Generasi ‘Maya’ Antara Ada dan Tiada

Konten Media Partner
9 Agustus 2017 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Generasi ‘Maya’ Antara Ada dan Tiada
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hampir bisa dipastikan, setiap kali Firman Murtado ngopi di warung yang "mengandung "wi-fi, ia bertemu segerombolan bocah sedang "bersemedi" di sana.
ADVERTISEMENT
Duduk sehari-semalam tanpa kata, tepekur hidmat di depan gadget masing-masing, hanya sesekali menenggak kopi kemudian kembali mengheningkan cipta. Firman yang sarjana, pengangguran terselubung dan dikutuk menjadi pemerhati berbagai hal, khawatir tak alang kepalang melihat mereka. Apakah hidup bisa diselesaikan dengan ngelompro (sia-sia) begini? Begitu salah satu batin Firman.
“Lihat Rif, belum punya NIP, uang minta sama emaknya, sehari semalam mereka ngopa-ngopi seperti anggota DPR.” Katanya.
“Umur dua puluh nanti sudah kena gula darah, mereka, mas. Sehari minum kopi satu timba, tak pernah berkeringat, umur tiga puluh sudah komplikasi.” Balas Arif.
“Memangnya cari berita apa sih, kok betah sehari semalam internetan?”
“Halah, ya ndak lah, mas. Memangnya mau cari berita apa, wong seluruh berita yang kita dengar di negara ini selalu kabar buruk? Aku yakin, hanya tiga situs yang mereka buka meski sehari semalam internetan.”
ADVERTISEMENT
“Situs apa?”
“Situs mesum, sosial media dan game.”
“Ngawur, kamu.”
“Saya berani taruhan. Lihat itu yang duduk di pojok, dari tadi duduk agak tersembunyi, matanya melotot berjam-jam dan terlihat beberapa kali ngelek idu (menelan ludah), pasti buka situs yang ada label ‘internet positif Indonesia’nya.”
“Yang sana itu?”
“Kalau melihat dari tiap detik cengengesan, pasti buka sosial media.”
“Yang itu, dekat pintu?”
“Berkali-kali misuh (mengumpat), pasti main game. Kita kan, selalu misuh kalau kalah bertanding?”
“Menurutmu, apa pernah mereka membuka situs yang mengandung resiko kecerdasan dan menemukan sebuah berita atau artikel, bahwa di sudut bumi yang lain sana, anak-anak seusia mereka sedang digembleng habis-habisan untuk merampas yang kita miliki? Banyak artikel dan berita hoax bergentayangan yang menceritakan bahwa kita telah, sedang dan akan dirampok hingga bangkrut. Apa mereka tak pernah kesasar membuka situs-situs berisi berita seperti itu ya?” Firman Murtado bergumam.
ADVERTISEMENT
“Pasti nggak pernah, mas. Wong kita saja malas sama yang begituan. Sampeyan saja, saya lihat anti.”
“Kamu kok undat-undat (nyindir) aku, sih Rif?”
“Bukan undat-undat. Sampeyan saja yang katanya aktifis, nyatanya ya doyan sebar pitenah di sosmed.”
“Ngawurr!”
“Okelah, saya juga mau mengadakan pengakuan dosa.”
“Hmmm”
“Saya, yang kata orang mahasiswa, terus terang saja juga malas buka-buka situs serius. Lha isinya, kalau tidak hoax ya kabar buruk? Tidak usah heran mas, kita memang sudah dikutuk menjadi bangsa obyek, bukan subyek. Kita itu getunan (suka kecewa) dan menderita lemah syahwat massal. Mudah ejakulasi dini dalam berbagai hal. Watak kita, sudah puas dan merasa menjadi manusia modern hanya karena punya gadget dan bisa mengoperasikan berbagai macam sosial media. Kita, saya dan sampeyan, adalah bangsa konsumen yang rela membarter masa depan dengan mimpi basah.”
ADVERTISEMENT
“Ck ck, ! Sok filsafat, Rif!”
“Tapi ada kabar baiknya, mas.”
“Kabar baik bagaimana?”
“Pemilik toko optik, dokter ginjal, dokter paru dan pabrik obat kencing manis akan tambah kaya.”
“Maksudmu?”
“Penderita sakit mata, ginjal, kencing manis akan meningkat sepuluh tahun ke depan. Ya mereka ini calon pasiennya.”
“Insomniaku tambah parah, salah satunya ya memikirkan umat ini, Rif. Bahaya dari utara sudah nyata mengepung, kita malah santai-santai begini. Kalau masih muda sudah begini, siapa nanti yang mau berkeringat? Sawah kita siapa yang menggarap kalau semua anak muda tak kenal cangkul? Apa semuanya kita jual saja sama developer atau orang asing agar dibangun perumahan, pabrik atau gudang? Nah kalau masih muda tak ada niat baik untuk mengasah skill apapun, bagaimana nanti kalau mereka menikah? Apa kalau istri butuh beras dan anak butuh popok mereka akan ramai-ramai jadi bakul narkoba? Apa semua akan menjadi seperti masyarakat Thailand, menjadi tujuan wisata bukan karena keindahan alam namun keindahan betis dan paha? Kalau masih muda tidak mau berkeringat, apa kelak ramai-ramai menjadi pengelola judi online, pengganda uang, germo NGO atau politisi penjual idealisme?”
ADVERTISEMENT
“Halah, sudah lah, mas. Tak usah sok melankolis begitu.”
“Generasi maya, generasi antara ada dan tak ada. Ada tapi seperti tak ada. Masih hidup tapi tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.”