A Separation (2011): Lebih Dari Sekadar Drama Pegat

Konten Media Partner
13 Juli 2020 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
A Separation (2011): Lebih Dari Sekadar Drama Pegat
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Oleh: Amal Taufik
A Separation (2011) dibuka dengan adegan debat suami istri Nader (Peyman Moaadi) dan Simin (Leila Hatami) di depan hakim. Simin menggugat cerai Nader dengan alasan yang menurut saya terlalu spele: Nader tidak mau ikut dengannya pindah ke luar negeri. Nader sendiri tak mau karena ia harus menjaga ayahnya.
ADVERTISEMENT
Mereka memiliki anak perempuan berusia 11 tahun bernama Termeh (Sarina Farhadi). Simin ingin membawa serta Termeh pergi bersamanya, namun karena Nader menolak keinginan itu, dan saya tidak begitu paham bagaimana hukum di Iran, pada scene awal itu hakim akhirnya tidak bisa mengabulkan gugatan cerai yang diajukan Simin.
Cerita kemudian berlanjut di rumah mereka. Di sana muncul Razieh (Sareh Bayat), perempuan yang disewa keluarga Nader-Simin untuk mengurus ayah Nader yang menderita alzheimer. Simin sendiri akhirnya minggat dari rumah itu dan tinggal di rumah orang tuanya.
Sang sutradara, Asghar Farhadi, menampilkan Razieh sebagai sosok perempuan konservatif di Iran. Ia memegang teguh nilai-nilai agama. Bahkan ketika mengurus ayah Nader, Razieh berusaha menghindari kontak fisik secara langsung, meski akhirnya ia terpaksa harus melakukannya dengan terlebih dulu memperoleh restu dari ustaz/gurunya.
ADVERTISEMENT
Konflik diluncurkan pelan-pelan. Suatu hari Nader pulang bersama Termeh dan melihat ayahnya dalam kondisi tangan terikat di atas kasur dan uang di lacinya hilang. Sementara Razieh, yang seharusnya bekerja, malah tidak ada di rumah.
Tak lama kemudian Razieh datang. Nader yang kadung marah besar langsung mengusirnya keluar, tapi Razieh bergeming. Ia meminta gajinya pada hari itu dan Nader menolak, hingga ia terpaksa mendorong Razieh dan perempuan tersebut setelah itu diketahui mengalami keguguran.
Nader dituduh menjadi penyebab gugurnya janin yang dikandung Razieh. Tetapi Nader mengaku tidak tahu bahwa Razieh sedang hamil, bahkan ia juga menyatakan seandainya ia tahu Razieh hamil ia tidak akan mempekerjakannya. Pertanyaannya, benarkah Nader tidak tahu Razieh hamil?
ADVERTISEMENT
Sementara itu di sisi lain, kita sebagai penonton juga dibayangi pertanyaan, benarkah Razieh mencuri uang Nader?
Film ini memang bukanlah sekadar drama perceraian sebagaimana judulnya. Ia lebih kompleks daripada itu. Ia juga memaparkan sebuah benturan kelas, dekonstruksi nilai, gender equality, dan banyak lagi.
Keluarga Nader-Simin merupakan representasi dari keluarga kelas menengah modern di Iran. Mereka berdua setara secara pendidikan dan finansial. Simin enggan tunduk penuh terhadap Nader, yang menunjukkan bahwa ia tak lagi terikat dengan nilai-nilai agama yang menganggap suami adalah segalanya.
Sementara keluarga Razieh adalah potret keluarga konservatif di Iran yang teguh memegang nilai agama. Razieh sangat tunduk kepada suaminya, Hojat (Shahab Hosseini). Walaupun sang suami lama menganggur dan ngamukan, Razieh tetap menganggap Hojat adalah segala-galanya.
ADVERTISEMENT
Kedua kelas ini dibentur dan kacaukan oleh Farhadi.
Farhadi nampaknya coba melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai yang dianut dua kelas tersebut. Ia secara tegas menyodorkan pembacaan ulang teks dan konteks atas keluarga Hojat-Razieh dan keluarga Nader-Simin.
Teori dekonstruksi menginginkan cara berpikir untuk menggoyang makna “teks” yang dianggap sudah mapan, atau bahkan absolut. Jika ditarik pada film ini, Farhadi ingin bermain-main atau mungkin—bila boleh disebut secara terang-terangan—ingin membongkar nilai-nilai yang sebelumnya telah melekat pada masing-masing keluarga.
Dalam konteks gender, misalnya. Razieh dan Simin memegang peranan penting dalam mengatasi permasalahan masing-masing keluarga. Sedangkan Nader dan Hojat tampil sebagai laki-laki dengan ego yang begitu besar dan seolah tidak mau kalah oleh perempuan.
Proses dekonstruksi itu, oleh Farhadi dilakukan secara halus dan menciptakan kesan manusiawi. Baik keluarga Razieh maupun keluarga Nader tidak menunjukkan perubahan secara radikal. Tetapi ada refleksi, konteks situasi, pola pikir, dan pengalaman mendalam yang terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Selain konflik kelas, yang saya tangkap dari film ini adalah anak-anak di tengah problematika orang tua. Termeh, anak Nader-Simin, tampak sekali tak menginginkan orang tuanya bercerai. Dalam beberapa scene, ia melakukan tindakan-tindakan yang membikin ibunya jengkel. Tujuannya agar sang ibu bisa berdamai dengan ayahnya.
Tak hanya Termeh, anak perempuan Razieh yang berusia 5 tahun juga ditampilkan betapa psikologisnya terganggu akan masalah orang tuanya. Ia bahkan membuat, di buku gambarnya, gambar kedua orang tuanya yang sedang bertengkar.
Dan terakhir adalah narasi film yang lepas dari oposisi biner. Siapa benar dan siapa salah. Mungkin kita akan bertanya-tanya tentang itu. Farhadi tidak memberikan jawabannya. Ia hanya menawarkan “makna” baru dan mengajak kita terlibat dan merenungkan konflik yang sebenarnya sering terjadi di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Ketika film ini berakhir, saya kira memang sangat-sangat layak karya Asghar Farhadi ini memenangi Golden Bear untuk film terbaik dan Silver Bear untuk aktor terbaik dan aktris terbaik dalam ajang Berlin Film Festival. Dan jika ada ensiklopedi berisi rekomendasi film yang perlu ditonton sebelum meninggal dunia, maka A Separation wajib masuk dalam ensiklopedi tersebut.
*Penulis merupakan jurnalis WartaBromo.com.