Ramadan di Iran: Saat Masjid Berubah Jadi Rumah Sosial

Konten Media Partner
23 Mei 2020 10:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
BERHENTI KARENA PANDEMI: Stand pameran al-Quran di Iran tahun lalu. Tahun ini, kegiatan yang memasuki tahun ke-37 itu terpaksa tidak digelar imbas pandemi. Foto: dokumen pribadi for WartaBromo.com.
zoom-in-whitePerbesar
BERHENTI KARENA PANDEMI: Stand pameran al-Quran di Iran tahun lalu. Tahun ini, kegiatan yang memasuki tahun ke-37 itu terpaksa tidak digelar imbas pandemi. Foto: dokumen pribadi for WartaBromo.com.
ADVERTISEMENT
Jutaan muslim di dunia tahun ini menjalani Ramadan yang berbeda. Tak terkecuali di Iran yang ‘memaksa’ masjid-masjid bukan hanya sebagai tempat shalat, tapi juga beralih fungsi menjadi rumah sosial.
ADVERTISEMENT
Oleh: Afifah Ahmad*
SALAH satu kegiatan yang sangat dinanti setiap Ramadan di Iran adalah Festival dan Pameran al-Quran. Terakhir kami berkunjung ke acara itu bulan puasa tahun lalu.
Ketika itu, tepat pertengahan Ramadan, dihantar rintik hujan musim semi saya meluncur ke arah subway Eram Sabz menuju kompleks Mushalla Imam Khomeini.
Jangan bayangkan musala dalam terma Indonesia. Pengertian Mushalla di sini jauh lebih luas dari masjid. Sebuah kompleks bangunan, yang tidak hanya menyediakan ruangan utama shalat, tapi juga berbagai ruangan untuk kegiatan sosial keagamaan. Termasuk ruang pameran.
Kompleks Mushalla Imam memiliki luas sekitar 450 hektare. Dari stasiun subway Shahid Beheshti, saya masih harus menempuh jarak satu kilometer ke tempat lokasi Festival dan Pameran al-Quran. Untungnya, panitia menyediakan mobil antar-jemput gratis untuk memudahkan para pengunjung. Banyak juga yang memilih jalan santai sambil menikmati suasana di sekitar kompleks yang rindang dan teduh.
ADVERTISEMENT
Di sinilah tempat warga Teheran ngabuburit selama bulan Ramadan. Ada banyak stand yang bisa dijadikan hiburan sekaligus edukasi untuk keluarga.
Kami sendiri hampir setiap tahun langganan berkunjung ke festival ini. Awalnya, dulu saya penasaran ingin membuktikan langsung, apakah al-Quran di Iran sama dengan yang ada di negara muslim lainnya. Mengingat banyak orang yang mempertanyakan al-Quran ala Iran.
Ada puluhan penerbit al-Quran yang menggelar stand di acara ini. Kesempatan berharga untuk bisa langsung melihat dari dekat. Ternyata al-Quran di Indonesia dengan di Iran memang sama.
Menurut keterangan yang saya peroleh, secara historis, al-Quran di tanah Persia ini merupakan salah satu mushaf Utsmani yang dulu dikirim ke berbagai tempat. Karena itulah, baik penganut Syiah maupun Sunni di Iran, al-Qurannya tetap sama.
ADVERTISEMENT
Selain menggelar festival al-Quran, Iran juga menyelenggarakan MTQ internasional dengan peserta dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Selama ini, Qari dari Indonesia dikenal paling sering menyabet juara. Tahun lalu, Qari Indonesia meraih juara pertama pada MTQ Internasional Teheran ke-36 untuk kategori Tilawah dewasa.
Membincang tentang komunitas Sunni di Iran, saya jadi teringat pengalaman menarik saat bertemu warga Sunni di pelosok Iran. Hobi traveling membawa saya bertualang ke berbagai tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari ibu kota Teheran, misalnya kota Paveh.
Di kota kecil yang masuk dalam propinsi Kermanshah ini, hampir 80 persen warganya adalah muslim Sunni. Beruntung saya sempat bertemu Mamosta Molla Qadiri, tokoh terkemuka Sunni suku Kurdi Iran yang kebetulan pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1981. Pengaruh Molla Qadiri yang besar, tidak hanya dihormati Iran, tapi juga disegani masyarakat Kurdi Sunni di Irak.
ADVERTISEMENT
Kami berbincang hangat. Ia bercerita banyak tentang komunitas Sunni di Iran. Selain Paveh, ada banyak kota-kota lain di Iran yang mayoritas penduduknya muslim Sunni. Biasanya, kota-kota ini tersebar di wilayah perbatasan Iran.
Mamosta juga menjelaskan, tak ada ketegangan antara pemeluk Sunni dan Syiah seperti yang banyak diberitakan selama ini. Bahkan, perkawinan antara dua mazhab ini lazim terjadi. Informasi yang sungguh menarik, karena saya mendengar kesaksian langsung dari warga setempat.
Kembali ke Festival al-Quran. Selain stand penerbit al-Quran dan buku-buku agama, ada berbagai stand lainnya yang membuat kita betah berkeliling. Biasanya, stand paling ramai dan dikerubuti pengunjung adalah stand anak. Ada banyak acara perlombaan juga bagi-bagi hadiah dan makanan. Belum lagi stand animasi dan sains al-Quran yang tak kalah banyak pengunjungnya.
ADVERTISEMENT
Di sudut lain, para pakar al-Quran terlihat sedang sibuk memberikan konsultasi gratis kepada pengunjung dari mulai masalah keluarga sampai peneliti dan mahasiswa yang akan mengambil tugas akhir. Menurut keterangan, ada lebih dari 21 ribu makalah digital tentang al-Quran yang bisa diakses oleh pengunjung.
Kalau saya sendiri sangat terkesan di bagian lorong kaligrafi. Di tempat inilah berkumpul para seniman kriya dengan berbagai kemahiran mereka. Maskipun semua bertolak dari seni kaligrafi, namun setiap stand memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan media yang mereka gunakan menambah kekayaan serta keindahan tampilan kaligrafi.
Di Indonesia, kaligrafi yang ditulis di atas lembaran kertas, kulit, kayu, bahkan keramik, mungkin sudah biasa dijumpai. Tapi sungguh menarik melihat bagaimana ayat-ayat al-Quran itu dirajut dalam karpet buatan tangan.
ADVERTISEMENT
Iran memang terkenal dengan corak karpetnya yang khas. Apalagi, karpet yang terbuat dari benang sutera. Harganya selangit.
Warga memang banyak yang menggunakan karpet buatan pabrik di rumah-rumah mereka. Tetapi, untuk hiasan dinding, karpet motif kaligrafi hand made masih menjadi pilihan.
Keunikan lainnya, lafaz-lafaz bahasa Arab itu diukir dalam media yang tidak biasa seperti beras, bunga pinus, dan batu garam. Hasil kerajinan ini bisa dibeli dan dipesan oleh para pengunjung. Harganya masih ramah di kantong, kecuali karpet hand made yang menurut saya memang kelewat mahal. Tapi melihat-lihat saja sudah membuat mata segar hingga kadang tak sadar hari mulai gelap.
Menjelang azan magrib, para pengunjung berhamburan ke pelataran kompleks. Duduk santai sambil menanti pesanan takjil. Inilah momen yang paling dirindukan. Suara bacaan al-Quran beradu dengan tawa ceria anak-anak yang berlarian. Angin musim semi bertiup lembut dan bulan di atas langit jingga yang mulai mengintip. Semangkuk sup ash menemani kami berbuka. Ash adalah makanan pembuka iftar, terbuat dari sayuran dan kacang-kacangan. Cara memakannya dengan ditabur bubuk mint dan susu asam.
ADVERTISEMENT
Senja yang syahdu di pelataran kompleks Mushalla, kini hanya menyisakan kenangan dan kerinduan. Tahun ini festival al-Quran tidak digelar. Sebagai gantinya, untuk mendukung penanganan covid 19, masjid-masjid beralih fungsi menjadi rumah sosial, termasuk kompleks Mushalla Imam ini.
Para relawan bahu membahu menggalang dana dan menyalurkan bantuan bahan pokok kepada mereka yang kurang mampu. Selama bulan Ramdan, gerakan ini semakin terus ditingkatkan.
Bahkan, beberapa ruangan yang ada digunakan sebagai tempat produksi berbagai alat kesehatan, mulai dari pakaian APD, masker, hand sanitizer, dan sebagainya.
Menurut seorang teman yang terjun langsung sebagai relawan, gerakan ini dilakukan serentak di berbagai wilayah di Iran. Pengaruhnya cukup terasa di tengah masyarakat. Masker yang pada awal pandemi cukup langka, sekarang dengan mudah dapat diperoleh di berbagai tempat dengan harga murah.
ADVERTISEMENT
Berbagai kemeriahan festival al-Quran memang tidak lagi dapat dinikmati. Tetapi, keindahan berbagi di tengah Covid-19 juga akan menjadi memori yang indah. Bukankah membantu sesama, merupakan salah satu ajaran al-Quran yang paling nyata. (*/asd)
Catatan: Penulis merupakan traveller tinggal di Teheran dan Penulis buku The Road to Persia.