Pekerja yang Tak Mampu Menghitung Upah Per Jam

Wanda
Suka nonton Babadook.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2018 22:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja yang Tak Mampu Menghitung Upah Per Jam
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Belum pernah aku menghitung upah per jam sejak hari pertama bekerja. Tetapi aku selalu berusaha membatasi pengeluaran setiap hari agar jangan lebih dari dua puluh ribu rupiah. Jumlah itu dibagi dua untuk ongkos makan dua kali sehari, tentu tidak termasuk ongkos transportasi.
ADVERTISEMENT
Kerap kali sulit juga agar tak menembus batas yang sudah ditentukan itu. Tetapi tak pernah jadi soal buatku, karena kelebihannya tidak banyak dan aku jarang sekali menggunakan upah untuk ongkos makan atau senang-senang berbiaya tinggi.
Kembali ke soal upah per jam, aku menghitungnya berdasarkan rumus seperti yang dibahas Fajar Widi.
Upah per bulan adalah lima juta rupiah. Maka lima juta rupiah dibagi tiga puluh hari sama dengan seratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam koma enam enam enam dan seterusnya rupiah.
Dari jumlah seratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam koma enam enam enam dan seterusnya rupiah itu kemudian dibagi dua puluh empat jam. Hasilnya adalah enam ribu sembilan ratus empat puluh empat koma empat empat empat dan seterusnya rupiah.
ADVERTISEMENT
Jadi itulah jumlah upahku per jam. Dari jumlah itu jika dikali sepuluh jam kerja dalam sehari, hasilnya adalah enam puluh sembilan ribu empat ratus empat puluh empat koma empat empat empat dan seterusnya rupiah. Tetapi sepuluh itu hanya jam kerja formal, di luar itu biasanya masih ada pekerjaan yang perlu dibawa pulang.
Aku tidak tahu bagaimana mengartikan antara pengeluaran per hari dan upah per hari itu. Aku tidak pandai matematika atau ilmu ekonomi. Seseorang perlu memberitahuku sebuah rumus soal ini, seperti yang dilakukan Fajar Widi. Tetapi aku pikir, aku cukup bebal untuk memahami persoalan ini.
Aku hanya akan menghitung ongkos sewa pondokan dan membeli lima sampai sepuluh buah buku setiap bulan saat upahku tiba di rekening. Tidak pernah otakku yang bebal ini memikirkan ongkos-ongkos yang lain.
ADVERTISEMENT
Setiap hari kerja, aku hanya memikirkan ongkos dan upah untuk jumlah halaman buku yang dapat aku baca, jumlah kalimat pada buku yang dapat aku cerna dan ingat, jumlah pengetahuan baru yang dapat aku pahami, jumlah kata yang dapat aku tulis, dan seterusnya tentang menghabiskan waktu dengan buku. Tanpa mengupayakan itu semua, aku merasa kurang menjadi manusia.
Bagiku itulah upah sebenarnya dari pekerjaan yang juga sebenarnya. Sebuah teks pernah berkata padaku, bekerja berarti merealisasikan diri. Jika sesuatu yang aku kerjakan terlepas dari diriku atau aku terasing dengan pekerjaan dan hasilnya, itu namanya, kata teks itu, bukan bekerja. Melainkan memperbudak diriku sendiri.
Kadang-kadang aku menyadari, kecintaan pada membaca dan menulis membuatku rela untuk kelaparan. Bahkan sering saat aku kuliah dulu, uang saku yang dikirimkan orang tuaku hanya akan tersisa lima belas sampai dua puluh ribu rupiah, padahal awal bulan masih sepuluh hari lagi.
ADVERTISEMENT
Bukan karena mereka tak mampu memenuhi kebutuhanku. Uang yang dikirimkan tentu cukup, hanya saja aku menggunakannya untuk belanja banyak buku. Jadi dua puluh ribu rupiah aku gunakan untuk bertahan hidup selama sepuluh hari. Aku lebih cemas menjadi bodoh daripada kelaparan.
Kelaparan membuat kesadaran, dalam arti paling psikologis, menjadi lebih tahan lama dan kuat. Tetapi justru ketahanan dan kekuatan itu memberi lebih banyak impresi pada kelaparan.
Sehingga rasa lapar akan semakin meradikalkan dirinya. Dan si pelapar ditarik ke dalam kategori horizontal yang ukuran bentangannya bahkan lebih pendek dari pergantian hari. Lapar sebagai kata benda — yang menunjukkan jarak antara subjek-ada dan objek-tubuh — saat itu tengah melewati teritorinya dan mengubahnya menjadi peristiwa kelaparan.
ADVERTISEMENT
Dalam peristiwa ini, pemeriksaan terhadap kemungkinan-kemungkinan dikucilkan dalam pertunjukkan sejarah antara ketakterbatasan simulasi dengan keterbatasan potensi.
Kelaparan menggedor kesadaran akan ketubuhan. Kesadaran akan ketubuhan mendorong produksi pertanyaan dalam kepalaku semakin ramai dan radikal: soal penindasan, ketimpangan kelas, relasi sosial, pengetahuan, tanda, bahasa, proses biologi, sejarah, mitos, suara, ketuhanan, kebijaksanaan, ruang, waktu, martabat, seksualitas, kebebasan, hukuman, kejahatan, kebaikan, pikiran, tubuh, penyakit, kesehatan, nilai tukar, kematian, kelahiran, dan seterusnya, dan seterusnya.