Ketika Anak-anak “Dipaksa” Nikah

Konten Media Partner
18 Februari 2019 9:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketika Anak-anak “Dipaksa” Nikah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pergaulan bebas yang semakin mengkhawatirkan jadi penyebab orang tua menikahkan anaknya padahal masih di bawah umur. Namun, apakah hal tersebut tepat untuk dijadikan sebuah solusi? Mari kita review bersama.
Laporan: Ardiana Putri
PERNIKAHAN dini atau pernikahan anak di bawah umur masih menjadi perhatian di Indonesia bahkan dunia. Hal ini tentu seharusnya dapat disikapi agar permasalahan yang dapat dikatakan serius ini dapat ditekan.
Seperti di Pasuruan. Angka pernikahan dini di daerah ini termasuk tinggi. Pasangan anak yang mengajukan dispensasi menikah tiap tahunnya jumlahnya tidak sedikit.
Fakta didapat berdasarkan catatan dari Pengadilan Agama (PA) Bangil. Jumlah pengajuan dispensasi menikah ternyata mengalami tren peningkatan. Pada tahun 2017, sebanyak 22 pasangan muda mengajukan dispensasi menikah. Sementara pada 2018, meningkat menjadi 34 pengajuan.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan catatan dari PA Pasuruan, ada 52 pasangan yang mengajukan dispensasi menikah pada tahun 2018. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 41 pasangan.
Dispensasi menikah harus diajukan apabila kedua calon pengantin belum memasuki usia yang diatur dalam konstitusi. Seperti yang tertera dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk laki-laki minimal usia 19 tahun sedangkan untuk perempuan minimal 16 tahun.
Ika Dianing Lestari, Direktur Woman Crisis Centre (WCC) Pasuruan turut menyoroti fenomena sosial ini. Menurut perempuan yang aktif dalam kegiatan sosial perlindungan perempuan ini, ada banyak alasan perkawinan di bawah umur bisa menjadi permasalahan yang serius dan perlu diatasi guna menghindari dampak buruk yang terjadi.
ADVERTISEMENT
“Jika perkawinan anak terjadi, maka akan ada banyak hak yang terenggut sebagai anak. Tentunya, secara fisik pernikahan anak pada perempuan sangatlah riskan. Apabila suami istri yang masih di bawah umur ini menjalani hubungan biologis, resiko kehamilan dan persalinan memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan usia ideal,” ungkapnya.
Selain itu, Ika melanjutkan, biasanya anak perempuan yang sudah menikah akan mengalami putus sekolah. Sehingga hal itu menyebabkan semakin sempitnya kesempatan perempuan muda untuk menggapai cita-citanya.
Faktor adanya pernikahan dini beragam, seperti dihimpun dari PA Bangil dan Pasuruan. Diantaranya, sang perempuan telah hamil di luar pernikahan, sehingga terpaksa dinikahkan. Alasan lain, orang tua merasa khawatir melihat anaknya dianggap menjalin hubungan terlalu dekat dengan sang pacar. Maka solusi yang diambil orang tua adalah menikahkan sang anak.
ADVERTISEMENT
Anggapan yang kadung berkembang di masyarakat, bahwa pernikahan sebagai bentuk tanggung jawab moral setelah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Padahal, untuk menjalani pernikahan, seorang anak harus mempersiapkan fisik dan kondisi psikologisnya secara matang.
“Untuk usia anak walaupun sudah dapat dikatakan baligh, belum tentu akalnya juga baligh,” lanjut Ika.
Hal ini rupanya terbukti, selama Januari – Juli 2018, Pengadilan Agama (PA) Pasuruan ungkap 1.261 kasus perceraian. Gugatan pun paling banyak berasal dari pihak perempuan. Alasan yang mendominasi, diantaranya faktor ekonomi hingga pertengkaran yang tak kunjung usai.
Jika diruntut, ini juga bisa menjadi imbas dari banyaknya pernikahan dini di Pasuruan. Apalagi, kata Ika, ada kemungkinan berbagai cara dilakukan oleh pihak keluarga agar pernikahan di usia anak dapat terwujud. Seperti memanipulasi data usia sang anak agar legal di mata hukum. Jika tak begitu, pernikahan di bawah tangan yang biasanya jadi solusi lainnya.
ADVERTISEMENT
Ika menyebut, apabila pernikahan dini masih menjamur, generasi ke depannya akan terdampak. Diantarnanya, tingkat pendidikan yang rendah akibat putus sekolah berimbas pada kualitas sumber daya manusianya. Ini juga akan berpengaruh pada kondisi ekonomi di kemudian hari.
“Untuk menekan semakin tingginya pernikahan dini, tentunya harus ada upaya dari berbagai pihak seperti orang tua, pihak sekolah bahkan tokoh agama. Perlunya pengawasan dari orang yang lebih dewasa sangatlah penting agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru. Misalnya sang anak yang sudah mengenal masa pacaran sejak kecil,” pungkasnya.