Menempatkan Pelayanan bagi Penghayat Kepercayaan

Konten dari Pengguna
10 Januari 2018 22:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendy Suwendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
ADVERTISEMENT
Suwendi Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka secara umum pada hari Selasa, 7 November 2017 memberikan legitimasi yang demikian kuat atas eksistensi penghayat kepercayaan. Putusan MK yang bersifat final dan binding itu mendorong agar warga negara yang menganut penghayat kepercayaan itu dapat diberikan kepastian dalam administrasi kependudukan, termasuk dalam Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk.
ADVERTISEMENT
Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinyatakan bahwa penghayat kepercayaan tidak perlu mengisi dalam kolom agama, meskipun mereka tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan, itu telah dianulir oleh putusan MK tersebut. Dengan dianulirnya kedua ayat pada dua pasal tersebut, penghayat kepercayaan diberikan ruang yang sama sebagaimana warga negara lainnya baik dalam administrasi kependudukan maupun dalam layanan lainnya.
Tentu, hal ini segera memunculkan pertanyaan, di Kementerian/Lembaga manakah yang “berkewajiban” memberikan layanan bagi penghayat kepercayaan ini? Untuk membahas jawaban atas pertanyaan tersebut, dapat dijelaskan beberapa pendekatan, di antaranya aspek regulasi, kesejarahan, dan respon masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada aspek regulasi, Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia pada Pasal 28E menempatkan kebebasan beragama dan penghayat kepercayaan pada posisi yang berbeda. Kebebasan beragama dijelaskan dalam Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Sementara kebebasan dalam memilih penghayat kepercayaan dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Melihat posisi ini, secara regulatif memang persoalan penghayat kepercayaan itu berbeda dengan persoalan agama, demikian juga sebaliknya persoalan agama itu berbeda dengan persoalan penghayat kepercayaan, sehingga keduanya diatur dalam ayat yang berbeda. Jika keduanya difahami secara uniform, maka tentu tidak perlu diatur dalam aturan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, menurut pengamatan penulis, sejauh ini belum ada definisi tentang agama dan penghayat kepercayaan versi regulasi atau aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya, definisi ini sangat diperlukan guna membedakan mana agama dan mana yang bukan agama. Kita baru dapat menjelaskan definisi tentang agama dan penghayat kepercayaan itu lebih didasarkan secara akademis, bukan regulatif. Untuk agama, biasanya sering didefinisikan dengan sistem kepercayaan yang meyakini adanya Tuhan, Nabi, dan kitab suci, serta memiliki sistem pola peribadatannya masing-masing. Sementara penghayat kepercayaan lebih simple dan sederhana yang tidak selengkap agama.
Ada beberapa unsur pokok dalam agama yang tidak sepenuhnya dimiliki oleh penghayat kepercayaan, seperti Nabi atau Kitab Suci. Atas dasar definisi ini, seringkali disimplikasikan bahwa orang yang beragama sudah tentu orang yang berpenghayat kepercayaan, sementara orang yang berpenghayat kepercayaan belum tentu orang yang beragama. Intinya, penghayat kepercayaan itu berbeda dengan agama.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, Kementerian Agama, misalnya, dipastikan tidak memiliki kewajiban untuk melayani bagi penghayat kepercayaan. Sebab Kementerian Agama hanya dapat memberikan layanan bagi umat beragama. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agama yang diatur dalam Pasal 2 bahwa “Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.” Jika penghayat kepercayaan dilayani oleh Kementerian Agama maka akan terjadi campur aduk antara urusan agama dengan urusan di luar agama, sehingga tidak sesuai lagi dengan khittah berdirinya instusi Kementerian Agama.
Pada aspek sejarah, ketegasan bahwa penghayat kepercayaan bukanlah agama telah dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam Tap MPR RI tersebut terutama Bab IV huruf D tentang Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Bidang Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya, nomor 1 huruf f dinyatakan bahwa “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru”.
ADVERTISEMENT
Atas dasar Tap MPR RI ini, Menteri Agama ketika itu Alamsjah Ratuperwiranegara mengeluarkan sikap bahwa Kementerian Agama tidak melayani penghayat kepercayaan, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran Kepercayaan dan Instruksi Menteri Agama Nomor 14 Tahun 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978.
Kebijakan bahwa Kementerian Agama tidak melakukan layanan atas penghayat kepercayaan hingga kini tidak ada perubahan. Kementerian Agama tidak memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan, sebagaimana dapat dilihat baik pada aspek regulasi yang dikeluarkan maupun unsur struktural-birokrasi di lingkungan Kementerian Agama.
Pada aspek respon masyarakat atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, pendapat Majelis Ulama Indonesia tampaknya perlu dicermati dengan baik. Mengutip berita Kompas.com (Kompas.com - 15/11/2017, 16:00 WIB), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin, menyebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghayat kepercayaan tak mempertimbangkan kesepakatan di masyarakat. Menurutnya, "MK membuat keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-undangan, tanpa dia memperhatikan kesepakatan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang mengandung masalah."
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Riddho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Riddho Robby/kumparan)
Bahkan, sebagaimana dikutip dari Republika.co.id (30 November 2017, 12:32 WIB), Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-3 Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa khidmat 2015-2020 di Hotel Sahira, Kota Bogor, Jawa Barat pada 28-30 November 2017 menghasilkan beberapa sikap dan rekomendasi terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi, menyampaikan sikap MUI.
ADVERTISEMENT
Pertama, MUI sangat menyesalkan putusan MK Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 yang dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama, khususnya umat Islam Indonesia. Sebab, putusan tersebut berarti telah mensejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Kedua, MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum yang berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Ketiga, MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak, terlebih dahulu membangun komunikasi serta menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, sehingga dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak dan lebih aspiratif.
Keempat, MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kelima, MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi, sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, MUI mengusulkan langkah-langkah solusi sebagai berikut. Pertama, pemerintah dapat melakukan pencantuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada Kartu Keluarga. Kedua, pemerintah dapat mencetak KTP yang hanya mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan. Ketiga, adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Atas dasar tiga pertimbangan di atas, yakni regulasi, kesejarahan, dan respon masyarakat, menurut hemat penulis, pelayanan bagi penghayat kepercayaan itu tidak menjadi tanggung jawab Kementerian Agama, tetapi menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga yang lain.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, dalam hal ini ada 2 (dua) usulan Kementerian/Lembaga yang dapat memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan. Pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, dapat memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan ini. Di samping linier bahwa penghayat kepercayaan lebih dimaknai untuk revitalisasi atas kebudayaan dan dipastikan adanya fasilitasi layanan pendidikan, juga hal itu telah berlangsung selama ini.
Di samping itu, dengan ditanganinya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak berimplikasi pada penambahan Kementerian/Lembaga baru yang tentu akan menambahkan beban birokrasi yang lebih besar. Pada sisi ini, di tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu diperluas makna dan layanan kebudayaan terutama untuk memastikan layanan yang cukup bagi penganut penghayat kepercayaan.
Kedua, LPNK (Lembaga Pemerintah Non-Kementerian) yang secara khusus menangani layanan hak-hak sipil bagi warga penghayat kepercayaan. LPNK ini merupakan lembaga pemerintah baru sama sekali yang memang diamanahi secara khusus untuk penghayat kepercayaan, sebagai implementasi dari amar putusan Mahkamah Konstitusi. Pada sisi ini, kehadiran LPNK ini merupakan wujud konkret perhatian pemerintah atas penghayat kepercayaan. Akan tetapi, pada sisi yang lain, kehadiran LPNK ini kontraproduktif dengan kebijakan penghematan struktur birokrasi di era pemerintah saat ini.
ADVERTISEMENT