Fee Proyek untuk Lunasi Selisih Harga Lahan Kantor di Kota Pasuruan ja

Konten Media Partner
23 Januari 2019 15:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lujeng Sudarto, koordinator Kompak Pasuruan, saat berada di ruangan Bahrul Ulum, Sekda Kota Pasuruan, Rabu (23/1/2019).
zoom-in-whitePerbesar
Lujeng Sudarto, koordinator Kompak Pasuruan, saat berada di ruangan Bahrul Ulum, Sekda Kota Pasuruan, Rabu (23/1/2019).
ADVERTISEMENT
Proses pengembalian kelebihan harga Rp 2,9 miliar, pengadaan lahan Kantor Camat Panggungrejo, Kota Pasuruan, kembali mendapat sorotan. Itu setelah pelunasannya ternyata diupayakan dengan cara mengutip fee proyek, seperti diungkap Wali Kota Pasuruan non aktif, Setiyono.
ADVERTISEMENT
Setiyono, dalam persidangan terdakwa M Baqir di Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin (21/1/2019), mengaku terpaksa meminta fee dari sejumlah rekanan pemenang proyek, untuk mencukupi banyak kebutuhan. Desakan kebutuhan itu, salah satunya karena Setiyono harus menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengadaan lahan kantor Kecamatan Panggungrejo. Saat itu, BPK menemukan adanya selisih harga yang harus dikembalikan, sebesar Rp 2,9 miliar. Dalam prosesnya, selisih sebagaimana rekomendasi BPK itu dapat dilunasi. Bahkan Bahrul Ulum, Sekretaris Daerah (Sekda), yang waktu itu mengatasnamakan Plt Inspektur Kota Pasuruan, menyatakan beres dan klir. Namun demikian, hal sederhana yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sikap Setiyono, yang tak seharusnya merasa terdesak, karena pengembalian selisih sepatutnya dilakukan oleh Handoko, pemilik tanah, yang telah dibeli untuk kantor Kecamatan Panggungrejo itu. Lebih-lebih diketahui, uang untuk pelunasan itu diperoleh dengan cara-cara melanggar hukum, sebagaimana diungkap Setiyono, yakni dari mengumpulkan fee proyek sejumlah rekanan. Merujuk fakta itu, penyikapan kemudian ditunjukkan oleh Konsorsium Masyarakat Anti Korupsi (Kompak), dengan mendatangi Bahrul Ulum, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pasuruan, Rabu (23/1/2019). Koordinator Kompak, Lujeng Sudarto mengungkapkan, upaya itu dimaksudkan untuk meluruskan proses pelunasan selisih pembayaran lahan kantor Kecamatan Panggungrejo. Tak bermaksud berpolemik siapa yang harus membayar selisih harga lahan m, ia menilai fakta hukum ini cukup serius dan seharusnya mendapat atensi dari Pemkot Pasuruan, atau bahkan aparat penegak hukum. “Ada potensi kerugian dan pelanggaran hukum serius. Dalam persidangan, Setiyono mengaku melunasi, dari fee proyek,” tandas Lujeng. Dilanjutkan Lujeng, upaya Setiyono itu dianggapnya telah menguntungkan Handako, karena menurutnya, si pemilik tanah itu justru tak lagi susah-susah mencari uang, untuk memenuhi rekomendasi BPK terkait pengembalian selisih harga kala itu. Sementara, Bahrul Ulum tak banyak menaggapi berkenaan permintaan klarifikasi soal pelunasan selisih harga, temuan BPK waktu itu. Pihaknya, boleh dikata tak tahu menahu, kalau sekarang terungkap, jika uang pelunasan selisih harga tanah kantor Kecamatan Panggungrejo, bersumber dari fee proyek, yang dikutip dan dikumpulkan oleh Setiyono dari sejumlah pengusaha kontruksi di Kota Pasuruan. “Kami waktu itu nenerima laporan, bila Handoko yang telah melunasi selisih harga Rp 2,9 miliar itu,” kata Bahrul. Sebelumnya diungkapkan, Setiyono sempat konsultasi ke BPK, hingga kemudian pengembalian selisih harga lahan itu bisa diangsur. Tetapi, persoalannya, kasus itu sudah masuk ke kejaksaan. “Kejaksaan bilang, kalau diangsur itu berarti belum selesai. Akhirnya, saya harus berusaha menyelesaikannya,” terangnya. Upaya mengumpulkan sejumlah satker di lingkungan Pemkot, juga tak membuahkan hasil, karena tak ada uang. Karena itu, ia kemudian menghubungi Dwi Fitri Nurcahyo. “Saya tanya, ada uang ndak. Pak Dwi bilang ada,” aku Setiyono. Nah, pada 23 Agustus 2018, sekira pukul 20.00 WIB, Hendrik, keponakannya datang ke rumah dinasnya. Saat itu, Hendrik membawa 7 amplop putih bertuliskan nama-nama rekanan pelaksana proyek di Kota Pasuruan. Bersama Hendrik, Setiyono lantas menghitung isi amplop, yang disebutkan berasal dari Dwi melalui perantara Wahyu Tri Hardianto itu. Mengaku tak mengingat nama-nama tertulis di amplop, setelah dihitung, jumlah dari ketujuh amplop sekitar Rp 200 juta lebih. “Saya salah menerima itu. Tapi, sebagai wali kota, saya juga banyak kebutuhan,” terang Setiyono.
ADVERTISEMENT