Momok Itu Bernama Kemiskinan

Widodo
Saya adalah PNS di Badan Pusat Statistik, di Satker Hubungan Masyarakat. Jabatan saya saat ini adalah Pranata Humas ahli Muda
Konten dari Pengguna
25 Juli 2021 22:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data yang menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2021 masih sebesar 10,14 persen atau 27,54 juta orang. Angka tersebut meningkat 0,36 persen poin terhadap Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Kecuk Suhariyanto, mantan Kepala BPS, menyebutkan bahwa kemiskinan telah menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh bangsa di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Suhariyanto juga menjelaskan bahwa kemiskinan memiliki beberapa kriteria, di antaranya ketidakmampuan mencukupi biaya hidup sehari-hari baik pangan, sandang dan tempat tinggal.
Selain itu, miskin juga erat kaitannya dengan hidup tidak sehat dan sanitasi yang kurang memadai. Salah satu efek dari adanya kemiskinan ini adalah timbulnya kejahatan. Dalam penelitiannya, Yayuk Sugiarti Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep, mengatakan bahwa faktor kejahatan salah satunya dilatarbelakangi oleh kemiskinan seseorang. Mereka melakukan kejahatan sebagai alternatif penyelesaian guna memenuhi kehidupan mereka.
Pemiskinan juga dapat terjadi karena bencana, seperti halnya yang sedang dialami masyarakat dunia saat ini. Proses sosial dan politik juga dapat menciptakan keadaan yang menyebabkan miskin. Contoh praktik pemiskinan yang lebih umum pernah dialami masyarakat petani di perdesaan Jawa pada era Gubernur Jenderal Van den Bosch. Praktik tanam paksa membuat petani menyerahkan seperlima bagian dari hasil kebun mereka sendiri untuk pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang lebih kekinian, pemiskinan di Indonesia juga terjadi karena dampak dari industrialisasi, alih fungsi lahan, dan marjinalisasi. Merujuk pada arsip Kompas disebutkan bahwa pembelian lahan-lahan di berbagai daerah oleh pemodal, terbukti tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat desa. Masyarakat justru mengalami pemiskinan (Kompas, 28/1/2016).
Hal yang sama juga ditemukan pada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam artikel berjudul ”Dampak Sosial-Ekonomi Pemindahan Paksa: Studi Atas Penyintas Lumpur Lapindo, Jawa Timur” yang dimuat di Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI (2019), penulis menyebut bahwa dampak sosial-ekonomi yang dialami para korban tidak begitu saja selesai menggunakan mekanisme kompensasi yang ada. Warga mengalami pemiskinan karena penundaan pembayaran jual beli aset warga dan hilangnya lahan-lahan produktif.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pemiskinan juga menghampiri kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Beberapa Artikel di media menyebutkan contoh, adanya pengasingan komunitas penghayat yang tidak diakui keyakinannya oleh negara membuat mereka kesulitan mengakses pelayanan dasar, termasuk pekerjaan. Dari dimensi-imensi tersebut, tak ayal jika momok pemiskinan terbayang-bayang di depan mata, apalagi, angka kemisikinan di Indonesia masih cukup tinggi.
Siapa orang miskin itu?
Beberapa kajian ilmiah terkait kemiskinan menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin, digolongkan sebagai the last, the least, the lowest, and the loss (4L). Mereka senantiasa paling akhir dalam memperoleh beragam kesempatan, paling sedikit menerima tetesan berkah pembangunan, paling rendah derajat kehidupan sosialnya, dan senantiasa kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan kesempatan.
Di Indonesia sendiri, penduduk miskin ditentukan berdasarkan garis kemiskinan. Secara umum, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan (GK), yang pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp472.525,00/ kapita/bulan. Artinya, hampir 10 persen penduduk Indonesia memiliki rata-rata pengeluaran per bulan kurang dari 472.525 rupiah dan masuk kategori penduduk miskin.
ADVERTISEMENT
Komitmen dan upaya pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya program pembangunan untuk mengangkat mereka yang miskin menjadi tidak miskin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi tak akan melupakan komitmen untuk mengentaskan kemiskinan. Sebagai buktinya, alokasi dana desa dan anggaran untuk Program Keluarga Harapan (PKH) serta Kredit Usaha Rakyat (KUR) ditingkatkan sejak tahun lalu.
Ia mengakui, kemiskinan masih menjadi momok yang menghantui perekonomian Indonesia. Namun, dengan ditambahnya dana desa ia yakin akan mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tujuan akhirnya menyasar pada perbaikan ekonomi masyarakat. Namun, ironisnya, penurunan angka kemiskinan cukup lamban. Pertanyaannya, apa yang perlu diperkaya? dan bagaimana seharusnya pijakan kebijakan yang perlu dilakukan?
ADVERTISEMENT
Menurut Sairi Hasbullah (Mantan Deputi Bidang Sosial BPS), upaya mengurangi jumlah dan persentase penduduk miskin memerlukan kesamaan pemahaman tentang makna dari angka kemiskinan yang dihasilkan. Jika masih ada jurang antara kebijakan dan pemaknaan yang benar terkait kemiskinan makro dan dimensi-dimensinya, sangat memungkinkan jika hasil dari pembangunan yang cukup agresif saat ini, akan berbeda dengan yang diharapkan.
Jangan berharap bahwa stimulus lapangan kerja yang terbuka karena ada proyek-proyek padat karya, pemberian modal usaha, fasilitas kredit, pemberian subsidi input pertanian, dan sejenisnya akan secara otomatis menyentuh dan dimanfaatkan kelompok 4L tersebut.
Data menunjukkan bahwa pada Februari 2021, persentase pekerja setengah penganggur mencapai 8,71 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan Februari 2020 yang sebesar 6,34 persen. Begitu pula dengan mereka yang bekerja pada kegiatan informal, yang pada Februari 2021 ada sebanyak 78,14 juta orang (59,62 persen) atau mengalami peningkatan dibanding Agustus 2020 yang sebesar 77,68 juta orang.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana seharusnya pijakan kebijakan yang perlu dilakukan? Menurut Sairi, ketika konsentrasi penduduk miskin ada di aktivitas pekerja serabutan di pertanian, buruh tani, dan petani gurem, pertanyaannya: apakah beragam program penanggulangan kemiskinan di perdesaan yang ada saat ini telah berpijak pada realitas tersebut?
Apakah proyek infrastruktur skala besar, menengah, bahkan infrastruktur yang dibangun dengan dana desa telah memberi peluang bekerja bagi kelompok penduduk tersebut atau justru peluang itu lebih banyak dinikmati mereka yang berada di lapisan di atas garis kemiskinan? Begitu juga dengan buruh kasar bangunan, buruh industri rumah tangga, buruh angkut, buruh yang bekerja di rumah makan skala kecil, apakah telah terakomodasi dengan beragam paket kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada?
ADVERTISEMENT
Upaya menurunkan angka kemiskinan akan lebih efektif dan akan lebih cepat jika program-program yang dirancang, di luar program perlindungan sosial, bersentuhan langsung dengan kelompok mereka yang digambarkan oleh angka statistik kemiskinan yang ada. Bagaimana memaknai data dengan benar tampaknya menjadi tantangan yang menarik. (Widodo)
Kemiskinan masih menjadi momok yang menghantui perekonomian Indonesia (sumber: freepik,com)