Belajar dari Kerumunan Kader Partai Bermerek Demokrasi

Wanda
Suka nonton Babadook.
Konten dari Pengguna
1 Juni 2018 23:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerumunan. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerumunan. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tindakan premanisme kerumunan berstatus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap surat kabar Radar Bogor menunjukkan dua hal. Pertama, kader tak paham arti ‘demokrasi’ yang menjadi merek partainya. Kedua, kerumunan kader itu miniatur dari kecenderungan partai politik di Indonesia saat ini: tanpa ideologi.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara premanisme itu, Sekretaris Fraksi PDIP bahkan mengiaskan serangan terhadap demokrasi sebagai kewajaran. “Kalau pemberitaan kayak gitu, saya khawatir itu kantornya rata dengan tanah.”
Tampak relasi antara kerumunan kader dengan elite partai seperti sebuah anggapan yang tak dinyatakan namun dipraktikkan: anak-anak merupakan orangtua dalam bentuk kecil.
Terlibat dalam sebuah partai politik di Indonesia saat ini adalah tanda bahwa anda menjadi bagian dari sebuah kerumunan, tetapi belum tentu tanda bahwa anda memahami ideologi. Nama dan simbol antara satu partai dengan yang lain memang berbeda-beda dan terkadang mirip-mirip juga. Tetapi bukan berarti itu representasi ideologi tertentu.
Ketika tak lagi cocok dengan kawan koalisi, partai akan mendekati partai yang lain dengan hitung-hitungan jual-beli elektabilitas dan proyek. Mata uangnya bukan pertukaran pikiran soal yang adil. Sebagai organisasi publik, berbicara soal yang adil pun sudah pada dirinya sendiri bukan keadilan bagi oligarki.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seorang tokoh sebuah partai yang mempromosikan diri menjadi calon wakil presiden untuk partai penguasa. Namun ia tak keberatan harus berpaling ke partai oposisi jika promosinya ditolak — asalkan bersama oposisi tetap menguntungkan posisinya.
Dalam tingkat individu juga berlaku kecenderungan serupa. Seorang kader sebuah partai dapat bertualang ke partai lainnya, sebab berbeda nama hingga AD/ART partai bukan berarti secara radikal berbeda prinsip.
Partai dengan merek 'demokrasi' tak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak fasistik atau paling tidak proto-fasistik. Partai dengan merek 'nasionalis' tak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak chauvinistik atau etnosentrik.
Partai dengan merek 'agama' tidak peduli jika kebijakan partai dan tingkah kadernya berwatak destruktif. Dan seterusnya. Yang dipedulikan dan menjadikannya satu dimensi adalah kepentingan oligarki. Caranya serba manipulatif.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, keliru jika membayangkan persaingan partai politik dapat menjadi tulang punggung kecerdasan demokrasi, atau sebaliknya — membuat sistem kepartaian centang-perenang. Seperti perusahaan multinasional dalam bentuk lain, partai-partai menerapkan joint ventures.
Bukan saling depak, melainkan saling papah untuk mempertahankan status quo itu. Mereka cukup rasional untuk mempertahankan kondisi di mana kerumunan dapat dipengaruhi, diinventarisir, dan dimekaniskan sebagai mesin pencetak uang.
Selama pendidikan politik dan ideologi dilepas dari praktik kaderisasi dan kebijakan partai politik, maka selama itu pula rezim demokrasi yang disebut Platon sebagai rezim “Bazaar of Constitutions” atau pasar hukum akan dibajak oleh oligarki untuk menerapkan segala aturan yang hanya cocok dan menyenangkan kepentingannya.