.
ADVERTISEMENT
“Aku tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia, aku bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku ketuai,” kata Sukarno kepada Sjahrir.
Sjahrir pulang dengan keinginannya yang kandas. Ia beserta kelompok pemuda pimpinannya yang bergerak klandestin itu kecewa dengan jawaban Sukarno-Hatta. Padahal hari itu, jaringan bawah tanah kaum muda, dengan jumlah ribuan orang, sudah bersiap di pinggiran kota, hendak masuk ke Jakarta melakukan aksi untuk menyokong proklamasi dan menggulirkan revolusi.
Kelompok pemuda Sjahrir geram dan berencana untuk bertindak sendiri memproklamasikan kemerdekaan tanpa Sukarno-Hatta. Namun Sjahrir berhasil meredakan kecamuk niat mereka, sebab menurut Sjahrir, tindakan itu malah akan menimbulkan konflik horizontal dan mengacaukan situasi justru ketika revolusi tak lagi jauh panggang dari api.
ADVERTISEMENT
“Kita bisa berhadapan dengan rakyat kita sendiri, dan kita tidak dapat membiarkan hal itu terjadi dalam keadaan bagaimanapun,” tegas Sjahrir.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
Dari kelompok pemuda ke kelompok pemuda. Begitulah perkembangan situasi menggelinding menuju sebuah revolusi yang sudah menyala-nyala di benak jutaan orang.
Malam harinya sekitar pukul 20.00 WIB, gabungan kelompok pemuda dari berbagai asrama yang menjadi pusat kegiatan politik mereka, menggelar rapat rahasia di belakang gedung Laboratorium Bakteriologi Eijkman Institut, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 17.
Rapat dipimpin pentolan tokoh muda, Chaerul Saleh, dan dihadiri antara lain Wikana, Yusuf Kunto, AM Hanafi, Subadio Sastrosatomo, Darwis, Djohar Nur, DN Aidit, Subianto Djojohadikusumo, Eri Sudewo, Abu Bakar Lubis.
Tokoh-tokoh muda menjelang Proklamasi. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh-tokoh muda menjelang Proklamasi. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Rapat pemuda kemudian mengirimkan perwakilan mereka ke rumah Sukarno, yakni Wikana selaku juru bicara pemuda--yang berangkat ke rumah Sukarno dengan membonceng sepeda DN Aidit, Subadio, Yusuf Kunto, dan sejumlah pemuda lain.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 22.00 WIB, sejumlah perwakilan pemuda itu tiba di rumah Sukarno. Mereka berkumpul di ruang tengah bersama Sukarno. Sementara Sayuti Melik dan SK Trimurti berada di ruangan lain, sedang berdiskusi tentang persiapan rapat PPKI yang akan berlangsung keesokannya, 16 Agustus 1945.
Di hadapan Sukarno, Wikana memulai pembicaraan. “Maksud kedatangan kami adalah meminta supaya Bung Karno dan Bung Hatta segera menyatakan kemerdekaan, lepas dari Panitia Persiapan Kemerdekaan maupun janji-janji Jepang.”
Sukarno menjawab, “Saya minta supaya pemuda bersabar. Jangan lupa, baru tiga hari lalu saya dan Bung Hatta diberikan jaminan oleh Terauchi.
Tapi bukan “bersabar” yang diinginkan pemuda. Satu di antara mereka berseru, “Kita kobarkan revolusi malam ini juga. Kita sudah memiliki pasukan PETA, pasukan pemuda, Barisan Pelopor, bahkan Heiho sudah siap. Dengan satu isyarat dari Bung Karno, seluruh Jakarta pasti akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung Jakarta, melancarkan revolusi bersenjata serta menjungkirkan seluruh pertahanan tentara Jepang.
ADVERTISEMENT
Wikana terus mendesak dan meyakinkan Sukarno bahwa semua perangkat untuk mengobarkan api revolusi sudah siap sedia, termasuk komitmen ribuan pemuda yang berani mengorbankan nyawa asalkan mereka mati sebagai warga sebuah negara merdeka.
Sukarno berkata perlahan, “Saya tahu kalian mengadakan rapat-rapat rahasia selama ini. Akan tetapi, kalian tidak kompak. Tidak ada persatuan di antara kalian semua. Ada golongan kiri, ada golongan Sjahrir, golongan intelektual. Semua membikin keputusan sendiri-sendiri terlepas dari yang lain. Masalah kemerdekaan adalah masalah besar, karena itu kita harus menyediakan waktu untuk mendapatkan jalan keluar menurut pertimbangan akal.”
Wikana menyanggah, “Tapi Bung, kita harus merebut kekuasaan di saat Jepang sedang dalam keadaan kebingungan. Kita harus segera melakukannya di saat Jepang tidak bisa mengambil keputusan apakah harus menghancurkan atau membiarkan kita. Bagaimanapun Jepang sudah kalah dan sebelum ada rencananya yang konkret, kita harus bertindak di luar dugaan mereka.”
ADVERTISEMENT
Bagi Sukarno malam itu, “tindakan di luar dugaan” ala kelompok muda, tak diperlukan. Sebab kemerdekaan sudah pasti akan terjadi dan justru karena itulah persiapan menuju merdeka sedang dilakukan PPKI.
Selain itu, Sukarno ragu dengan kesiapan revolusi di daerah-daerah. Ia menganggap para pemuda hanya berkonsentrasi pada Jakarta.
“Taruhlah kalian dapat mengobarkan revolusi di Jakarta, tapi bagaimana dengan di tempat-tempat lain yang jauh letaknya dari Jakarta, hah? Engkau semua tidak tahu, bukankah begitu? Bahkan, tidak seorang pun punya pikiran sampai ke sana? Benarkah perkiraanku? … Indonesia meliputi suatu wilayah yang jauh lebih luas daripada sekadar lingkungan istana atau kota Jakarta. Tidakkah kalian menyadari semua ini?” cecar Sukarno.
Bung Karno dan Bung Hatta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Bung Karno dan Bung Hatta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Satu jam sudah, dan perdebatan kian panas. Sukarno dan para pemuda berkeras hati mempertahankan pendirian masing-masing. Saat itulah, sekitar pukul 23.00 WIB, Hatta tiba.
ADVERTISEMENT
Hatta berusaha mendinginkan suasana. “Sebaiknya menunggu berita resmi penyerahan Jepang dan mendengarkan bagaimana pikiran Gunseikan (pemerintah militer Jepang) dan Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum) tentang kemerdekaan yang mereka janjikan.”
“Kami tetap ingin kemerdekaan Indonesia diproklamasikan malam ini juga,” tegas Wikana.
Hatta mulai kehilangan kesabaran, didesak didorong sedemikian rupa oleh para pemuda yang berusia sekitar 10 tahun lebih muda darinya dan Sukarno.
“Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas, hanya dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara,” kata Hatta.
ADVERTISEMENT
Pada puncak ketegangan, insiden “pisau berkilat” yang terhunus pun terjadi--dan direspons Sukarno dengan keras.
Sukarno bangkit dari kursi, sembari berseru, “Jangan aku diancam, jangan aku diperintah. Lakukan saja apa yang kalian inginkan. Pantang bagiku menuruti perintahmu! Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok pagi!”
Wikana sang juru bicara pemuda pun terperanjat, tak menyangka desakan itu membuat kekesalan Sukarno naik ke ubun-ubun.
Ia berkata, “Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro-Belanda.”
Semua lantas diam, dan suasana mendadak hening selama beberapa waktu.
ADVERTISEMENT
Malam terus merayap, dan Sukarno-Hatta tetap pada pendirian mereka, tak goyah dengan tekanan pemuda.
“Yang paling penting dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon, aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijatuhkan tanggal 17 Agustus,” kata Hatta, menutup malam.
Sumber: Buku Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan oleh Bernhard Dam, Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi oleh Osa Kurniawan Ilham, Autobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku, Djakarta 1945: Awal Revolusi Kemerdekaan oleh Julius Pour, dan lain-lain.
Untuk anda yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkungan sekitar, sila berbagi cerita via akun kumparan.
Jika belum punya akun kumparan, bisa buat dengan mudah. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
ADVERTISEMENT
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.