Menggagas Sistem Perbankan dan Cryptocurrency Antiterorisme

Wani Sabu, SH, MM
Praktisi Perbankan - Ketua Komite Cyber Security Perbanas - Program Studi Doktoral S3 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
Konten dari Pengguna
27 September 2023 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
912
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wani Sabu, SH, MM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Crypto. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Crypto. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terorisme adalah kejahatan terorganisir dan transnasional terhadap kemanusiaan yang mengancam perdamaian dan keamanan di seluruh dunia. Terorisme menggunakan ancaman atau kekerasan terencana oleh individu atau kelompok sub-nasional untuk tujuan politik atau sosial. mereka melakukan intimidasi terhadap banyak masyarakat, bukan hanya korban langsung (Djelantik, 2010). Terorisme sangat terorganisir, tangguh, ekstrem, eksklusif, dan tertutup, dan memiliki pasukan khusus dan dukungan finansial yang signifikan (Spertzel, 2002).
ADVERTISEMENT
Sebagai dukungan finansial, lembaga keuangan sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme, karena tersedia banyak pilihan transaksi bagi pelaku pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam upaya melancarkan tindak kejahatannya. Lembaga keuangan seperti perbankan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku kejahatan.
Pada tahun 2021 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan ada sebanyak 261 laporan transaksi bank yang terindikasi berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT). Hal ini berdasarkan analisis PPATK terhadap 5.000 laporan yang diterima selama lima tahun terakhir. PPATK sudah mengeluarkan sekitar 261 informasi mengenai pendanaan terorisme atau bahkan radikalisme ke berbagai lembaga seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Densus 88, juga kepolisian secara umum.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia penanganan pencegahan pendanaan terorisme ini kembali dikuatkan melalui pengesahan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Selain itu terdapat pula Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum; dan Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor KEP-13/1.02.2/PPATK/02/08 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Selain berbagai peraturan perundang-undangan di atas, masih banyak lagi peraturan lain yang berkenaan dengan upaya penanganan terorisme ini. Kebanyakan peraturan tersebut, mengatur tentang perbankan yang berkaitan dengan upaya pencegahan tindak pidana terorisme.
Kegiatan terorisme tanpa unsur pendanaan akan tumpul, sehingga hukum perbankan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme mutlak diciptakan secara lebih saksama sehingga mampu memberikan inspirasi agar bank berinisiatif melakukan deteksi dini dan Bank Indonesia harus memperkuat unit penyidik perbankan sepanjang ada tindak pidana perbankan (Purwanto 2010: 28).
ADVERTISEMENT
Teroris cenderung membagi-bagi dana mereka dalam jumlah kecil agar sulit terdeteksi. Sistem perbankan mungkin tidak selalu efektif dalam mendeteksi transaksi-transaksi kecil ini karena lebih berfokus pada transaksi besar yang mencurigakan. Identifikasi pemilik rekening bank yang sebenarnya bisa sulit, terutama jika teroris menggunakan identitas palsu atau mengakses rekening atas nama orang lain untuk melakukan transaksi. Meskipun bank diwajibkan untuk melaporkan transaksi mencurigakan kepada otoritas yang berwenang, belum tentu semua bank melakukannya dengan benar. Ada kemungkinan bahwa beberapa bank tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pelaporan yang diperlukan.
Teroris dapat memanfaatkan berbagai produk perbankan dan platform pembayaran elektronik untuk melakukan "lompatan transaksi," yaitu memindahkan dana mereka melalui beberapa rekening atau layanan untuk menyembunyikan jejak mereka. Di sisi lain sumber daya manusia di dalam perbankan mungkin tidak selalu memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mendeteksi transaksi terorisme atau pemahaman yang cukup tentang indikator-indikator yang mencurigakan. Produk-produk keuangan yang kompleks, seperti asuransi investasi dan produk-produk derivatif, dapat digunakan oleh teroris untuk menyembunyikan sumber dana mereka.
ADVERTISEMENT
Erwin Asmadi (2016) menyatakan bahwa, mengingat perkembangan tindak pidana terorisme yang diikuti pendanaan teroris semakin tinggi, maka perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional, serta penyempurnaan penerapan prinsip mengenal nasabah oleh pihak perbankan. Selain itu saat ini aktivitas pendanaan organisasi teroris semakin kompleks yang mencakup area pendanaan tradisional dan digital.
Napi terorisme membaca Ikrar Setia NKRI. Foto: Kemenkumham Jabar
Perkembangan teknologi yang cepat juga memunculkan tantangan baru. Teroris dapat memanfaatkan mata uang kripto dan teknologi anonimitas untuk menyembunyikan pendanaan mereka. Cryptocurrency menjadi objek kontroversial pada dalam aktivitas legal maupun ilegal. Popularitasnya menjulang ketika harganya yang semakin tinggi dalam aset perdagangan. Dalam penelitiannya, Brown (2016) menyimpulkan bahwa cryptocurrency memiliki risiko tinggi dalam suatu aktivitas kriminal.
ADVERTISEMENT
Laporan Chainanalysis (2021) menunjukkan bahwa cryptocurrency, khususnya Bitcoin digunakan sebagai media transaksi pada beberapa tindak kejahatan di antaranya pasar darknet, ransomware, pencurian uang, penipuan, materi pelecehan anak, ekstrimis domestik dan pendanaan terorisme. Hal tersebut dikarenakan cryptocurrency memiliki persepsi luas yang ditawarkan seperti anonimitas, jangkauan global yang belum banyak diatur oleh negara, waktu transaksi yang lebih baik dan tanpa libur, serta transaksi yang sulit diakses oleh otoritas penegak hukum (McBride & Gold, 2019).
Alur pendanaan dengan cryptocurrency memiliki tiga entitas yang berperan dalam pendanaan yaitu organisasi terorisme, pengirim dan platform pertukaran cryptocurrency (exchange). Pengirim dana pada alamat cryptocurrency teroris dapat berupa organisasi/individu anggota organisasi atau publik yang mendukung gerakan organisasi yang sebelumnya membaca propaganda berita atau artikel yang sebelumnya diunggah oleh organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
Terakhir, platform pertukaran cryptocurrency yang merupakan entitas “netral” namun memiliki peran penting dalam sebagai media dalam memindahkan, menyimpan, dan menukarkan cryptocurrency. Oleh karena itu kerja sama antara penegak hukum dan pihak pertukaran cryptocurrency perlu diprioritaskan agar memudahkan pencarian identitas individu dengan organisasi teroris.
Pemerintah dapat menerapkan regulasi yang ketat terkait dengan transaksi mata uang kripto dan platform pertukaran (exchange). Hal ini termasuk mewajibkan bursa kripto untuk menerapkan prosedur KYC (Know Your Customer) yang ketat untuk mengidentifikasi pengguna mereka dan melaporkan transaksi mencurigakan kepada otoritas yang berwenang. Pemerintah juga dapat mengambil langkah untuk membatasi atau melarang mata uang kripto yang tidak terdaftar atau tidak sah, yang sulit diawasi dan sering digunakan untuk aktivitas ilegal.
ADVERTISEMENT