news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mencari Terang Kasus Muslim Uighur

Konten Media Partner
26 Desember 2019 13:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mencari Terang Kasus Muslim Uighur
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ternyata, apa yang disebut sebagai ekstremis atau teroris di Indonesia dan di China ada perbedaan.
ADVERTISEMENT
Oleh : Lutfi Awaludin Basori
JELANG penutup tahun 2019, isu Uighur di Xinjiang, kembali ramai dibicarakan. Dengungannya semakin kencang setelah pemain sepak bola Jerman, Mesut Ozil buka suara soal isu ini. Bahkan di Indonesia isu ini memantik perdebatan, membelah menjadi dua kubu.
Satu kubu memandang bahwa Beijing menyiksa Muslim Uighur dan melarangnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Kubu lain menyebut apa yang dilakukan pemerintah China adalah upaya menanggulangi separatisme, sebab Uighur memiliki sejarah berupaya memisahkan diri dari China.
Salah satunya dilakukan oleh kelompok East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang terdiri dari orang Uighur. Ditambah lagi baru-baru ini ada pengaruh Al Qaeda dan ISIS.
Beijing membangun kamp-kamp konsentrasi dan mereka sebut sebagai “kamp pendidikan” di Xinjiang. Pemerintahan Xi Jinping mengatakan kamp-kamp itu bertujuan untuk memberi pendidikan tentang undang-undang dan aturan pemerintah. Selain itu juga untuk memberantas pikiran ekstremisme, terorisme agama, dan untuk menyembuhkan penyakit ideologis.
ADVERTISEMENT
Sementara sebagian orang di Indonesia melihat apa yang disebut sebagai “kamp pendidikan” oleh Beijing adalah “kamp penyiksaan” kepada Muslim Uighur. Kemudian menyimpulkan, bahwa Beijing menindas dan menyiksa Muslim Uighur di Xinjiang.
Human Right Watch (HRW) mengatakan setidaknya sekitar 1 juta warga Muslim Turkic berada di kamp-kamp pendidikan itu. Yang dimaksud etnis Turkic di Xinjiang antara lain Uighur dan Kazakh. Selain Muslim Turkic, HRW juga mencatat ada sebagian kecil dari Muslim Hui yang menjadi penghuni kamp.
Bila kita mengatakan semua yang dipaksa masuk ke kamp itu adalah orang-orang dengan ideologi ekstrem atau teror tentu tak sepenuhnya bisa diterima. Sebab dari sekian banyak warga Uighur hanya sebagian kecil saja yang bergabung dengan kelompok teror. Dan ini tak bisa membenarkan seluruh Uighur adalah teroris atau separatis. Sehingga mereka semua harus dijaga atau dimasukkan ke kamp.
ADVERTISEMENT
Ternyata, apa yang disebut sebagai ekstremis atau teroris di Indonesia dan di China ada perbedaan. Dokumen polisi China memiliki 75 tanda seseorang itu adalah ekstremis. Di antaranya kepemilikan kamus, peta, dan alat-alat olahraga atau fitnes. Warga Turkic di Xinjiang hanya boleh menyimpan makanan di rumah mereka.
Bahan dokumen resmi China juga mengatakan memiliki kategori yang sangat luas dan tidak baku untuk mengindikasikan seseorang sebagai terorisme. Jadi, bila seseorang memiliki satu dari 75 tanda ekstremisme, maka dia akan dijebloskan ke “kamp pendidikan”. Tanpa harus melalui peradilan atau persidangan lebih dulu.
Di dalam kamp, mereka dipaksa menerima indoktrinasi pandangan politik. Beijing berupaya menjadikan mereka sebagai anggota partai komunis. Mengubah mereka dan dipaksa berbicara mandarin. Beijing berupaya menjadikan mereka seperti orang-orang China Han dan meninggalkan indentitas Uighurnya.
ADVERTISEMENT
Mereka belajar menyanyikan lagu kebangsaan China, belajar menjadi pendukung partai komunis China, belajar bahasa China dan menulis dengan menggunakan karakter China. Mereka bisa selamanya berada di kamp itu hingga otoritas China menyatakan benar-benar lulus.
Jika mereka gagal mengubah padangan politiknya atau menolak perintah, mereka akan dianiaya dan disiksa.
(Penyiksaan disini bukan seperti yang tersebar di internet dengan gambar-gambar yang tak jelas sumbernya, tapi berdasarkan para saksi di laporan HRW berjudul “Eradicating Ideological Viruses” China’s Campaign of Repression Against Xinjiang’s Muslims”).
Warga Uighur di luar kamp memiliki kehidupan yang tak jauh beda dengan mereka yang berada di dalam kamp. Mereka juga dipaksa menerima indoktrinasi politik. Gerak-gerik mereka setiap saat senantiasa diawasi dengan peralatan pengawasan massal. Seluruh Xinjiang telah dipasangi kamera pemantau.
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus melacak apa yang dilakukan warganya, di mana mereka, siapa mereka, dengan siapa mereka bicara. Kemudian mengumpulkan sampel DNA, sampel suara, menahan paspor mereka dan melarang mereka keluar desa.
Pengawasan massal di seluruh wilayah China memang sangat ketat, tapi di Xinjiang adalah yang paling canggih dan ketat.
Selain melakukan pengawasan secara modern, Beijing juga melakukan pengawasan secara tradisional. Yang disebut dengan “program keluarga”.
Pemerintah akan menempatkan satu orang untuk tinggal di salah satu rumah warga Uighur. Orang ini akan mengawasi seluruh gerak-gerik keluarga itu, jika didapati melanggar hukum, satu dari 75 tanda terorisme, maka akan ditangkap dan dijebloskan ke “kamp pendidikan”.
Bagi anak-anak yang orang tuanya ditangkap dan dijebloskan ke kamp-kamp “pendidikan”, maka akan diambil alih oleh pemerintah. Meskipun mereka memiliki kerabat, tetap saja para kerabat tak memiliki hak asuh. Selanjutnya anak-anak ini dimasukkan ke sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Di sekolah itu anak-anak dididik menjadi China dengan mengajarakan bahasa Mandarin dan tak memperkenalkan budaya Uighur mereka.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya apa yang menimpa Muslim Uighur di Xinjiang bukanlah masalah keagamaan belaka tapi upaya kontrol Beijing terhadap etnik Turkic dan warga Xinjiang.
Upaya kontrol ini mengakibatkan sejumlah ekspresi keagamaan menjadi terlarang, akibatnya menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan Muslim Uighur menjadi mayoritas dari etnik Turkic di Xinjiang, sehingga mereka menjadi korban terbesarnya.
Lalu bagaimana dengan testimoni banyak orang Indonesia yang berkunjung atau berada di China dan tak melihat adanya penindasan itu?
Di banyak tempat di China akan banyak ditemui umat Islam yang menjalankan salat atau masjid yang dipenuhi jemaah.
Namun, jika menengok aturan Beijing, mereka tegas kepada pemeluk agama untuk hanya beribadah di tempat peribadatan yang terdaftar di pemerintahan. Bahkan da’i dan imam harus terdaftar di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Bila ada yang belajar Islam dari seorang imam atau da’i yang tak terdaftar di pemerintahan, maka akan ditangkap.
Jadi sistem atau aturan itulah yang sebenarnya menindas pemeluk agama Islam sehingga ekspresi keagamaannya pun harus dengan persetujuan pemerintah China. Di luar itu akan disebut teroris.
Para wartawan yang diundang pemerintah China atau diberi izin Beijing untuk berkunjung ke Xinjiang pun sudah diatur. Mereka dijaga ketat dan diawasi. Mereka akan ditangkap jika memaksa ingin ke kamp untuk mengungkap apa yang terjadi. Begitu penuturan seorang peneliti Xinjiang dari HRW yang saya temui di Jakarta tahun lalu.
Hal yang sama disampaikan reporter Bloomberg, Peter Martin dalam laporannya yang berjudul “How China is Defending its Detention of Muslim to the World”. Peter bersama sejumlah wartawan asing lain mengaku perjalannanya ke tiga kota di Xinjiang dikawal ketat oleh penjaga yang mengantar mereka.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan itu Peter mengungkapkan dirinya tak bisa dengan bebas mewawancarai penduduk atau berkunjung kemana pun dia mau tanpa diikuti oleh petugas. Tapi, rombongan wartawan diperbolehkan menanyakan sesuatu ke petugas yang mengawal mereka. Sehingga mereka hanya mendapat informasi dan menulis dari apa yang pemerintah China sampaikan.
Ini adalah strategi Beijing untuk mengkonter pemberitaan tentang isu penindasannya kepada Muslim Uighur.
Di pihak lain, Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian mempersilahkan masyarakat Indonesia untuk melihat langsung kondisi Muslim Uighur di Xinjiang. Ia juga menegaskan, bahwa Xinjiang aman untuk dikunjungi.
“Silahkan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat muslim Uighur,” kata Xiao dalam keterangan resmi kantor Staf Presiden, pekan lalu.
Sayangnya, pengakuan Xiao itu berbanding terbalik 180 derajat dengan pengakuan peneliti HRW. Saat betemu dengan saya, dia mengatakan tak diberi izin untuk melakukan penelitian langsung ke Xinjiang.
ADVERTISEMENT
Maka untuk memperjelas persoalan Muslim Uighur di Xinjiang, Beijing harus memberi akses bagi kelompok-kelompok independen hak asasi manusia agar dapat melakukan penelitian dan mengakses kamp-kamp pendidikan mereka. Dengan begitu akan didapat laporan independen yang komperhensif dan dapat dipercaya. (*)
___
*)Penulis adalah freelance reporter
Sumber: