Harapan Terakhir…..

Konten Media Partner
10 Februari 2020 14:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Harapan Terakhir…..
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Mereka, hanyalah masyarakat desa, lengkap dengan segala keluguannya. Bagi mereka, suasana desa yang guyub rukun jauh berharga ketimbang sedikit materi yang masih bisa dicarikan gantinya.”
ADVERTISEMENT
Oleh : M. As’ad
Namanya Sutama. Hanya Sutama. Tidak kurang. Tidak juga lebih. Persis seperti nama lahir pemberian orang tuanya. Saat ini usianya 43 tahun.
Sutama seorang petani. Lahir di sebuah desa di pinggiran Mojokerto. Tepatnya di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Tak jauh dengan perbatasan Kabupaten Lamongan. Atau Gresik.
Seperti kebanyakan desa-desa di tempat lain, sebagian masyarakat Lakardowo adalah petani. Entah sebagai pemilik lahan, atau menjadi buruh tani.
Yang membuat berbeda, mungkin sistem pertanian kami yang lebih cekak (pendek) dibanding di tempat lain. Itu karena tanah mereka yang memang tidak memungkinkan.
Naik-turun, dengan lapisan tanah cadas dan batuan kapur, kami hanya bisa bercocok tanam saat musim hujan tiba. Saat kemarau, lahan-lahan yang ada berubah menjadi gersang dan tandus.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Sutama dan warga lainnya tak pernah mengeluh. Bersama mereka selalu memiliki cara untuk menggali sumber bahagia di desanya. Guyub rukun membangun desa. Semampu mereka.
Saban pagi, saat musim hujan tiba, mereka berbondong-bondong ke ladang. Menggarapnya, menanaminya dengan cabai -yang memang menjadi komoditas andalan desa- atau aneka polo pendem yang kelak bisa dipanen saat kemarau tiba.
Jika hasil panen melimpah, itu adalah bonus. Bonus yang bisa disimpan, ditabung untuk persiapan kelak kala kemarau tiba. Karena saat seperti itu, tak ada lagi yang bisa digarap disawah.
Begitulah siklus yang berlangsung di desa kami. Semuanya berjalan menjadi harmoni tersendiri laiknya masyarakat desa pada umumnya.
Akan tetapi, itu dulu. Dulu sebelum ada perusahaan pengolah limbah berdiri di desa kami. Semenjak pabrik ini dibangun 2010 silam, harmoni itu mulai luntur.
ADVERTISEMENT
Ya, pada 2010, perusahaan ini berdiri. Tepat di tengah permukiman kami. Cukup besar. Luasnya sekitar 3 hektare. Berada di kanan kiri jalan.
Sutama, dan juga masyarakat yang lain tidak banyak tahu bagaimana awalnya perusahaan itu berdiri. Yang mereka tahu, mula-mula, tersiar jika perusahaan tersebut adalah pabrik batako.
Senyatanya, perusahaan tersebut adalah pengolah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Hampir seluruh rumah sakit di Jawa Timur, Bali hingga Nusa Tenggar Timur (NTT) mengirim limbah medisnya ke perusahaan ini.
Yang pasti, sejak saat itu, lambat laut, harmoni di Lakardowo seperti tidak ada lagi. Sebagian warga menolak kehadiran pabrik itu. Sebagian lainnya menerima dengan berbagai alasannya.
Memang begitulah keadaannya. Sejak pabrik itu beroperasi, masyarakat acapkali dihadapkan pada situasi sulit. Mereka yang menolak, harus gontok-gontokan dengan mereka yang mendukung pabrik tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika saja perselisihan cukup dianggap sebagai perbedaan, pendapat, pandangan, adalah hal yang wajar. Tetapi, yang terjadi tidak demikian.
Perselisihan itu terus terbawa ke kehidupan sehari-hari. Mereka yang sebelumnya saling bertegur sapa, kini tidak lagi hanya karena beda pandangan terkait keberadaan pabrik tersebut.
Mereka, hanyalah masyarakat desa, lengkap dengan segala keluguannya. Bagi mereka, suasana desa yang guyub rukun jauh berharga ketimbang sedikit materi yang masih bisa dicarikan gantinya.
Kenyataannya, kehadiran PT PRIA telah membawa banyak mudhorot-nya di desa Lakardowo daripada maslahatnya.
Bukan hanya lantaran pengaruh buruknya terhadap kehidupan sosial di sana. Tapi juga dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Banyak warga yang sakit kulit semenjak pabrik itu berdiri. Sebagian besar anak-anak.
Dulu, sebelum pabrik itu ada, masyarakat setempat senantiasa bisa menikmati udara pagi dengan bebas. Tapi, sejak perusahaan itu berada, hal itu tidak lagi.
ADVERTISEMENT
Asap hitam pekat yang kerap keluar dari cerobong pembakaran limbah B3 membuat masyarakat tak bisa leluasa bernapas. Belum lagi bau menyengat dari pabrik itu. Padahal, yang seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi.
Warga bukannya tanpa upaya. Hampir semua pintu sudah diketuk untuk membuka hati. Mengadu ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH), DPRD, DPR RI, hingga Komnas HAM sudah kami tempuh. Tetapi, tiada hasil.
Terakhir, mereka memutuskan untuk mengadu ke pengadilan. Sutama dkk, menggugat perusahaan yang dianggap mengabaikan tanggung jawab lingkungannya itu.
Kepada para pengadil, harapan untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang sehat pada akhirnya mereka sandarkan. Karena kalau tidak, kepada siapa lagi…..