Puncak Semakin Dekat, Namun Terasa Menjauh

Konten dari Pengguna
13 Juli 2019 14:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendiyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyeberangi air panas di jalur pendakian ke Puncak Gunung Pangrango. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menyeberangi air panas di jalur pendakian ke Puncak Gunung Pangrango. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
(Pangrango 2)
Inilah kali pertama saya dan anak semata wayang mendaki bersama-sama. Juga disertai teman-teman dari kumparan. Keseluruhannya ada 15 orang.
ADVERTISEMENT
Bagi anak saya, ini adalah pendakian perdananya. Meski begitu, alih-alih saya yang memotivasinya, sebenarnya justru dialah yang lebih memotivasi saya untuk kembali mendaki setelah 22 tahun.
Menjadikan Gunung Pangrango sebagai target pendakian pertama, tentulah hal serius buat dia. Itu kalau saja sebelumnya dia tahu, seperti apa sebenarnya medan yang akan ditempuh. Hehehehehe.
Melintas menuju Pos Panyangcangan di jalur pendakian Gunung Pangrango. Foto: kumparan
Pengalaman perdana saya ke gunung adalah saat berusia 13 tahun. Itu pun cuma camping ceria ke Gunung Puntang di Bandung Selatan. Dari titik terakhir yang bisa diakses dengan mobil, jalur jalan kakinya tak terlalu jauh. Lupa persisnya. Medannya juga tak terjal seperti ke Pangrango.
Sebagai debutan, lumayan juga anak saya bisa sampai Pos Rawa Denok 2 relatif tanpa hambatan. Ketinggiannya sekitar 1.800-an meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara fisik, dia cukup lumayan. Beberapa kali meninggalkan ayahnya yang terengah-engah, hingga terpisah 20 meter di belakang.
ADVERTISEMENT
Namun mentalnya masih serba terburu-buru. Tak sabaran. Ingin cepat sampai. Tampak kesal begitu diadang jalan bebatuan terjal. Kadang hampir putus asa. Di situasi seperti itulah, saya memang ingin memberinya pelajaran tentang kehidupan. Pelajaran tanpa kata-kata.
Seperti di kehidupan, saat mendaki, kita akan sampai pada titik yang tak mungkin berbalik. Tapi juga tak bisa berhenti. Pilihannya, hanya terus melanjutkan perjalanan, untuk sampai pada tujuan. Meraih pencapaian terbaik, sejauh yang bisa kita usahakan.
Kelelahan, mungkin sebelumnya tak terbayangkan seperti apa jalur pendakian yang akan dijalani ke Gunung Pangrango. Foto: kumparan
Seperti juga di kehidupan, menjalani pendakian tak cukup dengan modal fisik saja. Butuh mental dan kesungguhan, untuk menetapkan apa yang harus dicapai dan cara meraihnya. Dengan begitu, tak ada yang sia-sia. Tak ada penyesalan.
Tapi mental dan kesungguhan saja, juga tak cukup. Karena tanpa bekal fisik, pendakian bisa berakhir jadi kenyataan konyol.
ADVERTISEMENT
Pos Rawa Denok 2 pun dilewati. Perlahan tapi pasti, Pos Batu Kukus, Air Panas, dan Pos Kandang Batu bisa dilalui bersama. Tapi jalan terjal berbatu masih mengangkang di depan. Kemiringannya makin curam, menguji nyali.
Kami, ayah dan anak, menjalani pendakian bersama untuk pertama kali. Foto: kumparan
Padahal, tenaga dan napas anak semata wayang sudah makin terkuras. Demikian juga ayahnya.
Pos Kandang Badak (2.414 mdpl) sebagai target kami untuk nge-camp yang sebenarnya semakin dekat, justru terasa jauh dan tak juga sampai. “Kok enggak nyampe-nyampe?” keluhnya setengah bersungut.
Pernyataan sejumlah pendaki yang turun, menyebut "Kandang Badak sudah dekat," semakin terasa seperti cerita fiksi. "Kaki sakit! Paha pegal," keluhnya.
Jalur pendakian ke Puncak Gunung Pangrango. Foto: kumparan
"Jadi mau berhenti? Atau mau turun lagi? Kamu pilih turun lagi tapi lebih jauh, atau terus ke puncak yang sudah dekat! Pilih aja," ujar saya tegas. Maksudnya ingin menyemangati. "Kamu harus sampai, apalagi beban carrier kamu sudah berkurang," imbuh saya, tandas!
ADVERTISEMENT
Setelah 7,5 jam pendakian, menjelang pukul 17.00 WIB, kami tiba di Kandang Badak. Seperti tiba di kampung harapan. Sebuah area yang saat kami tiba, sudah dipenuhi tenda warna-warni.
Satu dari empat tenda yang kami dirikan di Pos Kandang Badak. Foto: kumparan
Maklum masa liburan, di akhir pekan pula. Pendakian cukup ramai. Seramai itu pula suasana di Pos Kandang Badak.
Tapi keramaian itu tak sanggup mengusir dingin yang memilin. Kabut mulai menyelimut. Senja segera tiba. Gelap akan menyergap.
Empat tenda kami dirikan bersama, untuk menampung 15 orang anggota rombongan. Di situ kami bermalam, untuk meneruskan pendakian ke puncak, pagi sekali keesokan harinya. Begitu rencana selanjutnya.
(Bersambung)