Memberdayakan Masjid Melawan Pinjol Eksploitatif

Suwatno
Seorang bapak yang menjadikan menulis sebagai hobi.
Konten dari Pengguna
16 September 2021 17:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suwatno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/homajob
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/homajob
ADVERTISEMENT
Sore tadi sebuah pesan tiba-tiba nyasar ke kotak pesan saya, bunyinya sangat intimidatif. “Bilang ke Fulan untuk membayar pinjamannya sebesar Rp. 2.232.000,- di PT. Pinjol Andalan. Jika tidak, kami akan menghubungi seluruh kontaknya.”, begitu kira-kira bunyinya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja dua nama yang disebut di pesan itu bukanlah nama sebenarnya. Yang dimaksud di pesan itu adalah seorang teman SMA saya yang meminjam sejumlah uang dari lembaga penyedia pinjaman online, dan entah apa yang terjadi sehingga penagih utang itu mengirim pesan kepada saya.
Biasanya jika pesan semacam itu masuk di gawai, saya akan mengabaikannya. Tapi tidak kali ini. SMS yang masuk sore tadi itu adalah pesan ketiga dalam minggu ini. Dan nama yang disebut adalah satu nama yang sama tetapi menyebut tiga perusahaan pinjol yang berbeda.
Entah bagaimana cara semesta algoritma internet bekerja, malam tadi saat saya sekrol-sekrol Twitter, tiba-tiba berita tentang kasus bunuh diri para nasabah pinjol berarak di lini masa. Saya terkesiap. Tentu saja yang terlintas pertama di benak adalah nasib Fulan, kawan saya itu.
ADVERTISEMENT
Ketika hendak menghubunginya tiba-tiba muncul notifikasi dari grup wasap alumni SMA. Mohon maaf ya Luuuur, aku ngga tahu siapa yang pakai dataku, tapi kalau ada pesan tagihan utang pinjol masuk di hape kalian itu bukan aku, sebuah pesan dari Fulan mengklarifikasi.
***
Saya pikir kasus pencurian data kependudukan seperti yang dialami kawan saya itu juga menimpa banyak orang. Pencurian data itu merupakan satu kasus dari segala permasalahan pinjaman online di Indonesia.
Pemerintah bukan tinggal diam dalam kasus ini. Melalui serangkaian kebijakan, pemerintah telah berusaha mengendalikan keberadaan perusahaan-perusahaan pinjol ini. Legalitas, laporan keuangan, dan proses bisnis perusahaan pinjol telah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kendati demikian, kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat berkaitan dengan pinjol ini tetap saja bermunculan. Iming-iming persyaratan dan proses pencairan dana pinjaman yang mudah berhasil menjadi daya tarik bagi masyarakat yang memang membutuhkan “dana segar” guna menyambung napas, terutama di tengah pandemi seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Celakanya, kebanyakan korban pinjol ini adalah masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Membentang dari perkotaan sampai pelosok desa. Terjerat oleh bunga yang mencekik dari perusahan pinjol ini, yang kemudian terjadi adalah fenomena gali lubang tutup lubang. Meminjam ke satu pinjol untuk melunasi tagihan dari perusahaan pinjol lain. Dan ketika sudah terbentur oleh pola seperti itu, seperti kita ketahui, beberapa jiwa berakhir dalam tragedi.
Digempur overthinking, otak dungu saya bertanya-tanya, "Di negara yang (hampir) setiap beberapa langkah terdapat masjid ini, kenapa keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak bisa mengatasi problematika ekonomi ini?"
***
Sumber: https://unsplash.com/@katekerdi?
Dari hasil “riset” kecil-kecilan saya mendapati data pada tahun 2019 Dewan Masjid Indonesia (DMI) mencatat total ada lebih dari 811.000 Masjid di seluruh pelosok nusantara. Itu baru jumlah yang tercatat. Saya kok, yakin jumlahnya lebih dari itu, melihat betapa mudahnya mendirikan masjid di negara ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, di DKI Jakarta saja, DMI mencatat pada 2019 terdapat 28.000 unit masjid. Dengan luasan daerah 661,5 km2 itu berarti terdapat 43 unit masjid untuk setiap 1 km2-nya. Jumlah yang tidak sedikit, bukan?
Dan, seperti kita tahu, meski bervariasi jumlah dana infak yang terkumpul di setiap masjid relatif besar. Alih-alih (hanya) digunakan sebagai biaya pembangunan dan perawatan fisik masjid, saya berandai-andai, bagaimana jika setiap masjid itu diarahkan saja sebagai lembaga pendanaan finansial masyarakat yang ada di sekitarnya, dengan mengelola dan mendistribusikan dana infak yang telah terkumpul.
Jika terwujud, maka bukan tidak mungkin segala iming-iming dan gimmick marketing oleh perusahaan pinjol ini tidak lagi menarik bagi masyarakat.
***
Ketika terpikir pemanfaatan dana infak masjid sebagai alternatif pendanaan kredit bagi umat, pertanyaan yang timbul pertama kali adalah “bagaimana jika sampai terjadi kredit macet?”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan demikian sangat wajar karena mengingat potensi terjadinya sangat besar dan hal itu akan merugikan umat yang telah berinfak di masjid tersebut.
Tetapi menurut saya, di sana lah letak tantangannya, di situlah letak perlawanannya. Masjid, sebagai wadah umat, harus mempunyai ketajaman analisis terhadap problematika umatnya. Untuk mengatasi problem umat yang butuh uang segar dan punya potensi gagal bayar di tengah jalan masjid, dalam hal ini sebagai lembaga pendanaan, dapat membuat akad dan syarat-syarat tertentu, agar memudahkan para nasabah mengatasi kemungkinan demikian.
Salah satu benefit dari keberadaan masjid, sekali lagi jika difungsikan sebagai lembaga pendanaan umat, adalah domestifikasinya. Keberadaan masjid di tengah masyarakat akan bisa dengan jeli menganalisis situasi keuangan calon nasabah (umat masjid setempat). Hal itu dapat menjawab potensi-potensi kredit macet dan bagaimana seharusnya menyikapi permasalahan tersebut dengan arif melalui pendekatan-pendekatan yang non-kapitalistik dan tidak eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya yang akan men-challenge gagasan seperti ini adalah bagaimana bentuk skema dan teknis peminjamannya. Menjawab itu, menurut saya skemanya bisa bermacam-macam. Bisa dalam bentuk koperasi masjid dengan pendekatan pendanaan syariah, dengan akad-akad syariah dan pembungaan yang disepakati bersama, misalnya. Atau menggunakan skema lain yang ditentukan oleh otoritas perbankan syariah. Tentu saja yang utama adalah skema itu harus berorientasi membantu umat dan sebagai bentuk perlawanan terhadap keberadaan perusahaan pinjol yang skemanya tidak manusiawi itu.
Begitu juga untuk menjawab pertanyaan terkait mekanisme pembukuan dan pelaporannya, karena kendati pun bertujuan membantu umat, pengelolaan dan pelaporan dana infak umat memang tidak boleh sembarangan. Menjawab itu, menurut saya, mekanisme pelaporan dan pembukuannya dapat dilakukan secara tradisional-profesional oleh pengurus dan pengelola dengan cara diumumkan melalui buletin mingguan, misalnya. Atau diumumkan secara verbal sebelum khotbah Jumat, misalnya. Tentu saja pelaporan itu harus dilandasi asas kemudahan dan keterbukaan bagi setiap umat untuk dapat berpartisipasi dalam pengawasannya.
ADVERTISEMENT
Berikutnya adalah menjawab pertanyaan terkait mekanisme peminjaman, syarat-syarat, serta siapa saja kategori orang yang boleh meminjam. Dalam kasus ini, tentu siapa saja hakikatnya boleh meminjam, tapi dalam rangka memudahkan manajemennya, individu yang boleh meminjam dapat dibatasi lewat syarat lokasi domisili, misalnya. Bekerja sama dengan perangkat desa dan unit kependudukan sampai level terbawah, RT dan RW. Persetujuan peminjamannya juga harus peka situasi ekonomi dan psikologi individual serta komunal umat di sekitar masjid tersebut.
Melihat fakta banyaknya orang yang ignorance di tengah-tengah kita, potensi dana infak yang dipinjam itu “disalahgunakan” tidak sesuai peruntukannya, untuk modal judi atau aktivitas-aktivitas nir-manfaat sejenisnya, memang sangat besar. Tetapi dengan spirit umat bantu umat, idealnya keberadaan masjid yang begitu dekat dengan umat itu tadi, seharusnya dapat menciptakan atmosfer yang membuat para nasabahnya mengerti dan sepakat bahwa pinjaman dana itu semudah utang dari perusahaan pinjol tapi bersamanya terdapat konsekuensi, baik dunia maupun akhirat.
ADVERTISEMENT
***
Masjid, sebagaimana tempat peribadatan lain, seyogyanya bisa hadir sebagai sentra kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik dalam sendi pendidikan, kesejahteraan, maupun ekonomi. Dengan begitu akan terasa wujud nyata kehadiran agama sebagai solusi kehidupan di dunia.
Karena jika dominansi perusahaan-perusahaan pinjol yang eksploitatif itu tidak dilawan dengan gerakan ekonomi yang nyata, maka jangan heran jika berita-berita menyayat hati yang menimpa para nasabah-nasabah pinjol ini akan terus bermunculan di masa depan.