Menguji Akuntabilitas Dana Hibah Kabupaten Pasuruan

Konten Media Partner
2 Maret 2019 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menguji Akuntabilitas Dana Hibah Kabupaten Pasuruan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Anggaran hibah dan bansos Kabupaten Pasuruan 2019 berpotensi bermasalah jika dilaksanakan. Peyebabnya, anggaran jumbo yang mencapai ratusan miliar itu dinilai keluar dari prinsip akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Laporan Mochammad Asad
DALAM sebuah kesempatan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melakukan kajian bagaimana keterkaitan penggunaan dana hibah dan bantuan sosial (Bansos) dengan pemilihan umum. Hasilnya, komisi antirasuah itu mendapati dana hibah-bansos di APBD yang meningkat tajam.
Pada 2011 misalnya, alokasi hibah-bansos mencapai Rp15,9 triliun. Kemudian meningkat tajam pada 2012 sebesar Rp37,9 triliun dan Rp49 triliun pada setahun berikutnya. Celakanya, sebagaimana dikutip dari buku ‘Mengawasi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Daerah (2018)’ pos anggaran ini justru paling banyak menuai masalah.
Alasan itu pula yang menjadikan pemerintah terus memperbarui regulasi penggunaan uang rakyat guna menutup celah ruang penyimpangan. Mulai dari proses pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan.
Di Kabupaten Pasuruan, anggaran hibah-bansos tahun ini berpotensi menimbulkan masalah. Itu lantaran proses penganggarannya yang dinilai tidak mengikuti kaidah pengalokasian anggaran, sebagaimana yang diatur undang-undang.
ADVERTISEMENT
Evaluasi Pemprov Jatim atas R-APBD Kabupaten Pasuruan 2019 bahkan dengan tegas melarang penggunaan anggaran tersebut. Padahal, untuk kedua pos ini, Pemkab terlanjur mengalokasikan bujet cukup besar. Yakni, Rp195 miliar dengan rincian Rp165 miliar untuk hibah dan Rp30 miliar untuk bansos.
Dalam surat bernomor: 188/23561/013.4/2018 Pemprov menyatakan, pemberian hibah harus berpedoman pada Permendagri Nomor 32/2011 sebagaimana diubah Permendagri Nomor 13/2018 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mengatur detail mekanisme pemberian hibah.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa hibah-bansos dapat diberikan setelah urusan pemerintahan wajib dan belanja urusan pemerintahan pilihan terpenuhi. Rencana tersebut juga harus tercantum dalam rancangan KUA dan PPAS. Selain itu, daftar penerima, berikut alamatnya harus sudah dilampirkan dalam peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
ADVERTISEMENT
“Apabila terdapat kesalahan para perencanaan KUA-PPAS terkait hibah, tidak diperkenankan untuk merealisasikan meskipun telah dilakukan penyesuaian. Sebab, KUA-PPAS yang telah disepakati oleh bupati bersama dewan merupakan landasan penyusunan R-APBD,” tulis Pemprov dalam evaluasinya kepada Pemkab.
Munculnya catatan Pemprov atas anggaran hibah-bansos tersebut membuat kalangan DPRD meradang. Dewan menyebut Pemkab melakukan kesalahan lantaran rincian daftar penerima hibah-bansos tidak dilampirkan dalam KUA-PPAS. Padahal, dokumen itui menjadi acuan sebelum anggaran disepakati.
“Anggaran itu glondongan. Tidak ada rinciannya,” kata Wakil Ketua DPRD Joko Cahyono. Dengan kata lain menurut Joko, sebelum anggaran hibah-bansos dialokasikan, daftar calon penerimanya harus sudah ada terlebih dahulu. Berikut dokumen proposalnya. Karena itu, menurut Joko, jika anggaran tersebut pada akhirnya dijalankan, ia menyebutnya sebagai unprosedural.
ADVERTISEMENT
Hal senada disampaikan Ketua Banggar, Sudiono Fauzan. Dion –sapaan akrabnya– yang juga menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Pasuruan tidak berani memastikan keberadaan dokumen calon penerima hibah-bansos itu.
“Kami menyerahkan sepenuhnya kepada teman-teman di eksekutif. Kalau pun tetap direalisasikan, teman-teman pasti sudah melakukan kajian terkait pertimbangan hukumnya,” jelas Dion. Yang pasti, terkait dokumen penerima hibah, pihaknya juga sempat menanyakannya kepada DPKD (Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah). “Katanya sih ada, di masing-masing SKPD,” ujar Dion.
Anggaran hibah-bansos senilai Rp195 miliar itu bukan satu-satunya program Pemkab yang terancam tak bisa dilaksanakan. Kegiatan Belanja Barang yang Diserahkan kepada Desa (Hibah) dengan pagu anggaran Rp82 miliar yang akan diberikan kepada desa juga sama.
Penelusuran WartaBromo, program yang sebagian besar berupa kegiatan pembangunan fisik seperti sanitasi, plengsengan itu dilarang untuk dilaksanakan oleh Pemprov karena tidak sesuai ketentuan penganggran. Alasannya, desa bukan termasuk sebagai pihak yang diperkenankan menerima hibah.
ADVERTISEMENT
Adanya larangan itu setidaknya tertuang dalam lembar evaluasi Pemprov poin 8. Menurut Pemprov, pemakaian kode rekening “Belanja Barang yang Akan Diserahkan kepada Masyarakat/Pihak Ketiga” tersebut dipergunakan untuk hibah atau bansos. Sementara desa, bukanlah pihak yang diperkenankan menerima hibah/bansos.
Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 298 ayat 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan Permendagri No 32/2011 sebagaimana diubah dengan Permendagri 13/2018 tentang Pedoman Pemberihan Hibah dan Bansos.
Anggaran belanja barang yang akan diberikan kepada pihak ketiga (desa) itu tertulis dengan kode rekening 5.2.2.23. Padahal, kode rekening tersebut merupakan kode rekening untuk belanja hibah. Sementara, dalam waktu yang sama, desa bukanlah termasuk sebagai pihak yang boleh menerima hibah.
Terpisah, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Pasuruan Misbah Zunib menepis bila anggaran Rp82 miliar tersebut sebagai hibah kepada desa. Menurutnya, anggaran yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur itu merupakan bagian dari tupoksinya.
ADVERTISEMENT
“Hanya memang, lokasi kegiatan yang kami proyeksikan adalah milik desa. Jadi, hasil pekerjaan itu nanti diserahkan ke pihak desa, oleh Pemprov, itu masuk kategori hibah. Padahal, desa bukan termasuk pihak yang boleh menerima hibah,” kata Misbah.
Terkait dengan catatan provinsi yang melarang pelaksanaan program ini, Misbah pun memastikan untuk mematuhinya. “Kalau memang dilarang ya, kami akan ikuti. Tidak akan kami laksanakan daripada nanti menimbulkan persoalan hukum,” jelasnya.
Perlu diketahui, sebelum diundangkan menjadi perda (peraturan daerah), draf APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), setelah disahkan di DPRD, kemudian dikirim ke provinsi untuk dievaluasi. Setelah itu, provinsi merespons dengan memberikan catatan jika ditemukan item yang tidak sesuai guna diperbaiki. Sayangnya, perbaikan itu diduga tidak dilakukan sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Suasana sidang di DPRD Kabupaten Pasuruan.
Akui Ada ‘Titipan’ Dewan
Di sisi lain, terancam tidak cairnya dana hibah-bansos (termasuk hibah ke desa) tersebut membuat sebagian kalangan dewan meradang. Apalagi, sebagian angka itu merupakan ‘titipan’ dewan yang diakomodasi melalui pokok-pokok pikiran (pokir; dulu kerap disebut jasmas/jaring aspirasi masyarakat) saat proses pembahasan RAPBD akhir tahun lalu.
Ketua DPRD Sudiono Fauzan mengatakan, peraturan perundangan memang memberi ruang guna mengakomodasi usulan dewan yang disebut pokir anggota dewan. Kongkretnya, pokir tersebut merupakan formulasi usulan dari para konstituen yang ditampung para anggota dewan saat melakukan reses ke lapangan.
Nah, usulan-usulan dari para konstituen itulah yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk usulan program. Dengan maksud untuk membatasi usulan, masing-masing anggota bisa mengusulkan program dengan pagu tertentu. “Ini semata agar teman-teman tidak saling berebut. Kalau tidak dibatasi, ya bisa-bisa semua usulan dimasukkan,” seloroh Dion.
ADVERTISEMENT
Dion sendiri tidak menyebut secara pasti berapa pagu anggaran untuk ‘jatah’ pokir anggota dewan itu. Namun, merujuk pada praktik serupa tahun lalu, angkanya dipastikan di atas Rp1 miliar untuk setiap anggota dewan. “Tahun lalu segitu (Rp 1 miliar, Red). Karena tahun ini APBD kita naik, teman-teman minta nambah, ujar Dion.
Berangkat dari praktik pokir inilah, Dion memaklumi jika sebagian koleganya kecewa lantaran sebagian usulan yang dimasukkan dalam pos hibah-bansos terancam tak bisa terealisasi. Apalagi, banyak dari mereka yang terlanjur menjanjikan kepada konstituennya perihal program usulan yang dimaksud.
Karena itu, jika kemudian usulan tersebut tidak bisa dilaksanakan, Dion meminta koleganya kerja keras untuk menjelaskan kepada konstituen. “Yaapa lagi. Kalau memang aturannya tidak bisa, ya mau bagaimana lagi. Kepastiannya kan bisa dilaksanakan setelah PAK (Perubahan Anggaran Keuangan),” terangnya.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua DPRD Joko Cahyono yang juga anggota banggar menyatakan, tidak ada ruang komunikasi sebelumnya antara eksekutif-legislatif guna membicarakan hasil evaluasi dari provinsi itu. Karena itu, ia pun kaget setelah pergantian tahun, beberapa poin yang menjadi catatan provinsi, ternyata tidak diubah.
“Ini kan jadi pertanyaan. Ketika ada kesempatan untuk melakukan perbaikan, kenapa itu tidak dilakukan?” tanya Joko. Salah satu item yang tidak dilakukan perbaikan ada pada pos anggaran untuk Belanja Barang untuk Diberikan kepada Desa senilai Rp82 miliar pada dinas PUPR.
Terkait hal ini, Misbah sendiri enggan berkomentar panjang. Pihaknya mempersilakan WartaBromo meminta penjelasan kepada Lully Nur Mardiono, selaku sekretaris Tim Anggaran Pemkab. Tapi, setali tiga uang. Lully yang dihubungi belum berkenan menyampaikan penjelasan.
ADVERTISEMENT
Bupati Pasuruan, Irsyad Yusuf menyatakan akan mengikuti semua petunjuk dari provinsi. Utamanya untuk anggaran hibah kepada desa. Namun, ia memastikan kegiatan pembangunan yang pada APBD induk tercatat pada nomenklatur hibah, akan dilakukan setelah PAK (Perubahan Anggaran Keuangan) APBD nanti. “Tetap akan dilaksanakan setelah PAK nanti,” jelas Irsyad.
Lebih detil, Ketua Tim Anggaran (Timgar) Agus Sutiadji menyampaikan penjelasannya. Terkait pelaksanaan hibah dan bansos, pihaknya akan menyesuaikan dengan peraturan perundangan. Karena itu, ia pun meminta kepada desa-desa yang sebelumnya diusulkan mendapat bantuan untuk tidak terlalu khawatir.
“Sesuai dengan petunjuk Bupati, kebutuhan desa akan tetap kami cukupi. Caranya dengan mengubah nomenklatur saat PAK nanti. Jadi yang pada APBD induk masuk dalam nomenklatur hibah, nanti akan diubah sebagai bantuan keuangan,” jelas Agus.
ADVERTISEMENT
Namun, Agus memastikan, kendati terjadi perubahan pada nomenklatur anggaran, hal itu tidak akan berdampak pada kegiatan. Dengan kata lain, objek atau lokasi kegiatan berikut pagu anggarannya, tetap sama. “Artinya, objek dan nilai bantuannya tetap sama. Jadi nanti pihak desa langsung yang melaksanakan,” imbuh Agus.
Bagaimana dengan anggaran hibah-bansos senilai Rp195 miliar? Soal ini, Agus pun menyatakan sudah sesuai ketentuan. Menurutnya, tidak mungkin kesepakatan tersebut dicapai sebelum usulan proposal dari calon penerima masuk. Hanya saja, terkait banyaknya realisasi hibah yang berujung pada proses hukum, proses verifikasi berlangsung lebih ketat.
Sementara itu, menyusul larangan pemprov untuk merealisasikan hibah kepada desa, pertengahan Februari lalu, rombongan Banggar-Timgar bergerak ke Pemprov. Harapannya, provinsi membuka ruang agar program yang oleh sebagian anggota dewan terlanjur dijanjikan kepada konstituennya itu tetap bisa direalisasikan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, provinsi bergeming dengan evaluasinya agar Pemkab tidak merealisasikan anggaran hibah-bansos.
Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Fahruddin merespons positif sikap Pemprov untuk tidak memberikan lampu hijau atas penggunaan dana hibah-bansos yang tidak sesuai skema pengalokasikan anggaran itu. Sebab, jika tetap dipaksakan, hal itu berpotensi pada persoalan hukum di kemudian hari.
Fahruddin mengatakan, sebelum anggaran dialokasikan, sudah ada proposal masuk dari para pemohon. Dengan begitu, berdasar proposal itulah, anggaran dialokasikan berdasar kemampuan daerah. Karena itu, jika saat pembahasan dulu belum ada proposal masuk, apalagi juga belum tercantum dalam KUA-PPAS, sangat mungkin ada rekayasa ketika program itu dilaksanakan.
“Apalagi, ini tahun politik. Dalam banyak tempat, jamak dijumpai penyimpangan hibah-bansos untuk mendulang kepentingan politik. Logikanya, kalau dulu belum ada proposal masuk, berarti berkas-berkasnya masuk belakangan alias menyusul. Padahal kan tidak boleh,” kata Fahruddin.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan kemarin, Fahruddin juga mempertanyakan sikap dewan yang begitu saja meloloskan anggaran hibah-bansos meski dinilainya tidak sesuai sistem penggaran. Menurutnya, sejak awal, DPRD seharusnya men-drop usulan itu sebelum didukung dengan berkas kelengkapan.
“Pertanyaannya, kenapa itu bisa lolos?” tanya Faruddin.
Dalam konteks saat ini, ia pun menghargai langkah Pemkab yang akan mengubah nomenklatur saat PAK nanti. Dengan demikian, kepentingan publik tetap bisa dilaksanakan dengan mengurangi risiko atas resistensi politis dari penggunaan anggaran tersebut.
Banggar DPRD Kabupaten Pasuruan mengelak disebut sengaja mendiamkan persoalan itu sejak awal. Anggpta Banggar, Joko Cahyono mengatakan, hingga penyerahan draf RAPBD ke provinsi tahap pertama, pihaknya senantiasa menanyakan kelengkapan berkas pemohon hibah-bansos. Tetapi, pihak eksekutif berkilah jika berkas tersebut ada di masing-masing SKPD.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pihaknya juga dihadapkan pada dilema lantaran makin mepetnya waktu agar RAPBD yang telah disepakati segera diundangkan. Sebab, jika melewati 30 Desember belum juga diundangkan, ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) terancam tidak bisa gajian. Termasuk para wakil rakyat di DPRD. “ Akhirnya, kami menyepakati dengan catatan bahwa berkas-berkas itu harus dilengkapi,” terang Joko.
Sekretariat LSM Penjara di wilayah Kota Pasuruan. Saat dilakukan pengecekan, sekretariat penerima hibah Pemkab Pasuruan ini telah pindah.
Verifikasi Hibah Terlalu Longgar
Di sisi lain, silang sengkarut hibah ini bukan kali pertama terjadi. Berdasar temuan WartaBromo, kondisi yang sama juga terjadi pada realisasi hibah tahun anggaran 2017 silam. Dimana, dari ratusan penerima hibah, sebagian diantaranya belum memenuhi ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan.
Merujuk pada Permendagri No 32/2011 sebagaimana diubah Permendagri No 13/2018, salah satu syarat untuk menerima hibah adalah harus berbadan hukum sekurang-kurangnya tiga tahun; tidak menerima berturut-turut setiap tahun, berdomisili di daerah yang sama dengan pemerintah setempat, memiliki alamat jelas, pengurus, dan juga kegiatan yang jelas.
ADVERTISEMENT
Namun, hasil penelusuran WartaBromo justru mendapati sebaliknya. Sejumlah lembaga penerima hibah dipastikan belum berbadan hukum tiga tahun, tidak berdomisili di daerah bersangkutan dengan pemberi hibah, bahkan salah alamat.
Salah satu lembaga penerima hibah yang dimaksud adalah LSM Penjara. Pada 2017 lalu, lembaga ini menerima kucuran hibah sebesar Rp270 juta untuk kegiatan pelaksanaan keaksaraan dasar.
Padahal, merujuk data yang ada, lembaga ini baru mengantongi surat dari Kemenkum-HAM pada 2016. Itu berarti, saat menerima hibah, lembaga ini baru berusia setahun.
Temuan yang sama juga didapati pada penerima hibah kepada Yayasan Srikandi Husada. Meski dalam daftar penerima hibah yayasan tersebut tertulis beralamatkan di Desa Tawangrejo, Kecamatan Pandaan, tidak banyak warga yang mengetahuinya. Usut punya usut, lembaga ini ternyata berkantor dengan rumah pemiliknya, Kasiman, yang notabenenya tercatat sebagai anggota DPRD setempat.
ADVERTISEMENT
Ketentuan perihal syarat penerima hibah bisa dilihat pada Pasal 7 Permendagri 14/2016. Pada pasal itu dijelaskan bahwa lembaga/organisasi penerima hibah harus berbadan hukum, memiliki kepengurusan yang jelas; memiliki surat domisili, serta berkedudukan di daerah yang bersangkutkan.
Nah, yang terjadi, beberapa lembaga yang dimaksud beralamatkan di wilayah Kota Pasuruan. Padahal, karena hibah yang diberikan bersumber dari APBD Kabupaten Pasuruan, seyogyanya, lembaga penerima harus beralamatkan/berdomisili di kabupaten.
Selain itu, ada juga penerima hibah yang beralamatkan di kantor yang sama. Misalnya, Sekretariat UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), IPI (Ikatan Penilik Indonesia), APSI (Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia). Ketiganya, berkantor di lokasi yang sama. Yakni Jalan Wahidin Sudirohusodo, Nomor 59 A, Kota Pasuruan.
Hibah kepada LSM Penjara adalah contoh lain betapa lemahnya proses verifikasi pada pos ini. Meski baru mengantongi SK Kemenkum-HAM dengan nomor AHU-0062245.AH.01.07, pada 2016, setahun berikutnya, lembaga ini sudah menerima kucuran hibah sebesar Rp270 juta.
ADVERTISEMENT
Soal ini, Kepala Bidang Pendidikan Paud dan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan, Heri Mulyono mengaku tidak tahu menahu. Sebab, menempati posisi itu pada Januari 2017 silam, ia sudah mendapati LSM Penjara dalam list penerima hibah.
“Saya masuk itu sudah ada list-nya. Karena pengajuan 2016, begitu saya masuk, nama-nama lembaga penerima hibah sudah ada. Saya mikirnya itu sudah lolos verifikasi,” terang Heri. Menurut Heri, proses verifikasi itu jauh sebelum dirinya berada di posisinya saat ini. Yang pasti, pihaknya mengakui bahwa tidak ada verifikasi ulang sebelum dana hibah tersebut dicairkan.
Kasi Pendidikan Masyarakat Dispendik, Tutik menepis dugaan Penjara sebagai lembaga yang belum memenuhi syarat sebagai penerima hibah. Ia memastikan telah memverifikasinya sebelum memutuskan menerimanya. “Kami sudah cek. Kepengurusan, kegiatan-kegiatannya juga jalan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sebagai lembaga sipil non pemerintah, organisasi ini rupanya juga terlibat mendukung pasangan Irsyad Yusuf-Mujib Imron sebagai satu-satunya pasangan di pilkada lalu. Bahkan, sekretariat organisasi juga dimanfaatkan sebagai posko pemenangan ADJIB, akronim Irsyad-Mujib kala itu.
Bendahara DPC LSM Penjara, Wardah mengatakan, tak menampik keterlibatannya pada kontestasi pilkada 2018 lalu itu. Tetapi, hal itu dinilainya sebagai sikap pribadi.
Namun begitu, Wardah kembali menolak diterimanya proposal hibah –meski SK Kemenkumham yang dikantonginya baru setahun- sebagai kompensasi atas dukungan politik yang diberikannya.
Menurut Wardah, diterima tidaknya pengajuan hibah, sepenuhnya kewenangan Dispendik. “Apakah diterima atau tidak, itu kewenangan Dispendik. Kami kan hanya mengusulkan saja,” jelas perempuan berjilbab ini.
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan, Iswahyudi memberikan penjelasan terkait lolosnya LSM Penjara sebagai penerima hibah itu. Menurutnya, organisasi tersebut dinilainya sudah lama melakukan kerja-kerja di bidang pendidikan. Termasuk, menggelar kelompok-kelompok belajar bagi masyarakat buta aksara.
ADVERTISEMENT
Terkait SK badan hukum dari Kemenkum-HAM yang belum berusia tiga tahun, Iswahyudi menjawab diplomatis. “Itu kan sama seperti sekolah. Banyak kan yang sudah eksis jauh sebelum Permendagri soal hibah itu ada. Kalau kemudian karena ada aturan itu lalu hibahnya tidak bisa cair, kan programnya juga akhirnya terganggu,” kilah Iswahyudi.
Di sisi lain, aliran hibah ke LSM Penjara memunculkan kemungkinan praktik tersebut juga terjadi pada lembaga yang lain. Hasil penelusuran acak yang dilakukan WartaBromo terhadap beberapa lembaga penerima hibah 2017 menemukan fakta yang sama. Di antaranya, Yayasan Grojogan Sewu, Pecalukan, Kecamatan Prigen.
Seperti halnya LSM Penjara, yayasan yang bergerak di bidang lingkungan ini juga belum genap tiga tahun saat menerima kucuran hibah senilai Rp100 juta dari Pemkab. Data yang didapat, lembaga yang berlokasi di Kelurahan Pecalukan ini terdaftar di Kemenkum HAM pada tahun 2015 dengan nomor: AHU-0025875.AH.01.04.
ADVERTISEMENT
Hibah kepada Yayasan Sikandi Husada, adalah contoh lain longgarnya verifikasi dalam proses penerimaan hibah. Sebab, meski tidak memiliki kantor yang jelas, lembaga ini bisa mendapat kucuran dana hibah bantuan ternak senilai Rp100 juta.
Sesuai data penerima hibah yang diperoleh, lembaga yang bergerak di bidang pendidikan ini beralamatkan di. WR. Supratman, Desa Tawangrejo, Kecamatan Pandaan. Akan tetapi, saat ditelusuri ke desa setempat, tidak juga mendapati kantor yayasan ini.
Kejelasan yayasan tersebut baru terkuak dari surat keputusan badan hukum Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang didapat WartaBromo. Pada surat bernomor AHU-4186.AH.01.04 Tahun 2012, itu tertulis Yayasan Pendidikan Srikandi Husada sebagai nama lembaga itu.
Merujuk data tersebut, yayasan itu didirikan oleh DR. Kasiman, bersama istrinya, Reni Wismiati, dan juga tiga koleganya yang lain, DR. Neviana Fitri Lestari dan juga Rimun Radityo. Kasiman sendiri saat ini tercatat sebagai anggota Komisi A DPRD Kabupaten Pasuruan.
ADVERTISEMENT
Kasiman yang dikonfirmasi mengakui lembaga yang dipimpinnya sebagai penerima hibah tahun 2017 silam. Olehnya, hibah berupa bantuan ternak sapi itu kini ada di kandang, tak jauh dari kantor kelurahan. “Bukan fiktif. Kalau mau tahu, sampean bisa lihat di kandang. Sampean hitung sendiri sapinya,” terangnya.
Dikatakannya, sapi-sapi itu untuk praktik pembelajaran pembuatan biogas.
WartaBromo sempat mengunjungi kandang ternak yang dimaksud. Lokasinya tepat berada di belakang kantor balai desa Tawangrejo, Kecamatan Pandaan. Tampak dua tabung berukuran besar tertanam di sana. Menurut Kasiman, kedua tabung itu berfungsi sebagai digester untuk menampung kotoran sapi sebelum diambil gasnya.
Sayangnya, saat disinggung alamat kantor yayasan yang dipimpinnya, Kasiman tidak menjawab dengan pasti. “Sampean mau tanya hibah atau kantornya? Kalau hibahnya, silakan datang ke kandang. Kalau kantor, jangan dibayangkan kantornya kayak kantor dewan. Kandang itu sudah jadi aset yayasan. Jadi, tidak bisa diwarisi,” kata politisi asal Partai Gerindra ini.
ADVERTISEMENT
Terkait beberapa temuan di Kabupaten Pasuruan, dikatakan Koordinator MCW Fahrudin menyebut bukan semata pelanggaran administratif. Tapi, sudah berpotensi pada pelanggaran pidana karena berpeluang merugikan keuangan negara. “Karena lembaga penerima, sejatinya belum memenuhi syarat untuk menerima hibah itu. Tapi toh nyatanya tetap lolos,” jelasnya.
Fahrudin juga menyoal hibah kepada lembaga PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Kabupaten Pasuruan dari Dinas Pendidikan. Penyebabnya, lembaga penerima dan pemberi hibah dijabat oleh orang yang sama; Iswahyudi.
Kendati tidak ada aturan yang melarang, namun, praktik tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Dengan kata lain, siapa yang bisa menjamin proses verifikasi berlangsung fair. Apakah SPj-nya berlangsung transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, saya kira ini pertanyaan wajar karena pemberi dan penerima dijabat orang yang sama,” sambung Fahrudin.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran hibah-bansos Pemkab Pasuruan memang terus mengalami peningkatan. Pada 2016 lalu, anggaran ini mencapai Rp 90 miliar. Lalu, meningkat tajam pada dua tahun berikutnya. Masing-masing Rp 160 miliar (2017) dan Rp 200 miliar (2018). Tahun ini, Pemkab kembali mengalokasikan anggaran hibah dan basos sebesar Rp 275 miliar (termasuk hibah ke desa).
Sayangnya, lemahnya sistem penganggaran dan verifikasi bagi penerima membuka ruang terjadinya kebocoran. Terkait hal ini, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf pun mengajak semua elemen untuk ikut mengawasi program ini. Dengan begitu, hibah yang diberikan benar-benar tepat sasaran.