Politikus Bernama Black Panther

22 Februari 2018 20:59 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Black Panther (Foto: Dokumentasi IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
Black Panther (Foto: Dokumentasi IMDb)
ADVERTISEMENT
Kira-kira 19 hari sejak Presiden AS Donald Trump menyebut Haiti dan negara-negara di Afrika dengan umpatan “shithole” pada 10 Januari 2018, film Black Panther dirilis.
ADVERTISEMENT
Shithole adalah umpatan yang sangat kasar--suatu penghinaan besar. Jika diartikan secara harfiah, umpatan itu berarti “lubang kotoran”. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, kata itu adalah ungkapan untuk sesuatu yang sangat kotor, atau tempat yang tidak menyenangkan.
Black Panther datang di waktu tepat untuk mencuci mulut kotor Trump dengan ungkapan metafora politis yang jauh lebih berwibawa, cerdas, dan tentu saja ngena sekali. Berbagai ulasan tentang film ini hampir tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan nilai politisnya, dan justru di situlah ia karenanya banyak disanjung: politik identitas.
Ini adalah film superhero pertama Marvel yang penulis naskah, sutradara, dan pemain utamanya dilakoni orang-orang kulit hitam. Black Panther berkisah tentang kiprah para elite di sebuah negara orang kulit hitam yang makmur dengan teknologi paling canggih di dunia.
ADVERTISEMENT
“Aku merasa seperti, ‘ini sesuatu yang besar’. Aku belum pernah berada di dalam sebuah studio dengan begitu banyak orang-orang kulit hitam sebelumnya,” kata Lupita Nyong’o yang berperan sebagai Nakia, dalam wawancara dengan New York Times, 12 Februari 2018.
Negeri orang kulit hitam itu berdiri di antara tebing dan bukit menjulang, serta rimba pepohonan dan air terjun. Luas negeri ini relatif kecil dan berdekatan dengan Danau Kivu, satu di antara danau besar di Afrika. Ia berbagi perbatasan dengan Uganda di utara dan timur, Rwanda di selatan, dan Republik Demokratik Kongo di barat.
Ia bernama Wakanda.
T'Challa Black Panther
zoom-in-whitePerbesar
T'Challa Black Panther
Di mata dunia internasional, Wakanda hanya sebuah negara dunia ketiga dengan penduduk kulit hitam yang lekat dengan cakrawala kemiskinan, bencana kelaparan, dan konflik. Masyarakat Wakanda bahkan digambarkan Ulysses Klaue, seorang pelaku black market asal AS yang diperankan Andy Serkis, sebagai barbar alias tak beradab.
ADVERTISEMENT
Kisah Black Panther beserta Wakanda itu memang fiksi belaka. Black Panther diciptakan pertama kali oleh Stan Lee dan Jack Kirby pada 1966 sebagai salah satu tokoh komik Marvel. Tampil perdana dalam komik Fantastic Four #52, Black Panther merupakan tokoh superhero kulit hitam pertama dan diciptakan dengan kesadaran politis.
Tetapi toh meski fiksi, ia tetap memiliki kebenarannya sendiri. Memang--mengutip pakar kajian gender, poskolonialisme, dan budaya Profesor Melani Budianta--bukan kebenaran secara tulen. Tapi kisah itu memiliki kebenaran secara simbolis dan metaforis sebagai inti esensi di balik rekaan yang disampaikan.
Kebenaran pertama, misalnya, penciptaan Black Panther sebagai bentuk narasi tandingan atas imajinasi rasialisme orang-orang kulit putih. Bagi Stan Lee dan Jack Kirby, superhero mestinya bukan cuma seseorang yang bisa menghajar penjahat. Tetapi juga mampu menghajar ide rasialisme yang merendahkan orang kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Barat--dan yang kerap secara arbitrer menunjuk Barat berarti menunjuk orang kulit putih atau ras Kaukasia--orang-orang kulit hitam direpresentasikan lebih dekat sebagai jahat atau orang jahat.
Berlaku bias pandangan umum bahwa yang bukan orang kulit putih (yang-lain) tidak lebih beradab dari orang-orang kulit putih. Supremasi kulit putih ini dibangun melalui praktik kolonialisme dan imperialisme selama ratusan tahun. Negara-negara berpenduduk kulit berwarna dijajah, kekayaan alamnya dirampok, dan masyarakatnya diperbudak.
Dalam percakapan dengan Carvell Wallace (seorang jurnalis dan penulis keturunan Afrika yang tinggal di Oakland, AS), sutradara Black Panther Ryan Coogler menceritakan pengalamannya ketika berbincang dengan orang tuanya tentang cara menghadapi dunia sebagai seorang warga kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Saat itu Coogler mengajukan pertanyaan terkait identitas: apa artinya menjadi orang kulit hitam atau Afrika?
Coogler lantas menirukan jawaban dari orang tuanya. “Kamu tahu, kamu harus melakukan percakapan tentang ras. Dan kamu tidak dapat membicarakan soal rasialisme tanpa berbicara tentang perbudakan. Dan dengan membicarakan perbudakan itu memunculkan pertanyaan, ‘Oke jadi bagaimana sebelumnya?’”
Ketika mengajukan pertanyaan terakhir itu, orang tuanya menjelaskan sebuah tempat yang pada akhirnya akan bermula di Afrika. Sebab itu, Coogler tampak fasih benar membubuhkan pandangan politik dalam Black Panther. Pandangan politik itu bahkan langsung dimunculkan sejak film ini bermula di sebuah lapangan di Oakland, AS.
ADVERTISEMENT
Oakland ialah tempat kelahiran Coogler pada 1986. Oakland juga menjadi latar tempat dalam film debutnya, Fruitvale Station (2013). Fruitvale Station mengangkat kisah nyata tentang kematian seorang kulit hitam bernama Oscar Grant. Laki-laki 22 tahun itu ditembak oleh polisi pada pagi hari di awal Tahun Baru 2009.
Penembakan polisi secara serampangan kepada warga kulit hitam di AS kerap dipandang sebagai bentuk kuatnya arogansi kulit putih yang diakibatkan oleh ketimpangan kedudukan sosial.
Oscar ditembak dalam keadaan tangan diborgol, tak bersenjata, dan sikap badan menunduk yang artinya: tidak melawan. Kematian Oscar pun memicu kesedihan, kemarahan, dan protes dari masyarakat.
Black Lives Matter (Foto: Instagram @blklivesmatter)
zoom-in-whitePerbesar
Black Lives Matter (Foto: Instagram @blklivesmatter)
Saat itu merupakan tahun ketika Black Lives Matter belum menjadi gerakan terpadu seperti pada 2013. Black Lives Matter dimulai sebagai ajakan bertindak untuk menanggapi kekerasan yang dilakukan oleh negara dan rasialisme anti-orang kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Tujuannya untuk menghubungkan orang-orang kulit hitam di seluruh dunia yang memiliki keinginan bersama untuk menuntut keadilan. Namun, solidaritas yang terbangun tidak terbatas pada orang kulit hitam, melainkan semua orang yang juga menentang rasialisme.
Oakland juga tempat lahirnya organisasi Black Panther pada 1966. Organisasi tersebut bagian dari gerakan hak-hak sipil Amerika. Pada 15 Oktober 1966, Black Panther untuk pertama kalinya berpatroli memantau perilaku petugas kepolisian di Oakland dan menentang kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam.
Itu sebabnya, kita bisa melihat keseriusan Coogler menggarap Black Panther. Apalagi ia mempertimbangkan pentingnya posisi Marvel Cinematic Universe (MCU) khususnya, dan tentu saja Hollywood pada umumnya.
“Ini adalah kali kedua saya bekerja dalam sistem studio. Mereka bilang itu sistem studio, tapi sebenarnya sistem orang-orang. Ini adalah siapa yang menjalankan studio, dan bagaimana mereka menjalankannya,” kata Coogler, Senin (12/2).
ADVERTISEMENT
“Ketika Anda melihat Disney, ini adalah tempat yang tertarik pada representasi, bukan hanya demi representasi. Karena representasi itulah yang berhasil, yang akan membuat sesuatu berkualitas yang akan dipeluk dunia. Itulah yang menyebabkan kesuksesan.”
Pada lain kesempatan, Coogler juga menyinggung pentingnya film superhero sebagai medium dalam menyampaikan mitos-mitos baru. Dan setiap pembuatan mitos selalu mengandung siratan atau tindakan politik tertentu.
“Itu sebabnya film-film ini menghasilkan banyak uang. Itulah mengapa orang membicarakannya. Anda tahu apa yang saya maksud--orang-orang berpakaian seperti mereka (para aktor-aktris),” kata Coogler dikutip National Public Radio, Minggu (18/2).
“Ada khalayak yang besar--tidak hanya orang-orang kulit berwarna, tapi setiap orang--yang ingin melihat perspektif yang berbeda dalam pembuatan mitos ini. Mereka ingin melihat sesuatu yang segar, mereka ingin melihat sesuatu yang baru, tapi juga terasa sangat nyata.”
T'Challa di film 'Black Panther'. (Foto: Marvel Studios)
zoom-in-whitePerbesar
T'Challa di film 'Black Panther'. (Foto: Marvel Studios)
Setelah bagian pembuka di Oakland, Black Panther beranjak ke Wakanda. Di sana T’Challa (Chadwick Boseman) dinobatkan sebagai pemimpin Wakanda menggantikan ayahnya, T’Chaka, yang meninggal karena serangan teroris ketika berada di kantor PBB di Wina, Austria.
ADVERTISEMENT
Misi pertama T’Challa adalah menggagalkan perdagangan manusia yang diselundupkan melalui hutan belantara di Nigeria. Saat operasi itu berlangsung, T’Challa bertemu Nakia (Lupita Nyong'o) yang sedang menyamar menjadi salah satu orang yang diselundupkan.
Nakia merupakan mata-mata Wakanda dengan daerah operasi di berbagai negara. Pertemuan T’Challa dan Nakia dalam misi tersebut menguak sikap politis selanjutnya dari Black Panther.
Saat itu Nakia menganggap T’Challa telah menggagalkan misinya. Kemudian kepada T’Challa, berdasarkan pengalamannya di berbagai negara, Nakia mempertanyakan sikap negara Wakanda selama ini yang menutup diri dari dunia luar.
“Wakanda cukup kuat untuk membantu orang lain dan melindungi dirinya sendiri,” kata Nakia.
Wakanda yang makmur dan berteknologi paling canggih di dunia itu memang memiliki sumber daya alam paling hebat sejagat Marvel, yakni vibranium. Dengan vibranium, Wakanda menjadi negara yang tidak akan dapat disamai oleh negara apa pun, termasuk Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Alasan Wakanda menutup diri dari dunia luar adalah agar tidak ada orang luar (outsider) atau satu pun negara lain yang tahu kekayaan sesungguhnya yang dimiliki Wakanda. Masa bodoh negara lain menganggap Wakanda hanya sebagai negara dunia ketiga.
Mereka khawatir jika orang luar mengetahui kekayaan tersebut, akan muncul upaya penjajahan (untuk kali pertama) atas Wakanda. Problem itu kemudian menjadi kompleksitas yang dibangun melalui konflik internal di antara orang-orang Wakanda itu sendiri.
Muncul Erik “Killmonger” Stevens (Michael B. Jordan) yang ingin merebut kekuasaan T’Challa. Sikap politik Killmonger didukung oleh W’Kabi (Daniel Kaluuya) yang merupakan pemimpin suku perbatasan Wakanda.
T'Chaka dan Killmonger dalam Black Panther (Foto: Instagram @blackpanther)
zoom-in-whitePerbesar
T'Chaka dan Killmonger dalam Black Panther (Foto: Instagram @blackpanther)
Killmonger memiliki alasan kuat dan rasional untuk merebut kekuasaan. Ia ingin Wakanda bertindak membela dan membantu orang-orang kulit hitam di luar Wakanda yang masih mengalami perlakuan diskriminatif atau berada di garis kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Ia sendiri merupakan warga Wakanda asli yang pernah dibuang di Oakland ketika T’Chaka membunuh ayahnya. Killmonger pun sempat menyinggung absennya peran Wakanda ketika terjadi gelombang gerakan hak-hak sipil di Amerika.
Namun, alasan Killmonger untuk berkuasa tak dapat dibenarkan. Ia ingin menaklukkan dunia. Kepada dunia, ia hendak menunjukkan bahwa orang kulit hitam adalah superior. Sikap itu dengan sendirinya berarti hanya membalik peran: ia yang tertindas ingin menjadi penindas sebagai pembalasan.
Soal bahaya pembalikan peran ini mengingatkan kita, misalnya, dengan Paulo Freire--seorang filsuf pendidikan asal Brasil. Dalam konsep pendidikan pembebasan, Freire menyatakan kerap kali pembebasan digagalkan oleh kaum tertindas itu sendiri yang sudah bebas, namun kemudian terdorong untuk meniru tindakan-tindakan penindasnya.
Melalui problem ini, Black Panther membuka percakapan tentang keberpihakan.
ADVERTISEMENT
Bagi T’Challa dan elite Wakanda lainnya, tugas mereka adalah melindungi Wakanda dari orang luar. Wakanda adalah prioritas pertama. Sikap itu mirip-mirip dengan slogan President AS Woodrow Wilson pada Pemilu 1916, yang digunakan kembali oleh Trump pada pelantikannya sebagai presiden pada 2017: America First.
Kita tentu bisa menerka maksud Coogler membuka percakapan atas problem tersebut: bahwa di dunia modern yang batas-batasnya kian kabur ini, sikap chauvinisme macam itu tak lagi relevan.
Kondisi global saat ini tengah menggedor kesadaran umat manusia untuk pertama-tama bersikap sebagai warga dunia. Kepedulian bukan lagi berbasis dari negara asal atau yang biasa kita kenal dengan istilah ‘tanah tumpah darah’, melainkan dari kesadaran moral sebagai umat manusia yang bermukim di Bumi.
ADVERTISEMENT
Pesan anti-kolonialisme yang diajukan Black Panther berarti juga anti-penindasan.
Semua pesan itu disampaikan melalui tokoh superhero kulit hitam. Black Panther menjadi alternatif atas tokoh-tokoh pahlawan Hollywood yang selama ini begitu ‘putih’. Berbeda dengan film superhero lain yang menempatkan orang kulit hitam sebagai pendukung tokoh utama yang diperankan orang kulit putih.
Tokoh perempuan 'Black Panther' (Foto: Dok. Disney Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh perempuan 'Black Panther' (Foto: Dok. Disney Indonesia)
Black Panther tampil sebagai penantang wacana yang menganggap orang kulit hitam tidak bisa berperan dalam perkembangan tekonologi, dan tidak dapat menyamai (atau mengungguli) kemakmuran dan peradaban kulit putih.
Sentilan itu bahkan disampaikan tanpa tedeng aling-aling ketika tokoh Shuri (Letitia Wright), adik T’Challa, menyebut Everett K. Ross (Martin Freeman) sebagai penjajah. Ross merupakan agen CIA yang terluka dan dibawa T’Challa ke Wakanda untuk penyembuhan.
ADVERTISEMENT
Tampilnya Ross membantu T’Challa menghadapi pengkhianatan Killmonger dan W’Kabi menggambarkan kerendahhatian T’Challa dan elite Wakanda lain untuk bersedia menerima bantuan outsider.
Begitu pun sebaliknya, keberpihakan Ross melemahkan anggapan--setidaknya untuk Shuri--yang menyebut outsider atau warga kulit putih AS sebagai penjajah. Atau setidaknya yang berpotensi besar menjajah jika mengetahui kekayaan Wakanda.
Kompleksitas dan kecerdasan persoalan yang diangkat itulah yang membuat kritikus film di The Atlantic Christhoper Orr menyebut Black Panther berbeda dengan film superhero lain yang juga mengangkat masalah politik.
“Film superhero lain telah berkecimpung dalam gagasan besar--trilogi Dark Knight terutama, dan X-Men pada tingkat yang lebih rendah. Namun, komitmen mereka terhadap pertanyaan moral dan politik yang mereka renungkan relatif serampangan atau perifer,” kata Orr dalam Black Panther Is More Than a Superhero Movie.
ADVERTISEMENT
“Argumen yang dipikirkan Black Panther dengan sendirinya sangat penting bagi arsitekturnya, sebuah tulang belakang narasi yang membentang dari adegan pertama sampai terakhir.”
Tokoh wanita di Film 'Black Panther' (Foto: Facebook @BlackPantherMovie)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh wanita di Film 'Black Panther' (Foto: Facebook @BlackPantherMovie)
Seolah belum puas, Coogler juga menampilkan tokoh-tokoh perempuan dalam Black Panther yang bukan menjadi objek laki-laki. Bukan pula tokoh yang kehadirannya hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki. Deretan tokoh perempuan dalam Black Panther memiliki peran kuat dan seandainya tidak ada, maka T’Challa pun tidak akan ada.
Shuri berperan penting sebagai inventor paling hebat di Wakanda. Semua teknologi yang digunakan T’Challa merupakan buatannya. Ini menggarisbawahi bahwa para penemu hebat di dunia tak selalu laki-laki. Shuri bisa saja menjadi simbol untuk merevisi tatanan keilmuan yang melulu dituturkan (berperspektif) laki-laki.
Nakia sebagai agen rahasia dan Okoye (Danai Gurira) sebagai panglima angkatan perang Wakanda juga seolah hendak menggoyang klaim lemah yang menyebut, tugas untuk menjaga kedaulatan negara (atau secara luas rumah tangga) mesti dilakukan oleh laki-laki yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas.
ADVERTISEMENT
Sepanjang cerita Black Panther, kita diperlihatkan kerja sama antara tokoh T’Challa, Shuri, Nakia dan Okoye. Semua peran itu tanpa tendensi untuk bersikap ‘anti-laki-laki’.
Tak berlebihan kiranya mengamini komentar Ann Hornaday, kritikus film The Washington Post, yang mengemukakan opininya dalam Black Panther is Exhilarating, Groundbreaking and More than Worth the Wait.
Black Panther menjadi sesuatu yang lebih dalam dari formasi satu superhero belaka, yang melibatkan subjek seperti: warisan kolonialisme, memori kolektif, kekayaan bentang alam; ketegangan antara otonomi dan kesadaran sosial; dan kebutuhan untuk bersolidaritas politik atau budaya di antara diaspora orang-orang Afrika,” kata Hornaday.
T'Challa di film 'Black Panther' (Foto: Marvel Studios)
zoom-in-whitePerbesar
T'Challa di film 'Black Panther' (Foto: Marvel Studios)
Pada akhirnya, mengikuti kritikus film Jake Coyle, Black Panther berdiri untuk segalanya yang hilang dari semesta Marvel dan Hollywood. Melalui Black Panther pula, imajinasi tentang seni afrofuturisme diperkaya. Kini, anak-anak kulit hitam memiliki superhero-nya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bila Franzt Fanon menulis The Wretched of the Earth pada 1961 guna mengabarkan jahatnya kolonialisme sekaligus menjadikannya buku pegangan untuk revolusi orang-orang kulit hitam, Black Panther-nya Coogler tampak seperti seruan bahwa ketakutan pada ‘yang-lain’ bukan alasan untuk menutup diri, dan keadilan masih perlu diupayakan atas nama kemanusiaan itu sendiri.
===============
Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.